Cerita Mahasiswa Yogya 13 Bulan Kerjakan Film Animasi, Hasilnya Banjir Pujian

3 hours ago

Anak Agung Gde Bagus Adhistya Sedana (21) mahasiswa jurusan Animasi di Sekolah Tinggi Multi Media (MMTC) Yogyakarta memamerkan karya animasinya yang menuai pujian di media sosial. Foto: Arfiansyah Panji/kumparan

Sebuah trailer film animasi berjudul "Ikan Mas Tur Dedari" banjir pujian di media sosial. Meski baru cuplikan yang diunggah, warganet menilai film ini berkelas internasional. Bak anime bikinan Jepang.

Adalah Anak Agung Gde Bagus Adhistya Sedana (21 tahun) mahasiswa jurusan Animasi di Sekolah Tinggi Multi Media (MMTC) Yogyakarta sosok di balik karya ini.

"Saya asli Gianyar, Bali. Di sini kuliah di MMTC jurusan animasi," kata Adhistya membuka pembicaraan di sebuah kafe di kawasan Depok, Kabupaten Sleman, Jumat (19/9).

Film ini, Adhistya mengungkapkan, adalah karya tugas akhir untuk menamatkan perkuliahan. Dalam tugas akhir ini, konsentrasi yang dia ambil background bercorak realis.

"Makanya look-nya seperti itu harus mengerjakan detail harus dengan warna, pencahayaan, karena memang itu penelitiannya," katanya.

Dikerjakan Sendiri 13 Bulan

Dalam tugas akhir, kampus tak mewajibkan mahasiswa mengerjakan sendiri tetapi bisa dibantu mahasiswa lain. Namun, Adhistya memilih mengerjakan sendiri.

"Saya kerja sendiri sebenarnya," bebernya.

Namun karena dia mengejar untuk mengumpulkan bulan September ini, maka adiknya turut membantu dalam penggarapan film ini.

"Dia masih SMA. Untungnya dia cukup cepat menangkap yang saya kasih tahu. Cukup membantu (mengerjakan) yang mudah-mudah. Dia mengerjakan di rumah," jelasnya.

"Terus kalau untuk background storyboard, produksi visual selain coloring (yang turut dibantu) adik saya itu saya yang mengerjakan sendiri dari Agustus akhir (2024) sampai September (2025) awal," bebernya.

Perhitungan Adhistya tepat, September ini dia berhasil mendaftar dan ujian skripsi.

Perjuangan 13 Bulan

Anak Agung Gde Bagus Adhistya Sedana (21) mahasiswa jurusan Animasi di Sekolah Tinggi Multi Media (MMTC) Yogyakarta yang karya animasinya yang menuai pujian di media sosial. Foto: Arfiansyah Panji/kumparan

Film yang berdurasi sekitar 15 menit ini, dikerjakan dengan tantangan. Meski Adhistya mengaku sangat menikmati prosesnya.

"Enggak bisa tidur," jelasnya.

Apalagi ketika mendekati deadline Adhistya tidur jam 4 pagi dan bangun 7 pagi. Aktivitasnya pun hanya menggarap film animasi ini, makan, dan tidur.

"(Prosesnya) frame by frame. Itu menggambar satu per satu. Disusun, composite, segala macam, dikasih efek," katanya.

"24 gambar dalam satu detik," bebernya.

Berlatar Belakang Bali

Adhistya mengatakan dirinya memang sengaja mengangkat latar belakang Bali dalam filmnya. Dia memberikan bocoran film ini berkisah tentang Saras yang tinggal bersama ayahnya dan neneknya.

"Sampai suatu hari si Saras mendapati fakta ke mana sih selama ini ibunya pergi karena ada hal yang mentrigger Saras dulu, makanya dia punya rasa penasaran seperti itu," katanya.

Film Ikan Mas Tur Dedari ini dijelaskan Adhistya terinspirasi dari cerita rakyat Bali berjudul Durma lan Rajapala.

"Itu salah satu geguritan, kaya karya sastra Bali. Itu premisnya juga sama. Itu mirip kaya Jaka Tarub. Durma ini anak bidadari dan manusia. Dan ibunya harus pergi," katanya.

Tokoh ikan mas di Durma lan Rajapala tak ada. Tetapi di film ini Adhistya hadirkan karena dia suka konsep Like a Fish Upon The Sky.

"Itu saya pernah dengar dan saya suka. Itu artinya sesuatu yang tidak mungkin tapi jadi mungkin. Makanya ada sosok ikan yang bisa terbang itu di situ," katanya.

Potret Kehidupan Bali

View post on Instagram
 

Cerita rakyat Bali itu dia bawa ke medium yang lebih modern. Tujuannya supaya bisa merepresentasikan Bali sesungguhnya lebih luas.

"Kalau di film-film today yang sudah banyak ini kadang suka lihat tokoh karakter Bali yang pakai baju adat. Padahal itu kan enggak setiap hari tidak seperti itu," bebernya.

Ibu-ibu Bali yang di banyak film digambarkan selalu memakai kain kamen. Pada kenyataannya hal itu tak selalu dilakukan menurut Adhistya.

"Enggak setiap hari orang pakai kain dan slendang. Makanya saya buat itu modern karena mau ngasih tahu orang Bali enggak setiap hari begitu lho," jelasnya.

Sosok Saras yang rambutnya dijalin dan pakai pita menggambarkan anak perempuan di Bali yang setiap sekolah wajib rambutnya dijalin.

"Itu mengikuti aturan sekolahnya. Setahu saya ada perdanya itu di sekolah-sekolah negeri," katanya.

Pengisi Suara Dibantu Teman dan Keluarga

Sementara untuk pengisi suara, Adhistya dibantu oleh orang-orang terdekatnya.

"Voice actor yang terlibat di film itu sekitar saya semua. Tokoh utama Saras itu (yang ngisi) adik saya," katanya.

Tokoh lain pengisi suara diisi teman hingga nenek Adhistya.

Viral di Media Sosial

Awalnya karya ini dia iseng pamerkan di TikTok. Namun banyak respons positif dari warganet. Adhistya pun tak menyangka apresiasinya sebanyak ini.

"Banyak yang repost. Sekarang sudah 6 juta views," bebernya.

Soal inspirasi, Adhistya mengatakan visual karyanya mengacu karya Makoto Shinkai yang membuat Kimi No Nawa.

"Karena memang khas banget background-nya. Sempat dia diwawancara kalau memang background yang dia pakai hiper realistik namanya. Itu kan menurut saya cocok dengan topik skripsi saya," katanya.

Adhistya belum mendetailkan biaya total pembuatan film ini. Namun untuk lagu setidaknya dia mengeluarkan sekitar Rp 6 juta untuk 12 lagu buatan temannya.

"(Total) pastinya saya belum pastiin," katanya.

Ke depan film ini akan diikutkan ke festival film. "Fokus ke sana dulu. Mungkin nanti kalau akhirnya punya kesempatan untuk publikasi ya pasti tak segerakan penayangannya. Banyak yang nanyain juga kan," pungkasnya.


Comments