3 days ago
“Kami kayak orang gila. Dihantam kanan-kiri, dimarah-marahi orang. Keliling desa, ketuk rumah-rumah penduduk tiap sore. Korban waktu, tenaga, keluarga. Tapi minimal kami bisa bantu dengan tenaga. Bisa jadi orang berguna meski awalnya enggak bisa apa-apa.”
- Adi Prasetyo (Doyok), Ketua KSM Tirta Saras, Desa Kesambi
Adi Prasetyo alias Doyok adalah salah satu ujung tombak perubahan di Desa Kesambi, Kecamatan Mejobo, Kudus, Jawa Tengah. Bersama sang kepala desa, Mokhamad Masri, mereka bahu-membahu mengubah kebiasaan warga yang berbahaya bagi kesehatan: membuang tinja ke sungai.
Mengubah cara hidup, termasuk cara buang hajat, sama sekali tak mudah. Apalagi kebiasaan itu sudah mengakar puluhan tahun sejak masa nenek moyang. Mayoritas penduduk Desa Kesambi bahkan tidak tahu bahwa membuang tinja ke sungai adalah pencemaran lingkungan dan ancaman bagi kesehatan mereka—yang sehari-hari minum dari air sumur yang berasal dari sungai yang tercemar tinja itu.
“Saya sudah 40 tahun buang tinja di pinggir kali, di bantaran sungai, enggak apa-apa, masih sehat,” bantah sejumlah warga Kesambi jelang akhir 2024, ketika pemerintah desa mulai menyosialisasikan program pembangunan sanitasi aman, hasil kerja sama pemerintah kabupaten, desa, kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan Djarum Foundation—yayasan nirlaba dengan misi meningkatkan kualitas manusia dan melestarikan lingkungan.
Doyok, Ketua KSM Tirta Saras yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang las, mengatakan, “Mengubah perilaku itu kan mengubah mindset atau pola pikir. Itu paling berat. Warga harus disadarkan bahwa cara yang dilakukan [soal buang hajat] selama ini salah.”
Kades Masri menjelaskan, pembangunan di Kesambi memang perlu dilakukan bertahap karena tak hanya menyentuh pembangunan fisik, tapi juga pembangunan manusia.
“Pembangunan manusia, soal pola pikir, itu butuh waktu. Kami harus dekati masyarakat dan memberikan sosialisasi, edukasi, termasuk dengan menempel berbagai spanduk. Untuk itu pemerintah desa tidak bisa jalan sendiri. Kami dibantu KSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, jam’iyah-jam’iyah (perkumpulan keagamaan), untuk menyosialisasikan pentingnya kebersihan,” ujar Masri di Balai Desa Kesambi, Selasa (5/8).
Pun setelah sosialisasi, program sanitasi aman masih mendapat penolakan dari sekitar 53 orang warga Kesambi. Kepada mereka, pemerintah desa melakukan pendekatan ekstra dengan mengundang camat dan kapolsek. Bersama-sama, mereka mencoba memberikan pengertian kepada warga yang masih berkeras menolak pembangunan sanitasi aman.
“Pak Camat bicara tentang peraturan daerah [tentang air bersih], Pak Kapolsek bicara mengenai hukum pencemaran [lingkungan]. Sekarang warga mengerti: wis ora oleh buang [tinja] ning sungai,” kata Masri.
Sebelum program sanitasi terpadu masuk ke Kesambi pada tahun 2024, warga desa itu sudah memiliki jamban di rumah masing-masing, namun dengan saluran pembuangan ke sungai. Kala itu penduduk Kesambi masih sedikit, rumah-rumah warga belum padat, dan sungai masih mengalir lancar. Namun, situasi itu kini berubah.
Penduduk Kesambi makin banyak (artinya tinja kian menumpuk), rumah-rumah warga tambah padat, dan sungai sering kekeringan. Kades Masri pun berpikir, desanya bakal mengalami krisis air bersih di masa mendatang bila tidak ada perubahan.
Hanya ada dua cara untuk menghindari bencana itu: 1) Membuat septic tank yang kedap sehingga tinja tidak mencemari air tanah dan sungai sebagai sumber air bersih; 2) Mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat desa soal cara mereka membuang hajat.
Ketika itu, anggaran jadi tantangan untuk membangun tangki septik yang aman dan kedap bagi penduduk Kesambi. Tak disangka, Agustus 2024, saat Masri umrah, Bappeda Kudus dan Djarum Foundation berkunjung ke desanya untuk menawarkan bantuan sanitasi terpadu.
