8 days ago
Jika kita melongok ke ruang guru di jam-jam istirahat atau bahkan sepulang sekolah, pemandangan yang paling umum kita temui bukanlah diskusi seru tentang metode mengajar atau perkembangan siswa. Sebaliknya, kita akan melihat wajah-wajah lelah yang terpaku pada layar laptop. Jari-jari mereka menari cepat, bukan untuk merancang materi ajar yang inspiratif, melainkan untuk mengejar tenggat waktu pengisian berbagai aplikasi: mulai dari Platform Merdeka Mengajar (PMM), laporan E-Kinerja, pengelolaan dana BOS, hingga persiapan akreditasi yang tumpuk-menumpuk.
Inilah realita "wajah ganda" guru masa kini. Di satu sisi, mereka dituntut menjadi pendidik yang kreatif, inovatif, dan berpusat pada murid di dalam kelas. Namun di sisi lain, begitu bel istirahat berbunyi, mereka dipaksa bermetamorfosis menjadi tenaga administratif yang dikejar target pelaporan digital. Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk berinteraksi secara personal dengan siswa, mendengarkan keluh kesah mereka atau sekadar memberi motivasi, kini habis tergerus oleh tuntutan birokrasi digital. Pertanyaan besarnya adalah, Apakah ini tugas utama seorang pendidik? Atau jangan-jangan, tanpa sadar kita sedang menggeser peran guru dari seorang "pendidik" menjadi sekadar "operator aplikasi"?
Kegelisahan ini sebenarnya relevan jika kita membedahnya menggunakan kacamata Henry Giroux, seorang tokoh pedagogi kritis yang pemikirannya sering didiskusikan dalam kajian sosiologi pendidikan. Giroux memiliki kekhawatiran mendalam tentang "deskilling" atau penurunan keterampilan guru. Ia memperingatkan bahayanya jika guru hanya diposisikan sebagai "teknisi" (technician). Dalam pandangan ini, guru teknisi adalah mereka yang hanya menjalankan instruksi, mematuhi kurikulum yang kaku, dan sibuk memenuhi standar administratif tanpa memiliki ruang untuk berpikir kritis atau berkreasi.
Apa yang kita lihat hari ini seolah mengonfirmasi ketakutan Giroux. Ketika guru disibukkan dengan beban administrasi yang berlebihan, mereka kehilangan kesempatan untuk menjadi apa yang disebut Giroux sebagai "Intelektual Transformatif". Padahal, peran sejati guru adalah sebagai intelektual yang sadar, yang mampu menghubungkan materi ajar dengan realitas sosial siswa, dan membangun kesadaran kritis mereka.
Namun, bagaimana mungkin seorang guru bisa menjadi intelektual transformatif jika energinya sudah habis diperas untuk urusan "kertas kerja" (yang kini berubah menjadi "file kerja")? Dampaknya sangat terasa di kelas. Pendidikan menjadi kaku dan transaksional. Guru mengajar sekadar untuk menggugurkan kewajiban, mengejar target kurikulum, dan memastikan semua administrasi beres agar tunjangan cair. Diskusi mendalam yang menyentuh hati dan pikiran siswa menjadi barang mewah yang langka. Inovasi pembelajaran seringkali hanya berhenti di atas kertas RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) untuk memenuhi syarat supervisi, tapi tidak benar-benar terjadi secara bermakna di lapangan.
Tentu, kita tidak naif. Administrasi dan dokumentasi adalah bagian penting dari akuntabilitas dan ketertiban institusi pendidikan. Data yang rapi diperlukan untuk mengambil kebijakan yang tepat. Namun, administrasi seharusnya menjadi "menu pendamping", bukan "menu utama". Jangan sampai alat (aplikasi/laporan) justru menyandera tujuan utamanya (mendidik manusia).
Oleh karena itu, diperlukan langkah bijak untuk mengurai benang kusut ini. Dari sisi sistem, penyederhanaan adalah kunci. Integrasi berbagai aplikasi pelaporan ke dalam satu sistem yang efisien sangat mendesak dilakukan agar guru tidak perlu menginput data yang sama berulang kali di platform berbeda.
Lebih dari itu, guru harus kembali diberi "ruang napas". Kembalikan guru pada khittah-nya sebagai pendidik manusia, bukan pengurus dokumen. Biarkan mereka memiliki waktu luang untuk membaca, berdiskusi dengan rekan sejawat tentang metode pengajaran, dan yang terpenting, berdialog dengan siswa mereka. Karena pada akhirnya, secanggih apa pun teknologi bisa menggantikan tugas administrasi, ia tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan humanis seorang guru.