Bahasa Portugis Masuk Sekolah: Potensi atau Ancaman bagi Bahasa Indonesia?

14 hours ago

Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva saling menggenggam tangan usai pertemuan bilateral di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (23/10/2025). Sumber: Shutterstock.com

Ketika Presiden Indonesia mengumumkan rencana menjadikan bahasa Portugis sebagai mata pelajaran di sekolah Indonesia, banyak yang langsung bertanya, “Untuk apa?” Alasannya terdengar diplomatis untuk memperkuat hubungan dengan Brasil dan negara-negara berbahasa Portugis. Namun, di balik alasan yang tampak visioner itu, ada tanda tanya besar tentang urgensi dan arah kebijakan bahasa nasional kita.

Ironisnya, keputusan ini muncul tak lama setelah UNESCO menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Pengakuan tersebut bukan hal kecil, melainkan hasil perjuangan panjang linguistik, diplomasi budaya, dan kerja kolektif banyak pihak. Bahasa Indonesia kini diakui dunia sebagai salah satu bahasa yang layak dipelajari dan dikembangkan secara global.

Namun, justru di tengah momen bersejarah itu, pemerintah mengalihkan perhatian ke bahasa asing lain yang tidak punya kedekatan langsung dengan realitas sosial, ekonomi, maupun budaya masyarakat Indonesia.

Ilustrasi masyarakat Indonesia. Foto: Shutterstock

Ini bukan sekadar soal bahasa Portugis. Ini soal arah dan prioritas. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan sebuah simbol kedaulatan, identitas, dan representasi budaya suatu bangsa. Saat kita justru sibuk memprioritaskan bahasa asing tanpa kebutuhan nyata di dalam negeri, ada kesan bahwa kita tidak percaya diri dengan bahasa sendiri. Kita sedang berusaha “mendunia” dengan cara yang aneh: menjauh dari bahasa yang baru saja diakui dunia.

Dari sisi praktis pendidikan, urgensinya pun lemah. Hingga kini, kemampuan literasi bahasa Indonesia siswa masih tergolong rendah. Di saat kemampuan bahasa nasional saja belum kokoh, menambah bahasa baru seperti Portugis bukan solusi; hal itu justru bisa menambah kebingungan dan beban kurikulum.

Apalagi, belum ada tenaga pengajar bahasa Portugis yang siap: tidak ada infrastruktur, buku ajar, atau kompetensi dasar yang bisa dijadikan acuan. Kebijakan ini terdengar seperti langkah politik yang ingin terlihat “internasional”, tanpa fondasi akademis yang kuat.

Ilustrasi Bahasa-bahasa di Dunia Foto: Getty Images

Dari sisi kebahasaan, kebijakan ini juga punya implikasi ideologis. Kita sedang hidup di era ketika bahasa menjadi alat kekuasaan dan diplomasi budaya. Pengajaran bahasa Portugis bisa saja dianggap langkah strategis dalam politik luar negeri. Namun dalam konteks pendidikan nasional, itu bisa menjadi bentuk cultural distraction, pengalihan arah dari agenda yang lebih mendesak, dan memperkuat penguasaan dan posisi bahasa Indonesia di tengah arus globalisasi.

Jika pemerintah ingin mendorong kerja sama internasional, bukankah lebih logis menguatkan kemampuan bahasa Inggris, Mandarin, atau Arab yang punya relevansi ekonomi dan sosial lebih luas?

Bahasa Indonesia sendiri sedang punya momentum langka. Pengakuan UNESCO seharusnya dijadikan pijakan untuk menginternasionalisasi kurikulum, riset, dan diplomasi bahasa nasional.

Ilustrasi penerima beasiswa. Foto: Kemenkeu RI

Misalnya dengan memperluas program beasiswa bagi pelajar asing yang ingin belajar bahasa Indonesia, memperbanyak penerjemahan karya sastra Indonesia ke berbagai bahasa dunia, dan memperkuat posisi pengajar bahasa Indonesia di luar negeri. Itu semua langkah yang bisa memperluas pengaruh budaya Indonesia secara nyata, bukan sekadar menambah daftar bahasa asing di ruang kelas.

Kebijakan bahasa Portugis ini justru menunjukkan paradoks klasik: kita terlalu cepat ingin dianggap “global”, padahal belum selesai membangun pondasi nasional. Bahasa Indonesia baru saja diakui dunia, tapi penghargaan terhadapnya di dalam negeri belum maksimal.

Banyak siswa masih menganggap bahasa Indonesia “mudah” atau “tidak penting”. Padahal, kemampuan menulis akademik, berpikir kritis, dan memahami teks justru lahir dari penguasaan bahasa sendiri.

Ilustrasi anak belajar di dalam kelas. Foto: hxdbzxy/Shutterstock

Menjadikan bahasa Portugis sebagai mata pelajaran wajib tidak hanya tidak relevan, tetapi juga berpotensi menjadi ancaman simbolik terhadap posisi bahasa Indonesia. Sebab, semakin banyak bahasa asing yang diutamakan tanpa arah strategis, semakin kabur pula jati diri linguistik kita sebagai bangsa. Kita seharusnya tidak alergi terhadap bahasa asing, tapi juga jangan sampai kehilangan orientasi kebahasaan nasional.

Pendidikan bahasa mestinya berangkat dari kebutuhan, bukan gengsi diplomatik. Dan kebutuhan terbesar kita saat ini bukan menambah bahasa baru, melainkan memperkuat fondasi bahasa sendiri, bahasa yang sudah diakui dunia, tapi belum sepenuhnya kita rawat di rumah sendiri.

Bahasa Portugis boleh jadi menarik, tapi bahasa Indonesia adalah rumah. Dan rumah—seharusnya—selalu menjadi prioritas sebelum kita berkelana ke tempat lain.


Comments