“Saya ditelepon Bu Carik dan Bu Sekdes Kesambi. Mereka bilang, ‘Pak, ada tamu tawarkan bantuan.’ Saya langsung bilang, ‘Ambil,’” cerita Masri.
Sepulang dari umrah, koordinasi intensif berlangsung, dan pemerintah Desa Kesambi langsung menggencarkan sosialisasi program sanitasi terpadu.
Pada akhir 2024, 89 jamban dan/atau septic tank telah dibangun di rumah-rumah warga Kesambi; dan total 250–300 ditargetkan rampung pada 2025.
Alifaedhoni, salah satu warga Kesambi yang mendapat bantuan pembuatan jamban dan septic tank kedap, mensyukuri adanya program tersebut.
“Alhamdulillah, kotoran-kotoran (tinja) jadi tidak ngombro-woro (ke mana-mana), terutama ke sungai. Sungguh nggak enak dilihat, mengganggu. Baunya pun kalau musim gini (kemarau) nggak enak. Wong sungai lagi nggak ada airnya, tapi orang MCK (buang tinja) tiap hari. Yang keluar ke sungai jadi kuning-kuning,” kata Dhoni, sapaan Alifaedhoni.
Padahal air sungai dan air tanah menjadi sumber air sumur yang dipakai warga untuk minum, mandi, serta mencuci baju dan piring.
“Karena yang ada mung (cuma) sumur itu, jadi ya kita pakai apa pun kondisinya. Air sumur itu sumber kehidupan kami,” ujar Dhoni.
Desa Kesambi di Kecamatan Mejobo bukan satu-satunya yang mendapat bantuan pembangunan sanitasi dari Djarum Foundation. Total ada 6 desa di Kabupaten Kudus yang disasar, yakni Desa Gribig dan Klumpit di Kecamatan Gebog, Desa Mejobo dan Kesambi di Kecamatan Mejobo, serta Desa Tanjungrejo dan Klaling di Kecamatan Jekulo.
Pada akhir 2025, ditargetkan 1.500 toilet + septic tank untuk sanitasi aman dan/atau pipa sambungan PDAM untuk akses air bersih dibangun di seluruh Kudus. Program sanitasi terpadu bahkan juga telah dilaksanakan di Kabupaten Temanggung dan Wonogiri sejak 2023.
Program Director Bakti Sosial Djarum Foundation, Achmad Budiharto, menyatakan bahwa program sanitasi terpadu merupakan bentuk komitmen perusahaannya untuk membantu pemerintah dan masyarakat mewujudkan lingkungan yang sehat, yang pada gilirannya akan berkontribusi pada penekanan angka stunting—kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi dan infeksi berulang.
“Salah satu penyebab stunting adalah lingkungan yang tidak sehat. Itulah yang sedang kami coba wujudkan: orangnya sehat, lingkungannya sehat,” kata Budi, panggilan Achmad Budiharto, di kantornya di Kudus.
Stunting pula yang menjadi salah satu parameter dalam penentuan wilayah yang mendapat bantuan pembangunan sanitasi. Total ada tiga kriteria yang dijadikan pertimbangan: 1) Wilayah yang bermasalah dengan akses air minum dan sanitasi bersih; 2) Wilayah dengan angka kemiskinan tinggi; 3) Wilayah dengan kasus stunting tinggi.
Berdasarkan ketiga tolak ukur tersebut, Djarum Foundation berkonsultasi dengan pemerintah kabupaten—yang kemudian mengoordinasikannya dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).
Setelah data wilayah sasaran didapat, Djarum bersama Bappeda, PDAM, Dinas PUPR, dan Dinas Kesehatan mendatangi desa-desa tersebut untuk menyampaikan rencana program sanitasi terpadu.
Keputusan untuk mengikuti program tersebut atau tidak, ada di tangan pemerintah desa. Bila bersedia, sosialisasi dan pelatihan digelar dengan melibatkan perangkat desa, Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, serta tokoh masyarakat.
Masyarakat dilibatkan penuh karena peningkatan kualitas hidup merekalah yang menjadi target. Untuk membangun jamban dan septic tank, misalnya, pekerjanya berasal dari desa itu sendiri. Bahan-bahan bangunannya pun berasal dari toko material di desa tersebut. Dengan demikian, uang berputar di desa untuk kesejahteraan warganya.
