Kas Daerah Kuat, Tapi Kemandirian Fiskal Masih Lemah

3 days ago

Pendapatan daerah merupakan cerminan kemampuan fiskal pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan penyelenggaraan layanan publik secara mandiri. Berdasarkan data dari Portal APBD DJPK Kementerian Keuangan, analisis terhadap komponen pendapatan dapat menunjukkan sejauh mana kemandirian fiskal tercapai serta tingkat ketergantungan daerah pada dukungan pendanaan dari pemerintah pusat.

Hingga akhir September 2025 atau triwulan III, realisasi pendapatan daerah secara nasional baru mencapai 66,69 persen dari target dalam APBD. Dari total pagu sebesar Rp1.352,6 triliun, baru sekitar Rp902 triliun yang masuk ke kas daerah.

Dari jumlah itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) terealisasi 65,96 persen dari target Rp405,8 triliun, sementara Transfer ke Daerah (TKD) sedikit lebih tinggi, yaitu 67,18 persen dari Rp884,9 triliun. Sisanya berasal dari pendapatan lain-lain, dengan capaian 64,34 persen.

Sekilas, angka-angka ini tampak stabil. Namun di baliknya tersimpan pesan penting: desentralisasi fiskal masih belum sepenuhnya menghasilkan kemandirian keuangan daerah. Sebagian besar daerah masih lebih banyak menunggu aliran dana pusat ketimbang mengandalkan kemampuan fiskalnya sendiri.

Pendapatan Daerah: Stabil tapi Belum Mandiri

Untuk memberi konteks, saya membuat kategori kinerja fiskal sampai triwulan III (Q3) berdasarkan realisasi terhadap target. Kinerja dikatakan “sangat baik” jika realisasi mencapai 85 persen atau lebih, artinya pendapatan hampir menyentuh target dan risiko ketidaktercapaian sangat kecil. “Baik” berarti berada di kisaran 70–84,9 persen, menggambarkan kemampuan mobilisasi pendapatan yang cukup efektif.

Selanjutnya, kategori “cukup” berada di antara 60–69,9 persen, yang menunjukkan kinerja moderat dan masih memerlukan perbaikan. Sementara “lemah”, yaitu di bawah 60 persen, menandakan realisasi yang rendah dan berisiko menimbulkan defisit apabila tidak segera ditingkatkan.

Dengan capaian nasional 66,69 persen, posisi agregat pendapatan daerah berada di kategori cukup. Artinya, stabil, tetapi belum memadai menjelang akhir tahun.

Jika dilihat lebih dalam, PAD sebagai tolok ukur kemandirian fiskal menunjukkan kinerja moderat. Data triwulan III menunjukkan performa komponen PAD sebagai berikut: pajak daerah baru mencapai 65,09 persen, retribusi 65,15 persen, hasil pengelolaan kekayaan daerah 71,05 persen, dan lain-lain PAD yang sah 72,59 persen.

Artinya, meski ada komponen yang tergolong baik, mayoritas masih berada dalam kategori cukup. Beberapa komponen non-pajak menunjukkan performa sedikit lebih baik, tetapi pajak dan retribusi, yang merupakan sumber utama PAD berulang, masih belum menutup dua pertiga pagu hingga Q3.

Di tingkat provinsi, pola serupa terlihat: beberapa provinsi menempati kategori baik atau sangat baik, sementara sejumlah provinsi terutama di kawasan timur banyak yang masih dalam kategori lemah (<60 persen). Hal ini mengindikasikan perlunya percepatan usaha pemungutan di triwulan IV. Secara keseluruhan, PAD sampai Q3 terealisasi sebesar Rp267,7 triliun.

Berbeda halnya dengan TKD yang relatif stabil dan sedikit lebih tinggi dari PAD. Dari total pagu Rp884,9 triliun, telah terealisasi Rp594,5 triliun atau 67,18 persen. Angka ini menandakan bahwa arus dana pusat masih menjadi urat nadi pembiayaan daerah. Dalam banyak provinsi, porsi TKD bahkan mencapai lebih dari 70 persen dari total pendapatan.

