25 days ago
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari dalam masyarakat dan dari sejarah.” -Pramoedya Ananta Toer
Ada masa ketika membaca Bumi Manusia terasa seperti membuka lembar sejarah yang usang sebuah roman kolonial yang jauh dari hiruk pikuk zaman digital, dari TikTok, dan algoritma ekonomi. Namun, semakin kita tenggelam dalam kata-kata Pramoedya, semakin kita sadar apa yang ditulis puluhan tahun silam itu belum benar-benar menjadi masa lalu.
Di tengah Indonesia 2025 yang gemerlap dengan klaim kemajuan dan pertumbuhan ekonomi, kita masih hidup di tanah yang kadang terasa seperti Hindia Belanda dengan wajah baru. Di balik deretan gedung kaca dan jargon pembangunan, masih ada yang kalah dalam permainan bernama “kemerdekaan”.
Minke, tokoh utama dalam Bumi Manusia, adalah anak pribumi yang berpendidikan Belanda. Ia mencintai kebebasan berpikir, namun sekaligus terikat oleh sistem sosial yang menindas bangsanya sendiri. Ia bukan pahlawan dengan senjata, melainkan manusia yang mencari jati diri di tengah ketimpangan.
Bukankah kita pun, hari ini, adalah Minke-Minke kecil yang gelisah?Berpendidikan tinggi, terhubung dengan dunia, tapi sering kali bisu di hadapan ketidakadilan yang terus berulang. Minke menulis untuk melawan ketertindasan. Ia percaya pada pena dan nalar sebagai alat pembebasan. Namun dalam masyarakat yang sudah terbelah antara “yang punya akses” dan “yang tidak”, kata-kata pun kini bisa tumpul. Kita hidup di era ketika kebenaran bersaing dengan kecepatan klik, dan nalar dikalahkan oleh narasi yang disponsori.
Pramoedya menulis tentang struktur sosial yang timpang: pribumi, Tionghoa, Belanda, dan ningrat. Kini, bentuknya memang berubah, tetapi esensinya masih sama antara yang punya kuasa ekonomi dan yang hanya punya tenaga.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2025 menunjukkan rasio gini Indonesia masih berada di angka 0,379, hampir stagnan selama lima tahun terakhir. Artinya, 1 persen penduduk menguasai lebih dari 45 persen aset nasional. Di desa-desa, terutama wilayah timur, kesenjangan pembangunan terasa semakin lebar. Listrik dan air bersih masih menjadi kemewahan di beberapa kecamatan, sementara kota besar berdebat soal mobil listrik dan startup hijau.
Sama seperti dalam Bumi Manusia, keadilan tampak menjadi milik mereka yang berpendidikan tinggi dan berpunya. Nyai Ontosoroh yang berjuang menegakkan haknya di pengadilan kolonial hari ini menjelma menjadi para perempuan pekerja, petani, buruh migran, dan pedagang kecil yang berhadapan dengan hukum yang masih timpang. Di hadapan aparat dan birokrasi, mereka sering tak lebih dari nama tanpa kuasa.
Bagi Pramoedya, pendidikan adalah jalan menuju kesadaran. Ia menulis bagaimana Minke menemukan kemerdekaan berpikir lewat sekolah dan buku. Tapi Pram juga tahu, pendidikan bisa jadi alat penindasan jika hanya milik segelintir orang. Ironisnya, satu abad setelah cita-cita itu digemakan, pendidikan kita masih berjarak dari rakyat kecil.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat lebih dari 9.000 sekolah di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) masih kekurangan guru tetap. Di banyak tempat, guru honorer mengajar dengan gaji di bawah upah minimum. Anak-anak harus berjalan berjam-jam menyeberangi sungai hanya untuk sampai di sekolah dasar.
Di sisi lain, kota-kota besar bersaing memamerkan kampus internasional, digitalisasi kelas, dan lomba prestasi global. Seakan-akan pendidikan telah berubah menjadi perlombaan eksklusif, bukan lagi sarana pembebasan.