“Masyarakat desa bukan objek, tapi subjek. That’s why kami memberdayakan ekonomi desa, supaya masyarakat desa tidak eksodus. Kalau bisnis mereka jalan, penghasilan masuk, otomatis kehidupannya secara ekonomi makin baik,” jelas Budi.
Perekonomian desa juga ditentukan oleh produktivitas warganya. Untuk menopang produktivitas ini, Djarum Foundation ingin memastikan kebutuhan primer warga terpenuhi.
“Kebutuhan dasar manusia itu sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal). Tapi kalau mau benerin papan, biayanya besar. Makanya kami fokus bantu ini. Supaya orang-orang bisa lebih produktif; enggak terus terbebani pikiran bagaimana kebocoran dan kerusakan di rumahnya,” ujar Budi.
Keluhan soal kondisi rumah salah satunya sempat dialami Noor Huda, warga Desa Karangmalang, Kecamatan Gebog, Kudus. Dulu, tembok rumahnya retak-retak, plafon bolong-bolong, dan gentingnya bocor. Kondisi itu membuatnya waswas.
“Takut langsung roboh kalau ada angin kencang; kasihan anak-anak dan istri. Kalau malam berangin kencang, aku sampai enggak bisa tidur, deg-degan, soalnya tembok rumah doyong (miring), sudah mau roboh,” kata Huda yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cukur rambut.
Sebagai penyandang disabilitas, Huda dulu agak kesulitan berjalan dengan kaki kanannya yang pincang karena lantai rumahnya yang berplester tidak rata. Selain itu, permukaan jalan di depan rumahnya lebih tinggi dari lantai rumahnya sehingga menyulitkannya keluar-masuk rumah.
Hingga pada 2024, program Rumah Sederhana Layak Huni (RSLH) Djarum Foundation masuk ke Desa Karangmalang, dan rumah Huda ada dalam daftar. Tahun itu, ada 4 unit rumah di Karangmalang yang dibangun ulang atau direnovasi.
“Senang sekali, soalnya jadi lebih nyaman ditempati. Tidur lebih nyenyak, anak bermain lebih leluasa, lantai keramik lebih kinclong. Lantai juga dibuat lebih tinggi dari jalan sehingga keluar-masuk rumah jadi lebih enak,” ujar Huda di rumah barunya, Senin (4/6).
Tahun 2024, pembangunan RSLH di Kudus mencapai 180 unit, sedangkan di Pemalang dan Blora masing-masing 10 unit. Untuk tahun 2025, targetnya ditingkatkan menjadi 300 unit di Kudus (92 telah terealisasi), 15 unit di Temanggung, 15 unit Barjarnegara, 10 unit di Demak, dan 10 unit di Purbalingga. Dengan demikian, total pembangunan RSLH di Jawa Tengah sepanjang 2025 direncanakan sebanyak 350 unit.
Program tersebut adalah wujud komitmen Djarum dalam mendukung program pemerintah, yakni pecepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.
Ada tiga kriteria yang digunakan untuk menyeleksi penerima manfaat RSLH, yakni: 1) Keluarga tidak mampu yang masih produktif dan memiliki anak-anak; 2) Status rumah dan tanah harus hak milik dari keluarga tersebut; 3) Lokasi rumah harus sustain dan sesuai ketentuan pemerintah (bukan di sempadan dan bantaran sungai, dan bukan di daerah rawan bencana).
Huda masih tak mengira rumahnya bisa direnovasi tanpa ia mengeluarkan biaya sepeser pun. Kini istrinya yang sehari-hari berjualan makanan-minuman bisa bersiap membuka kembali warungnya dengan lebih nyaman.
“Enggak sangka masih ada yang peduli sama saya. Alhamdulillah, warga sini ikut gotong royong bantu [selama proses renovasi],” kata Huda yang kini memiliki dua kamar di rumahnya dari yang sebelumnya hanya satu kamar.
Seperti dalam pembangunan sanitasi terpadu, program RSLH juga lebih dulu dikonsultasikan ke pemerintah daerah, dalam hal ini Bappeda. Berikutnya, Bappeda berkoordinasi dengan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperakim) serta Dinas Lingkungan Hidup untuk menjelaskan program ke level camat; diteruskan dari camat ke lurah; lalu dari lurah ke RT/RW.
