11 hours ago
Sekolah seharusnya menjadi ruang yang melindungi, membimbing, dan memberikan rasa aman bagi setiap anak. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua siswa sekolah dasar memperoleh pengalaman tersebut. Banyak anak masih menghadapi ejekan, pengucilan, atau komentar merendahkan yang berkaitan dengan penampilan, latar belakang, atau identitas mereka.
Perilaku seperti ini sering dianggap sepele, tetapi dapat menimbulkan luka emosional yang tidak selalu terlihat. Jika sekolah gagal menjalankan fungsinya sebagai lingkungan yang aman, muncul pertanyaan mendasar: Ke mana lagi anak dapat merasa dihargai?
Fenomena diskriminasi di sekolah dasar bukan sekadar kekhawatiran tanpa dasar. Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) mencatat bahwa sekitar 41% siswa di Indonesia pernah mengalami bullying secara berulang. Angka ini menunjukkan bahwa perilaku diskriminatif dan perundungan bukanlah kasus yang muncul sesekali, melainkan realitas yang dialami banyak anak di sekolah.
Ketika lebih dari sepertiga siswa melaporkan pengalaman tersebut, jelas bahwa sekolah belum sepenuhnya menjadi ruang aman bagi seluruh peserta didik. Data ini juga memperkuat urgensi langkah preventif agar diskriminasi tidak berkembang menjadi pola interaksi yang merusak.
Diskriminasi pada anak sekolah dasar jarang muncul dalam bentuk ekstrem. Ia hadir melalui isyarat halus yang sering luput dari perhatian, seperti tatapan meremehkan, komentar menyindir, atau pengabaian sosial yang membuat anak merasa tidak diinginkan.
Meskipun tampak kecil, perilaku semacam ini dapat mengikis rasa percaya diri anak dan menimbulkan beban psikologis jangka panjang. Pada tahap perkembangan identitas, pengalaman negatif seperti ini dapat membentuk cara anak memandang dirinya dan lingkungan sekitarnya. Karena itu, pencegahan diskriminasi perlu menjadi bagian inti dari upaya menciptakan lingkungan belajar yang sehat.
Anak-anak belajar memahami dunia melalui pengamatan dan peniruan. Mereka menyerap nilai dari apa yang ditampilkan guru dan teman sebaya. Ketika diskriminasi dibiarkan tanpa koreksi, anak dapat menganggap bahwa perilaku tersebut dapat diterima.
Sebaliknya, ketika sekolah menunjukkan sikap tegas dalam menolak diskriminasi dan menekankan nilai kesetaraan, mereka membentuk fondasi moral yang kuat bagi perkembangan karakter. Fondasi ini sangat penting bagi pembentukan sikap menghargai perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Permasalahan menjadi lebih kompleks ketika anak belum mampu mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Banyak siswa sekolah dasar kesulitan menjelaskan ketidaknyamanan atau pengalaman tidak menyenangkan yang mereka alami. Kondisi ini membuat diskriminasi sering tidak terdeteksi oleh guru dan orang tua.
Untuk mengatasinya, sekolah perlu menyediakan ruang dialog yang aman, misalnya melalui sesi refleksi kelas atau kegiatan berbagi pengalaman sederhana. Langkah seperti ini membantu guru memahami dinamika sosial di kelas, sehingga dapat memberikan respons yang tepat sebelum situasi berkembang menjadi lebih serius.
Hubungan antara diskriminasi dan bullying juga tidak dapat diabaikan. Banyak kasus perundungan bermula dari komentar yang dianggap candaan. Ejekan mengenai logat, warna kulit, atau latar belakang keluarga dapat berkembang menjadi perlakuan yang menyakitkan apabila tidak dicegah sejak awal. Pendidikan mengenai empati dan tanggung jawab sosial perlu diberikan secara konsisten. Dengan memahami dampak emosional dari kata-kata dan tindakan, anak dapat belajar mengelola perilaku mereka dan menghormati perbedaan di sekitarnya.
Sekolah dasar merupakan tempat anak pertama kali berinteraksi dengan keberagaman dalam skala besar. Mereka bertemu teman dengan latar belakang budaya, agama, dan kebiasaan yang berbeda. Lingkungan yang menghargai keberagaman membantu anak memandang perbedaan sebagai sesuatu yang wajar dan bernilai. Ketika sekolah menormalisasi keberagaman, anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih toleran, terbuka, dan mampu beradaptasi dengan dinamika masyarakat yang majemuk.
Upaya menciptakan lingkungan inklusif tidak selalu membutuhkan program besar. Langkah sederhana—seperti menyusun kelompok belajar yang beragam, mengadakan kegiatan pengenalan budaya, atau memberi ruang bagi siswa untuk menceritakan pengalaman pribadi—dapat memperkuat toleransi dalam kelas. Penghargaan kecil terhadap kerja sama dan sikap saling menghormati juga dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa serta menumbuhkan empati yang tidak dapat dibangun melalui teori semata.
Namun, pendidikan nilai tidak akan efektif tanpa dukungan kebijakan yang jelas. Sekolah memerlukan aturan anti diskriminasi dan anti perundungan yang diterapkan secara konsisten. Ketika terjadi pelanggaran, sekolah tidak hanya memberikan konsekuensi, tetapi juga pendampingan agar anak memahami dampak tindakannya. Pendekatan seperti ini lebih mendidik dan membantu membentuk kesadaran jangka panjang mengenai pentingnya menghargai sesama.
Pencegahan diskriminasi adalah tanggung jawab seluruh komunitas sekolah, termasuk guru, siswa, orang tua, dan pihak pengelola. Sekolah tetap menjadi pusat pembentukan nilai karena menjadi tempat anak belajar pertama kali tentang dirinya dan cara ia memperlakukan orang lain. Ketika sekolah mampu menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif, anak-anak tumbuh menjadi individu yang percaya diri, tangguh, dan mampu membangun hubungan sosial yang sehat.
Membangun sekolah dasar yang bebas diskriminasi bukan tugas tambahan, melainkan investasi penting bagi masa depan bangsa. Anak yang merasa aman akan belajar dengan lebih baik, berkembang secara optimal, dan tumbuh menjadi generasi yang mampu menghargai keragaman. Oleh karena itu, pencegahan diskriminasi sejak dini merupakan langkah strategis untuk mewujudkan masyarakat yang adil, harmonis, dan inklusif. Komitmen ini seharusnya menjadi prioritas setiap lembaga pendidikan.