2 days ago
Sejumlah pelaku industri baja yang tergabung dalam Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) menggelar aksi massa di depan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Kementerian Keuangan, Rawamangun, Jakarta Timur, pada Selasa (28/10).
Pantauan di lokasi menunjukkan, puluhan peserta aksi mengenakan rompi oranye dan helm proyek, sebagian membawa bendera merah putih serta papan tuntutan.
Mereka berkumpul di bawah kolong jalan layang Rawamangun sejak pagi, sebelum bergerak ke depan kantor Bea Cukai yang dijaga ketat aparat kepolisian. Suasana sempat ramai ketika perwakilan ISSC diterima untuk melakukan audiensi dengan pihak DJBC.
Menurut salah satu anggota ISSC, aksi ini diikuti sekitar 100 personel. Massa mulai berkumpul sejak pukul 07.00 WIB dan membubarkan diri sekitar pukul 11.54 WIB setelah perwakilan diterima untuk berdialog.
Ketua Umum ISSC, Budi Harta Winata, mengatakan pihaknya meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menghentikan impor konstruksi baja dari luar negeri, terutama dari Vietnam dan China, yang dinilai merugikan industri dalam negeri.
"Meminta (Kementerian Keuangan) untuk menyetop impor-impor konstruksi baja supaya ini tidak mengganggu iklim usaha konstruksi baja dalam negeri," ujar Budi Harta kepada awak media.
Budi menjelaskan, masalah impor baja ini menyangkut lintas kementerian. Karena itu, ISSC meminta Bea Cukai membantu menjembatani agar ISSC bisa mengetahui siapa yang memberikan izin impor baja jadi yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri.
"Nanti kami minta kepada Bea Cukai untuk dijembatani supaya kami bisa tahu sebenarnya siapa yang memberikan izin barang konstruksi baja yang mestinya bisa dibikin dalam negeri, kok ini bebas masuk dari Vietnam dan China," kata Budi.
Katanya, ISSC bukan menentang Bea Cukai, tetapi justru mendukung langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Dirjen Bea Cukai dalam memberantas praktik impor ilegal.
"Nah, ini yang tidak ada pengawasannya, kami hari ini adalah, kami mendukung Bea Cukai, kami mendukung Menteri Keuangan Pak Purbaya bahwa akan menangkap para mafia-mafia impor baja ini, apakah itu sesuai dengan peraturan atau tidak," ujarnya.
Menurut Budi, maraknya baja impor telah menggerus peluang kerja di industri baja nasional, yang selama ini menjadi tumpuan ribuan tenaga kerja lulusan STM atau SMK di berbagai daerah.
"Orang sekolah, anak STM, rangking 1 sampai 10, dia gampang kerja. Dia bisa jadi Bea Cukai, dia bisa jadi tentara, jadi polisi, tapi mesti pikirkan, teman-teman STM, SMP, yang dia tidak ranking. Nah, ke mana mereka bekerja? Industri konstruksi baja dalam negeri ini, 95 persen, semua karier itu diajarin, dididik," lanjut Budi.
Derasnya impor konstruksi baja telah membuat banyak pelaku kecil menengah kehilangan pesanan dan kesempatan kerja.
"Setelah banyak masuk impor konstruksi baja, kita sudah nggak banyak lagi mempekerjakan teman-teman STM. Betapa sedihnya ya. Nah, ini artinya harus menjadi perhatian pemerintah untuk segera menyetop konstruksi baja jadi, karena takutnya tidak sesuai dengan standar dalam negeri," kata ia.
Budi menuturkan, fenomena impor baja ini telah berlangsung sejak 2017. Hingga Juli 2025, total baja konstruksi yang masuk dari Vietnam dan China sudah mencapai 600 ribu ton. Padahal, kapasitas produksi dalam negeri mencapai sekitar 1 juta ton per tahun.
"Jadi tahun ini sampai bulan Juli (2025), itu udah masuk 600 ribu ton. Sedangkan kapasitas kita ini kan, 1 juta ton (per tahun). Artinya, nanti itu bisa 1 juta ton, gitu menghilangkan semua kerjaan-kerjaan kita," ujarnya.
Kerugian yang ditimbulkan, menurut Budi, mencapai triliunan rupiah karena bukan hanya industri baja yang terdampak, tetapi juga rantai pasok yang lebih luas.
"Kerugian triliunan, bukan hanya triliunan, tapi rantai pasoknya. Hilangnya pekerjaan-pekerjaan teman-teman ini, gitu lho, jadi kan konstruksi baja ini ada kayak kontrakannya, makanannya, dan segala yang berkaitan dengan itu," imbuh Budi.
ISSC menilai, masuknya baja konstruksi dari Vietnam dan China bukan karena kekurangan kapasitas nasional, melainkan akibat praktik predatory pricing, perbedaan aturan antarnegara, serta lemahnya pengawasan impor.