Sebelum memulai program, data yang didapat dari Bappeda akan diverifikasi langsung ke lapangan untuk mengetahui apakah rumah tersebut benar-benar tak layak huni, dan apakah keluarga yang memilikinya juga layak dibantu.
“Program ini meringankan beban pemerintah desa. RSLH membuat masyarakat yang tidak mampu jadi dapat terlayani,” kata Kades Karangmalang, Masyhuri, saat berkunjung ke rumah baru Noor Huda.
Kerja sama antara pemerintah daerah, masyarakat, dan perusahaan untuk membangun desa dipandang positif oleh Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto. Menurutnya, pada era kolaborasi saat ini, berbagai hambatan pembangunan di desa jadi mungkin diatasi bersama dengan sumber daya yang saling melengkapi.
“Kita sudah lihat binaan Djarum Foundation itu bagus-bagus. Apa yang sudah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti infrastruktur air bersih, rumah layak huni, sampai pendidikan, itu mempercepat mengatasi persoalan di desa,” ujar Yandri, Jumat (8/8).
Menurutnya, kolaborasi macam itu kini mestinya lebih mudah dengan adanya DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial)—yang kini menjadi Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN)—yang mengintegrasikan data dari berbagai sumber sehingga penyaluran bantuan sosial dapat lebih akurat.
“Dari situ ketahuan mana orang tidak mampu, mana rumah tidak layak huni, mana daerah miskin ekstrem, mana wilayah banyak pengangguran. Basis datanya bisa dipakai swasta untuk melakukan intervensi dalam program kolaboratif. Data-data itu juga bisa kita jadikan dasar untuk mengambil kebijakan,” jelas Yandri.
Ke depannya, desa-desa yang berhasil dengan program-program tersebut dapat menjadi percontohan bagi daerah lain agar semakin banyak wilayah bertransformasi ke arah kemajuan.
“Sebab kan nggak mungkin swasta atau pemerintah turun tangan di semua desa. Jadi contoh bagus yang sudah ada, bisa kita coba replikasi di tempat lain. Kan ada dana desa dan partisipasi masyarakat,” kata Yandri.
Itu sebabnya, menurut eks anggota DPR dua periode itu, desa-desa yang telah maju dan mandiri perlu didokumentasikan untuk diperlihatkan ke daerah lain yang sedang belajar, sehingga keberhasilan itu menular dan menyebar.
“Itu bisa menjadi pedoman bagi mereka, apakah untuk menjadi desa wisata atau desa ekspor, tergantung potensi masing-masing desa,” ujarnya.
Setelah lingkungan sehat terwujud lewat program sanitasi terpadu dan rumah sederhana layak huni, hal yang tak boleh dilupakan dalam menekan angka stunting adalah memastikan gizi anak terpenuhi sejak dalam kandungan. Artinya, nutrisi bagi ibu hamil sama pentingnya dengan asupan gizi untuk bayi dan balita.
Hal ini tak lepas dari perhatian Djarum Foundation. Terlebih, jumlah karyawati harian/borong berusia produktif di PT Djarum sendiri mencapai 28% dari total pekerja; dan anak-anak mereka yang berusia balita sekitar 21% dari total anak pekerja PT Djarum.
Itu sebabnya Djarum meluncurkan program Gerakan Menjaga Periode Emas (Gemas) sejak 2018 untuk memastikan kesehatan kehamilan para karyawatinya lewat pemeriksaan rutin per bulan (termasuk USG) dan pemberian vitamin, sekaligus memantau pertumbuhan anak-anak mereka hingga berusia dua tahun.
Total ibu dan anak yang diperiksa dan dimonitor dalam program Gemas berjumlah sekitar 11.000 orang.
Perusahaan juga menyediakan ruang laktasi untuk mendukung pemberian ASI eksklusif guna mengoptimalkan tumbuh kembang bayi pada periode enam bulan pertama kehidupannya.
“Harapannya, program Gemas ini bisa ikut mengurangi angka stunting di Kudus,” kata Program Manager Bakti Sosial Djarum Foundation, David Setiadi, di tengah pemeriksaan karyawati hamil PT Djarum di SKT Pengkol, Kudus, Rabu (6/8).
Berdasarkan hasil survei status gizi Indonesia (SSGI), pada tahun 2021, angka prevalensi stunting di Kudus ialah 17,6%; tahun 2022 naik menjadi 19%; tahun 2023 turun menjadi 15,7%; dan tahun 2024—meski belum dirilis secara nasional—ditengarai turun drastis menjadi 3,77%.