Ilustrasi dibuat dengan AI

Namun, ketergantungan ini menyimpan persoalan mendasar. Jika lebih dari dua pertiga pendapatan daerah berasal dari pusat, maka otonomi fiskal belum benar-benar berdiri sendiri. Daerah mungkin memiliki keleluasaan membelanjakan dana, tetapi tidak sepenuhnya berdaya untuk menghasilkannya.

Sementara itu, pos Pendapatan Lainnya, dengan pagu Rp61,9 triliun, hanya terealisasi 64,34 persen, termasuk kategori cukup. Di dalamnya, pendapatan hibah baru mencapai 42,57 persen, dan pendapatan transfer antar daerah 61,26 persen.

Capaian rendah ini menegaskan bahwa sumber-sumber non-reguler tidak bisa dijadikan penopang fiskal yang konsisten. Bahkan, pada beberapa daerah yang terlihat memiliki realisasi tinggi di pos ini, penyebabnya sering kali adalah penerimaan insidental, seperti penjualan aset atau pelunasan piutang, bukan pendapatan berulang.

Dengan demikian, pilar pendapatan daerah sejatinya masih bertumpu pada dua sumber utama: pajak daerah dan dana transfer pusat.

Antara Kas Kuat dan Belanja Lemah

Jika dikaitkan dengan fenomena yang dibahas dalam tulisan sebelumnya, yakni rendahnya realisasi belanja hingga triwulan III, maka situasinya menjadi lebih menarik. Penumpukan belanja di akhir tahun bukan terjadi karena lemahnya pendapatan, melainkan karena keterlambatan penyerapan dan perencanaan program. Faktanya, banyak daerah memiliki saldo kas yang cukup besar, bahkan sebagian dana mengendap dalam bentuk giro atau deposito.

Artinya, problem utama bukan di cash inflow, tetapi di cash outflow. Daerah punya dana, tapi belum mampu menyalurkannya secara optimal untuk pembangunan. Ini memperlihatkan paradoks fiskal: kas daerah kuat, tapi serapan belanja lemah.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa stabilitas fiskal belum otomatis berarti efektivitas fiskal. Desentralisasi baru akan bermakna jika daerah tidak hanya mampu menerima dana, tetapi juga cakap mengelolanya secara produktif.

Rekomendasi

Dari pembacaan data tersebut, beberapa langkah strategis dapat dilakukan untuk memperkuat kinerja fiskal daerah.

Pertama, penetapan target PAD harus realistis. Target yang terlalu optimistis justru bisa menurunkan kredibilitas kinerja. Pagu pendapatan sebaiknya disusun berdasarkan kapasitas fiskal riil serta kondisi ekonomi terkini.

Kedua, modernisasi administrasi perpajakan dan retribusi daerah menjadi langkah krusial. Digitalisasi sistem, integrasi data wajib pajak daerah, serta peningkatan kepatuhan masyarakat adalah kunci agar PAD optimal.

Selain itu, skema insentif berbasis kinerja (performance-based transfer) perlu diterapkan agar daerah yang berhasil meningkatkan PAD mendapat tambahan alokasi TKD.

Kolaborasi fiskal antardaerah juga penting untuk memperkuat basis pendapatan lokal. Sinergi lintas wilayah dalam pengelolaan aset, pembangunan infrastruktur bersama, dan pengembangan potensi ekonomi regional dapat membuka ruang baru bagi kemandirian fiskal.

Pada akhirnya, data Triwulan III 2025 menunjukkan bahwa kinerja pendapatan daerah cukup stabil, tetapi belum mandiri. Menjelang akhir tahun, tantangan bukan lagi soal besarnya dana, melainkan soal kemampuan daerah dalam mengelolanya dengan cepat dan efektif. Desentralisasi fiskal yang sejati menuntut dua hal sekaligus: penguatan kapasitas pendapatan lokal dan efisiensi pengelolaan keuangan. Tanpa itu, otonomi daerah akan terus berjalan, tapi tidak sepenuhnya berdaya.


Comments