29 Oct
Dalam beberapa bulan terakhir, harga emas global mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Lonjakan ini mencerminkan gejolak geopolitik, ketidakpastian ekonomi global, dan meningkatnya minat investor terhadap aset lindung nilai (safe haven). Di sisi lain, pasar udang dunia justru bergerak ke arah sebaliknya: harga komoditas ekspor andalan Indonesia ini melemah akibat tekanan kelebihan pasokan dan penurunan permintaan. Kombinasi dua tren ini menciptakan tekanan ganda terhadap sektor budidaya perikanan nasional, khususnya petambak udang rakyat dan skala menengah.
Fenomena divergensi harga ini bukan sekadar anomali pasar. Ia mencerminkan kerentanan struktural sektor tambak terhadap fluktuasi ekonomi global dan lemahnya instrumen stabilisasi harga domestik. Dalam jangka panjang, ketidakseimbangan ini dapat melemahkan investasi, produktivitas, dan daya saing sektor perikanan Indonesia.
Harga emas internasional terus mengalami kenaikan signifikan sepanjang 2024 hingga kuartal ketiga 2025. Data World Gold Council mencatat harga emas melampaui USD 2.450 per troy ounce pada September 2025, level tertinggi dalam dua dekade terakhir. Pendorong utamanya adalah ketidakpastian geopolitik di beberapa kawasan strategis dunia, melemahnya nilai tukar mata uang utama, serta ekspektasi perlambatan ekonomi global.
Kondisi ini kontras dengan pergerakan harga udang dunia. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), harga udang beku di pasar global turun sekitar 15–20% dibandingkan tahun sebelumnya akibat melimpahnya suplai dari negara produsen utama seperti India, Ekuador, dan Indonesia. Sementara permintaan dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang-tiga pasar utama udang-melemah karena inflasi tinggi menekan daya beli konsumen.
Kenaikan harga emas sering kali menjadi indikator flight to safety: para investor global beralih ke aset lindung nilai saat ekonomi tak stabil. Sebaliknya, komoditas agribisnis ekspor seperti udang sangat bergantung pada permintaan konsumsi dunia. Ketika daya beli global melemah, permintaan terhadap udang-yang dikategorikan sebagai produk premium-menurun.
Fluktuasi harga emas dan udang tidak berdiri sendiri. Ia berimplikasi langsung pada struktur biaya dan margin petambak udang. Sebagian besar input produksi tambak seperti pakan, peralatan aerasi, dan benur masih bergantung pada impor dan berdenominasi dolar. Ketika harga emas naik, rupiah cenderung melemah, membuat biaya input meningkat. Namun di saat yang sama, harga jual udang justru menurun, menciptakan tekanan margin yang semakin besar.
Hasil studi Rahman et al. (2024) dalam Aquaculture Economics & Management menunjukkan bahwa fluktuasi harga komoditas global memiliki dampak signifikan terhadap profitabilitas usaha tambak udang di negara berkembang. Ketika harga input naik 10%, sementara harga jual turun 10%, margin keuntungan petambak bisa turun hingga 30%, angka yang cukup untuk membuat banyak tambak kecil merugi.
Tekanan margin ini juga memperburuk risiko sosial ekonomi di kawasan pesisir. Petambak kecil sering kali tidak memiliki cadangan kas atau mekanisme lindung nilai. Dalam kondisi harga jual rendah, mereka menunda siklus produksi, mengurangi padat tebar, atau bahkan menghentikan operasional sementara. Efek domino ini akan terasa di sektor hilir: penurunan volume panen mengurangi aktivitas pengolahan dan ekspor.
Ketika sektor riil melemah, sebagian pelaku usaha cenderung mengalihkan sebagian modal ke emas atau aset finansial lain yang lebih stabil. Dalam konteks ini, emas menjadi instrumen lindung nilai individual, sementara tambak menghadapi risiko penurunan investasi produktif.
Fenomena ini juga memperlihatkan tantangan klasik sektor agribisnis: price taker, bukan price maker. Para petambak tidak punya daya tawar terhadap harga jual yang ditentukan pasar global. Saat harga emas naik, mereka tidak mendapatkan keuntungan langsung, tetapi saat harga udang turun, merekalah yang menanggung risiko paling besar.
Dalam pendekatan ekonomi makro, dinamika ini menggambarkan commodity vulnerability, kerentanan sektor produksi terhadap pergerakan harga global dan instrumen keuangan. Sementara itu, dalam konteks pembangunan wilayah pesisir, fenomena ini bisa melemahkan local economic resilience jika tidak diantisipasi melalui kebijakan mitigasi.
Tekanan harga juga berdampak pada cara petambak mengelola tambak. Untuk menekan biaya, sebagian petambak mengurangi dosis obat/saprotam, komposisi pakan, perubahan frekuensi pemeliharaan, atau investasi biosekuriti. Praktik ini meningkatkan risiko penyakit seperti Enterocytozoon hepatopenaei (EHP) dan sindrom kotoran putih, yang kini menjadi masalah kesehatan utama pada budidaya udang di Asia (Govindasamy et al., 2023).
Selain itu, tekanan harga membuat banyak petambak enggan melakukan peremajaan kolam atau investasi teknologi seperti sensor kualitas air dan sistem monitoring digital. Akibatnya, produktivitas tambak stagnan, sementara risiko lingkungan meningkat. Fenomena ini menciptakan vicious cycle: harga rendah → efisiensi ditekan → risiko meningkat → produktivitas menurun → harga semakin tidak kompetitif.
Ketergantungan tambak terhadap pasar ekspor tanpa mekanisme stabilisasi domestik membuat sektor ini sangat rentan terhadap fluktuasi global. Negara-negara produsen lain seperti Ekuador telah mulai menerapkan skema forward contract dan kemitraan jangka panjang dengan buyer besar untuk meredam volatilitas harga.
Indonesia dapat mengembangkan skema serupa melalui:
Kebijakan ini tidak hanya berfungsi sebagai respons jangka pendek terhadap krisis harga, tetapi juga sebagai strategi ketahanan pangan dan ekonomi jangka panjang.
Di tingkat usaha, perusahaan tambak dan kelompok petambak perlu menerapkan strategi adaptif untuk menghadapi gejolak harga. Di antaranya:
Langkah-langkah ini dapat meningkatkan resiliensi keuangan petambak tanpa harus sepenuhnya bergantung pada fluktuasi harga emas atau pasar global.
Kenaikan harga emas dan penurunan harga udang memperlihatkan bahwa sektor perikanan budidaya Indonesia belum memiliki instrumen mitigasi ekonomi yang memadai. Petambak masih terlalu bergantung pada pasar ekspor dan fluktuasi harga global, sementara mekanisme stabilisasi domestik belum terbentuk kuat.
Membangun ketahanan sektor tambak berarti mengurangi price vulnerability melalui kebijakan makro dan inovasi manajerial di lapangan. Emas mungkin tetap menjadi aset lindung nilai global, tetapi udang harus menjadi aset produktif nasional yang tangguh, berdaya saing, dan berkelanjutan.