Ketika Hidup Diatur Algoritma: Realita Gig Worker Indonesia

3 hours ago

Ilustrasi ojek online. Foto: Nugroho Sejati/kumparan

Hakikat pekerjaan selalu berubah mengikuti perkembangan teknologi. Secara global, transformasi digital telah memunculkan gig economy—model kerja berbasis aplikasi yang menawarkan fleksibilitas waktu dan peluang pendapatan harian.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat atau Eropa, tetapi juga menyebar luas di Asia, termasuk Indonesia, sejalan dengan ekspansi kapitalisme platform yang diulas Srnicek (2017).

Di Indonesia, aplikasi digital mengubah cara orang bekerja dan mencari penghasilan. Jutaan orang kini mengandalkan platform seperti Gojek, Grab, Maxim, ShopeeFood, hingga marketplace dan freelance platform untuk bertahan hidup.

Fleksibilitas menjadi daya tarik utama: siapa pun bisa bekerja kapan saja. Namun, di balik janji kebebasan ini terdapat persoalan serius tentang status hukum, perlindungan sosial, dan masa depan pekerja gig.

Ilustrasi bekerja. Foto: Shutterstock

Perubahan ini kontras dengan struktur kerja di era sebelum digital. Dahulu, pekerjaan didefinisikan melalui hubungan kerja formal: ada kontrak, jam kerja yang jelas, upah minimum, hak cuti, jaminan sosial, dan perlindungan keselamatan kerja, sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja.

Identitas jabatan juga dipetakan secara sistematis melalui Klasifikasi Baku Jabatan Indonesia (KBJI) yang disusun BPS—berbasis ISCO—untuk mengelompokkan pekerjaan berdasarkan keterampilan dan fungsi jabatan. Struktur ini memberi kepastian hukum dan kerangka standar kompetensi tenaga kerja.

Hari ini, realitas berubah drastis. Gig economy membuat batas pekerjaan menjadi cair. Sopir ojek digital tidak lagi disebut pekerja, tetapi “mitra”. Kurir aplikasi disebut “pekerja mandiri”. Bahkan, banyak kerja digital belum tercatat dalam KBJI, sehingga posisi hukumnya pun kabur dan sulit diakui secara kelembagaan.

Sebelum gig economy berkembang, sopir angkutan umum, buruh pabrik, dan guru sekolah berada dalam sistem kerja formal dengan perlindungan negara. Kini, pekerja platform hanya mengandalkan rating aplikasi, insentif harian, dan algoritma yang menentukan hidup mereka—sesuai kajian manajemen algoritmik oleh Meijerink & Bondarouk (2023). Transformasi ini bukan sekadar perubahan alat kerja, melainkan juga perubahan mendasar atas definisi pekerjaan itu sendiri.

Petugas memasang informasi lowongan pekerjaan saat bursa kerja di Thamrin City, Jakarta, Rabu (12/3/2025). Foto: Sulthony Hasanuddin/ANTARA FOTO

Alasan orang masuk ke gig economy beragam: kesulitan mengakses pasar kerja formal, tekanan ekonomi, tingginya biaya hidup, hingga kebutuhan pekerjaan cepat berpendapatan harian. Banyak pekerja gig justru bekerja 10–14 jam per hari, seperti diuraikan dalam laporan ILO mengenai work platform.

Survei Universitas Indonesia pada 2023 memperkirakan lebih dari 7,2 juta orang bekerja di sektor gig di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa gig economy tidak lagi menjadi ruang kerja alternatif, tetapi menjadi fondasi ekonomi digital Indonesia.

Namun, status pekerja masih didefinisikan sebagai “mitra,” bukan pekerja—menyebabkan mereka tidak memiliki hak atas upah minimum, perlindungan keselamatan kerja, jaminan sosial, dan mekanisme penyelesaian sengketa.

Banyak orang masih menyamakan gig worker dengan pekerja informal. Padahal, relasi kerjanya berbeda: seluruh proses kerja dimediasi algoritma. Aplikasi menentukan pesanan, tarif, rute penugasan, hingga penalti otomatis, sebagaimana ditekankan Pilatti et al. (2024). Bahkan, platform dapat memutus akun pekerja tanpa mekanisme pembelaan yang adil.

Negara sebenarnya telah berupaya hadir melalui skema BPJS Ketenagakerjaan bagi pengemudi ojek online. Namun karena sifatnya sukarela, beban iuran justru ditanggung pekerja sendiri, bukan perusahaan digital (Wibowo, 2023). Gig worker pun tidak memiliki hak cuti, THR, libur resmi, dan jam kerja terbatas, sebagaimana buruh dalam rezim UU ketenagakerjaan.

Peserta mengikuti pelatihan menjahit 'upper' atau bagian atas alas kaki di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Foto: ANTARA FOTO/Siswowidodo

Sementara itu di negara lain, paradigma hukum mulai bergeser. Putusan Mahkamah Agung Inggris tahun 2021—dalam kasus Uber BV v Aslam—menetapkan pengemudi Uber sebagai pekerja resmi yang berhak atas upah minimum dan jaminan sosial. Spanyol juga mewajibkan perusahaan mendaftarkan gig worker sebagai karyawan dan Amerika melalui model AB5 mendorong perlindungan serupa (Rogers, 2021).

Indonesia tertinggal dalam reformasi ini. Selama status gig worker terus ditempatkan dalam kategori “mitra”, posisi tawar mereka akan tetap lemah. Perusahaan digital akan terus mengatur tarif, menentukan pendapatan, hingga memutus akses kerja. Pekerja tampak bebas, tetapi pada kenyataannya hidup mereka dikendalikan algoritma yang tidak transparan.

Ekonomi digital memang menjadi masa depan kerja nasional. Namun, masa depan itu tidak boleh dibangun di atas kerentanan tenaga kerja. Negara perlu menetapkan standar upah minimum bagi pekerja platform, mewajibkan jaminan sosial, membuka ruang serikat, menjamin keadilan algoritmik, dan menyediakan mekanisme keberatan terhadap pemutusan akun sepihak.

Mereka yang bekerja mengantar penumpang di tengah panas, menjelajahi kota membawa kiriman, dan menopang kenyamanan digital kita setiap hari bukan hanya “mitra aplikasi”, melainkan juga pekerja Indonesia—manusia yang berhak atas martabat, jaminan keamanan, dan perlindungan hukum.


Comments