Minke akan menangis jika tahu, betapa jauh negeri ini melenceng dari cita-cita “belajar untuk merdeka” yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Indonesia hari ini penuh dengan Minke yang tidak tahu harus bersuara ke mana. Beberapa waktu lalu para mahasiswa turun ke jalan membawa spanduk “#DarkIndonesia”, menolak pemotongan anggaran pendidikan dan subsidi rakyat. Mereka bukan sekadar protes, melainkan jeritan generasi yang mulai kehilangan kepercayaan pada masa depan di tanah sendiri.
Sementara itu, elite politik masih berkutat pada perebutan kursi, bukan gagasan. Diskursus publik kehilangan kedalaman berita viral menggantikan perdebatan rasional. Di ruang digital, kata-kata lebih cepat dibungkam oleh algoritma daripada oleh kekuasaan formal.
Pramoedya dulu diasingkan karena tulisannya dianggap mengancam kekuasaan. Kini, banyak penulis diasingkan oleh sistem yang lebih halus ketidakpedulian publik. Kita hidup di zaman ketika pembodohan tidak lagi dilakukan dengan larangan membaca, tetapi dengan banjir informasi yang tanpa arah.
“Penjajahan,” tulis Pramoedya, “tidak selalu datang dari luar.” Kalimat itu kini terasa semakin nyata. Penjajahan hari ini hadir dalam bentuk yang lembut kredit konsumtif, algoritma media sosial, ketergantungan ekonomi digital. Kita merasa merdeka, padahal banyak keputusan hidup dikendalikan oleh sistem yang tak kasat mata harga pangan ditentukan korporasi besar, data pribadi dikomersialisasi, dan opini publik diarahkan lewat buzzer.
Bahkan dalam hukum, bayangan kolonial masih terasa. Putusan pengadilan yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, aparat yang lebih patuh pada atasan ketimbang pada keadilan, hingga rakyat kecil yang kehilangan tanah demi proyek strategis nasional semuanya seakan menegaskan bahwa kemerdekaan hukum masih setengah jalan.
Jika Pramoedya hidup hari ini, mungkin ia akan menulis ulang kisah Nyai Ontosoroh bukan sebagai gundik, melainkan sebagai buruh migran yang melawan sistem perbudakan modern. Atau sebagai ibu rumah tangga yang berjuang agar anaknya tetap sekolah di tengah ekonomi yang kian menjerat.
Nyai Ontosoroh mengajarkan kita bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh status atau asal-usul, melainkan oleh keberanian untuk berpikir dan melawan. Dan Indonesia membutuhkan lebih banyak Nyai Ontosoroh hari ini perempuan yang menolak dibungkam oleh adat, agama, atau negara. Kita harus sadar bahwa harga diri tidak diwariskan, melainkan diperjuangkan.
Membaca Bumi Manusia di tahun 2025 adalah latihan untuk menatap cermin sejarah. Bukan untuk mengagumi masa lalu, tetapi untuk mengingat betapa panjang perjalanan menuju bangsa yang benar-benar merdeka.
Kita sering terjebak dalam nostalgia tanpa kesadaran. Kita bangga pada proklamasi, tapi melupakan isi kemerdekaan. Kita berteriak “NKRI harga mati”, tapi membiarkan anak bangsa kelaparan di pelosok negeri. Kita bicara tentang “revolusi industri 5.0”, tapi lupa revolusi kemanusiaan yang belum selesai.
Pramoedya pernah berkata, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Namun membaca juga bisa menjadi perlawanan perlawanan terhadap lupa, terhadap kebodohan yang disengaja, terhadap kekuasaan yang menuntut diam.
Ketika halaman terakhir Bumi Manusia ditutup, Minke harus menerima kenyataan pahit: kekasihnya, Annelies, dibawa pergi oleh hukum kolonial yang tak bisa ia lawan. Kita pun hari ini masih menyaksikan banyak “Annelies” yang lain rakyat kecil, kebenaran, idealisme direnggut oleh sistem yang tak berpihak.
Tapi sebagaimana Minke, kita masih punya satu hal yang tak bisa dirampas kesadaran. Dan dari kesadaran itulah bangsa ini bisa kembali menulis bab baru dalam sejarahnya. Karena mungkin, seperti kata Pram, “Manusia hanya benar-benar mati ketika ia kehilangan harapan.” Dan Indonesia belum mati selama masih ada yang mau membaca, menulis, dan melawan lupa.