21 days ago
Setelah purnatugas, saya semakin mempunyai banyak waktu longgar untuk menemani anak perempuan saya yang tunagrahita di SLB Negeri Semarang. Selama proses pembelajaran berlangsung, biasanya saya menunggu di beberapa titik yang cukup nyaman di lingkungan sekolah untuk penyandang disabilitas tersebut.
Tempat favorit saya, gazebo di dekat kelas tunadaksa dan tunanetra. Di sana, saya makin akrab dengan pemandangan bapak dan ibu guru mendorong kursi roda siswa atau siswinya untuk sekadar mengantar ke toilet atau keperluan lain.
Di samping itu, ada pula siswa-siswi tunanetra yang mendapat bimbingan dari para pendidiknya untuk berlatih berjalan, baik dengan tongkat maupun tidak.
“Itu namanya orientasi mobilitas. Melatih keterampilan siswa-siswi berjalan dengan tongkat. Prinsipnya seperti spiral obat nyamuk bakar. Pengenalan dari lingkungan terdekat dengan proses secara bertahap hingga meningkat pada capaian terjauh di lingkungan sekolah,” papar Wakil Kepala SLB Negeri Semarang Aris Wibowo, S.Pd., saat mendampingi seorang siswa tunanetra asal Blora, Andra.
“Adapun, guru mengantar siswa-siswi dengan cara menuntunnya tanpa tongkat, itu pendampingan awas. Tentu saja cara menuntunnya dengan cara yang lembut. Tidak ditarik-tarik atau didorong-dorong,” ujarnya berbalut candaan.
Orientasi merujuk pada cara penyandang tunanetra, dengan keterbatasan indra penglihatannya, mengupayakan pemahaman terhadap lingkungan justru lewat indra yang lain, yaitu pendengaran, perabaan, dan penciuman.
Mereka juga memakai konsep spasial, yaitu kemampuan memahami, memproses, dan menginterpretasikan informasi mengenai ruang, jarak, dan lokasi.
Selain itu, mereka juga memakai peta mental, yaitu gambaran atau representasi internal yang mereka bangun tentang ruang dan lingkungan sekitar. Ini dibentuk lewat pengalaman, pembelajaran, dan persepsi terhadap lingkungan.
Kemudian orientasi itu bertalian dengan mobilitas bagi penyandang tunanetra, yang melibatkan keterampilan praktis, meliputi memahami arah. Dalam artian mengetahui arah dan jarak berikut memanfaatkan berbagai rujukan yang terdapat di lingkungan untuk bergerak.
Orientasi mobilitas bagi mereka merujuk pada penguasaan keterampilan yang mengasah kemampuan sehingga dapat memahami dan dapat menjalani mobilitas di lingkungan sekitar.
Terikut dalam keterampilan ini adalah soal bagaimana mereka mengetahui posisinya (orientasi). Berikut mengupayakan pemahaman relasi antarobjek yang terletak di suatu lingkungan.
Dan, seterusnya melatih diri (dengan bantuan guru atau kalau sudah lancar bisa secara mandiri) bergerak dari satu titik menuju ke titik lain dengan mempertimbangkan keamanan dan keefektifan (mobilitas).
Dalam konsep orientasi mobilitas, diperlukan teknik berjalan. Dalam hal ini ada proses pembelajaran ke arah cara berjalan secara aman.
Ada cara-cara yang bisa diajarkan untuk melewati rintangan, menerapkan teknik tegak lurus dengan benda, dan upaya menghindar saat bahaya datang.
Selain belajar teknik berjalan yang aman dan efektif, penyandang tunanetra berinteraksi dengan lingkungan. Misalnya adanya suara. Saat menaiki Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang, saat akan berhenti di titik-titik yang sudah ditentukan, ada suara (baik dari mesin pengumuman yang sudah ter-setting maupun pemberitahuan dari kondektur).
Pembelajaran orientasi mobilitas mendorong kemandirian penyandang tunanetra untuk bergerak ataupun berinteraksi di dalam lingkungan. Dengan demikian, dapat mengurangi ketergantungan kepada orang lain saat berinteraksi di luar rumah.
“Proses ke arah kemandirian penyandang tunanetra saat bepergian perlu dilakukan secara bertahap. Saya bahkan perlu memberitahu lebih dahulu pihak BRT terkait dengan kondisi siswa saya yang tunanetra. Dan, mohon bantuan mereka untuk mengarahkannya saat tiba di halte atau tempat pemberhentian tujuan," ucap Aris.
Aris mencontohkan proses pembelajaran orientasi mobilitas siswanya yang bernama Andra. Dia yang tinggal indekos bersama pakliknya di salah satu lokasi di Kota Semarang yang jaraknya relatif jauh dari sekolah itu, merupakan pengguna BRT yang setia.
“Sekolah hanya bisa memfasilitasi. Selanjutnya tergantung pada mental si anak. Berani atau tidak. Juga kerja sama dengan keluarga. Si Andra ini pada awal berangkat dan pulang sendiri naik BRT, secara diam-diam diikuti oleh pakliknya dengan naik sepeda motor. Setelah beberapa kali, pakliknya memastikan Andra bisa dilepas sendiri,” kisah Aris.
Dia mengharapkan, keberhasilannya melakukan pembelajaran terhadap Andra dan sejumlah murid tunanetra lainnya, bisa membuat mereka mampu meningkatkan kualitas hidup. Kelak mereka bisa lebih mudah melakukan aktivitas kuliah, bekerja, atau berinteraksi sosial.
Berbicara tentang orientasi mobilitas para penyandang tunanetra, tidak lengkap tanpa menyinggung tentang blok pemandu (guiding block).
Ia biasanya dipasang di trotoar, stasiun, terminal, dan tentu saja di sekolah luar biasa. Selain itu, di sekitar tempat rawan bahaya, seperti ujung tangga atau perubahan arah jalan.
Para penyandang tunanetra itu pun menggunakan ujung tongkatnya untuk meraba-raba blok pemandu itu. Benda tersebut dapat menavigasi menuju ke arah tujuan dari aktivitas orientasi mobilitas itu.
Terdapat dua pola blok pemandu itu. Pertama, pola garis lurus yang menjadi pemandu untuk menavigasi arah jalan lurus yang aman terlewati.
Kedua, pola bulatan atau titik yang memberi peringatan adanya rintangan atau perubahan arah.
Balok pemandu dengan rabaan-rabaan pada ujung tongkatnya, dapat membantu para penyandang tunanetra mengetahui arah jalan yang sesuai dengan tujuan. Pilihannya adalah melanjutkan perjalanan atau memilih jalur yang berlainan.
Selain itu, keberadaan blok pemandu juga berfungsi untuk memulihkan kesadaran publik. Terutama mengenai betapa penting adanya inklusi dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.