“Stunting itu bukan hanya masalah gizi dan ekonomi, tapi bisa juga karena kurangnya informasi,” kata bidan dan konselor menyusui Sri Mukti Endang Dwiwati, A.Md.Keb., yang juga Satgas Gemas.
Usai memandu kelas “Orang Tua Hebat” bagi para karyawati Djarum yang hamil, Mukti menjelaskan bahwa informasi untuk mencegah stunting antara lain mencakup cara memasak yang benar agar nutrisi tak hilang, dan teknik menyusui agar bayi mendapatkan ASI untuk mendukung perkembangan otak mereka di dua tahun pertama kelahiran.
Kades Kesambi Mokhamad Masri juga sepakat bahwa stunting bukan cuma soal kaya atau miskin. Dari pengalamannya mengatasi stunting di Kesambi, masalahnya ternyata bukan faktor kelaparan seperti penyebab stunting pada masa lalu, melainkan karena ketidaktahuan para orang tua soal gizi tepat untuk anak.
“Ada pola asuh yang salah. Jadi karena orang tua pada sibuk kerja, anak dititipkan ke nenek. Nah, nenek yang penting anaknya anteng, mau jajan apa saja dilos (dibiarkan). Padahal ada jajanan yang justru jadi penyakit (rendah nutrisi),” ujar Masri.
Oleh sebab itu, Masri membentuk tim di Kesambi untuk melakukan sosialisasi dan edukasi pencegahan dan penanganan stunting dengan mengundang para orang tua. Masri menegaskan, “Peran orang tua itu nomor satu. Jadi kami kencengin edukasi ke orang tua, bahwa penting untuk memperhatikan anak dan mengetahui bahaya stunting.”
Pemerintah desa juga membantu menyediakan makanan tambahan yang bernutrisi, dan menggandeng tim ahli gizi untuk memonitor makanan-makanan tersebut.
Pada akhirnya, kombinasi ketiga upaya itu (edukasi ke orang tua, pemberian makanan tambahan, dan pelibatan ahli gizi) menuai hasil. Saat ini tinggal tiga anak yang masih stunting di Desa Kesambi.
Ira, karyawati Djarum yang mengikuti kelas Orang Tua Hebat, merasa bahwa informasi soal nutrisi dan stunting memang sangat membantunya sebagai calon orang tua. Terlebih, ia juga memperoleh suplemen multivitamin-mineral dan susu ibu hamil dari perusahaan.
“Ini sangat membantu calon ibu dan ayah. Suami juga jadi lebih tahu dan bisa support saya agar tidak stres ke depannya,” ujarnya.
Achmad Budiharto menekankan, “Kalau kita ingin meningkatkan kualitas hidup masyarakat, pastikan sehat dulu orangnya. Sebab kalau orangnya enggak sehat, pasti kualitasnya jelek.”
Djarum Foundation tak hanya memperhatikan ibu hamil dan anak-anak mereka, tapi juga anak-anak yang kurang beruntung yang tinggal di panti asuhan. Ada lebih dari 770 anak asuh yang tersebar di 22 Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) yang berada di bawah naungan Djarum Foundation.
Mereka secara rutin diperiksa kesehatan fisik dan mentalnya, diberi pendidikan-pelatihan hard skill dan soft skill, agar dapat tumbuh dengan pemahaman dan kecerdasan yang baik, serta rasa percaya diri yang tinggi sebagai bekal untuk terjun ke masyarakat kelak.
Membimbing dan mendidik anak-anak, mendampingi para ibu, memenuhi kebutuhan dasar keluarga-keluarga yang kurang mampu, serta membangun lingkungan sehat untuk mereka, adalah wujud bakti pada negeri untuk menjaga kualitas generasi emas yang akan menjadi pendorong kemajuan bangsa di masa depan.
Upaya sungguh-sungguh dan kerja sama erat yang telah berjalan di Kudus bukan tak mungkin dapat ditularkan, direplikasi, bahkan dikembangkan ke wilayah-wilayah lain. Dengan demikian, selaras dengan tujuan jangka Djarum Foundation, sumber daya manusia Indonesia akan memiliki kualitas unggul dan daya saing tinggi menuju Indonesia digdaya seutuhnya.