Di Antara Lensa dan Rezeki: Pelajaran Spiritual dari Jalanan Kota

5 days ago

Fotografer mengabadikan area kota dengan kameranya. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Tulisan ini merupakan “Refleksi Kehidupan Perkotaan”—upaya membaca kehidupan sosial dengan mata batin, agar manusia tidak kehilangan arah di tengah hiruk pikuk peradaban.

Kota yang Berlari dan Lensa yang Menunggu

Setiap akhir pekan, jalan-jalan protokol kota Jakarta berubah menjadi ruang sosial yang hidup. Ada yang berlari, berjalan cepat, bersepeda, atau berkonvoi motor klasik dan motor besar dalam ritual mingguan bernama car free day atau sunmori (Sunday Morning Riding).

Namun di balik sorak, peluh, dan suara knalpot itu, berdirilah para pengintai senyap—para fotografer jalanan.

Mereka datang sebelum fajar, menyiapkan kamera, berdiri atau duduk menepi di trotoar menunggu momen. Tidak ada kontrak. Tidak ada jaminan hasil. Mereka memotret orang-orang yang bahkan tidak tahu sedang menjadi objek, lalu mengunggah hasilnya ke media sosial—berharap seseorang menebus foto itu. Kadang laku, kadang tidak. Tapi minggu depan, mereka tetap datang lagi.

Bagi banyak orang, ini tampak seperti pekerjaan penuh ketidakpastian. Namun jika dilihat lebih dalam, aktivitas ini menyimpan cermin spiritual dan kemanusiaan tentang makna kerja, harapan, dan rezeki.

Ketidakpastian yang Dijalani dengan Pasti

Fenomena ini mengajarkan sesuatu yang sering luput kita sadari bahwa: hidup memang tidak pernah benar-benar pasti. Namun, justru di situlah kekuatan manusia diuji—dalam kemampuan menjadikan ketidakpastian sebagai ruang untuk tetap percaya.

Orang-orang yang hidup di jalur ketidakpastian ini sesungguhnya menunjukkan karakter tangguh: mereka tidak menunggu kepastian datang, tapi melangkah dengan keyakinan bahwa kepastian akan ditemukan di ujung usaha.

Di tengah masyarakat yang serba instan, para fotografer jalanan itu adalah simbol ketekunan yang sederhana namun berharga. Mereka hidup dalam dunia tanpa jaminan, tapi tidak kehilangan arah.

Ikhtiar dan Harga Diri

Meski harus menembus kemacetan, namun para pekerja kota tetap semangat karena pada hakikatnya, bekerja adalah cara manusia menyatakan iman. (24/10/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Kalau kita jujur, tidak ada manusia yang bekerja semata-mata karena uang. Di balik setiap usaha, ada naluri batin untuk merasa berarti, berguna, dan berharga.

Seseorang yang rela bangun sebelum matahari, menyiapkan alat, meninggalkan anak istri yang mungkin masih terlelap-menembus dingin pagi—bukan hanya sedang mencari rezeki, tetapi sedang menegakkan martabat dirinya sebagai manusia.

Kerja, pada hakikatnya, adalah cara manusia menyatakan iman dan kepercayaannya kepada Tuhan. Karena manusia sadar, hasil bukanlah wilayahnya; tugasnya hanyalah berusaha dengan sungguh-sungguh.

Di sinilah letak keseimbangan spiritual: ikhtiar adalah bentuk iman yang tampak; rezeki adalah rahmat yang tak terlihat. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:

“Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.”
QS. Ath-Thalaq [65]: 2–3

Ayat ini bukan janji kosong. Ia adalah hukum kehidupan. Rezeki tidak datang karena kepintaran, tapi karena kesungguhan yang disertai keikhlasan.

Dan mereka yang bekerja tanpa jaminan, namun tetap berangkat dengan hati tenang, sesungguhnya sedang mengamalkan ayat ini tanpa mereka sadari.

Menghidupi Nilai, Bukan Sekadar Bertahan Hidup

Bekerja seharusnya tidak berhenti pada soal “bagaimana bertahan”, tapi naik derajat menjadi “untuk apa aku hidup”. Manusia yang beriman memahami bahwa kerja adalah ibadah yang nyata, bentuk rasa syukur atas kehidupan yang diberikan Allah.

Maka, mereka yang bekerja dengan hati, walaupun kecil hasilnya, sesungguhnya sedang menyalakan nilai-nilai besar: tanggung jawab, kesungguhan, dan kejujuran.

“Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin…”
QS. At-Taubah [9]:105

Dalam ayat ini, Allah tidak menjanjikan hasil instan, melainkan menegaskan pentingnya “amal”—perbuatan nyata. Di mata Tuhan, ukuran bukan pada besarnya hasil, tapi ketulusan niat dan kesungguhan ikhtiar.

Di titik inilah kerja berubah makna: bukan sekadar jalan untuk hidup, tetapi cara untuk tetap hidup dengan nilai. Mereka yang menghidupi nilai melalui kerja, tak lagi mencari sekadar penghasilan, tapi mencari keberkahan — keseimbangan antara tangan yang bergerak dan hati yang bersyukur.

Rezeki dan Rahasia Keberkahan

Abdul Aziz (66) Fotografer Komersil di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan. Foto: Rayyan Farhansyah/kumparan

Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezeki, Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
QS. Adz-Dzariyat [51]:58

Rezeki bukan hasil perhitungan manusia, melainkan pancaran kasih sayang Tuhan yang dialirkan melalui berbagai jalan. Kadang melalui orang yang tak kita kenal, kadang dari sumber yang tak kita rencanakan.

Bagi para fotografer jalanan itu, setiap kali seseorang membeli hasil karya mereka, itu bukan semata transaksi ekonomi, tetapi tanda bahwa Allah sedang menurunkan rezeki melalui tangan orang lain.

Mereka mungkin pulang tanpa banyak uang, tapi membawa kepuasan batin—karena telah berusaha dengan jujur dan ikhlas. Dan di situlah letak keberkahan: rezeki yang sedikit tapi menenangkan jauh lebih bernilai daripada banyak tapi menggelisahkan.

Spiritualitas di Tengah Hiruk Pikuk Kota

Spiritualitas tak hanya lahir dari tempat ibadah, tapi ia hadir bahkan dari hiruk pikuk di antara deru mesin para pekerja. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Sering kita bayangkan spiritualitas hanya lahir di masjid atau majelis zikir. Padahal, spiritualitas sejati hidup di mana saja manusia berikhtiar dengan ikhlas.

Di trotoar kota, di antara deru motor dan langkah pelari, para fotografer itu sedang melatih kesabaran, kejujuran, dan harapan—tiga elemen dasar keimanan.

Mereka adalah pengingat bahwa keimanan tidak selalu diucapkan, tetapi kadang dihidupi dalam bentuk kerja yang senyap. Di balik klik kamera, ada doa tanpa kata; di balik keringat pagi, ada keyakinan bahwa Tuhan melihat upaya mereka, bahkan sebelum hasilnya tiba.

Penutup: Keyakinan yang Menghidupi

Hidup memang tidak selalu memberi kepastian, tapi Allah selalu memberi kemungkinan. Dan di situlah letak keindahan iman: ia mengubah ketidakpastian menjadi ladang amal, dan mengubah kerja menjadi doa yang bergerak.

“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
QS. Al-Insyirah [94]:6

Para fotografer jalanan mungkin tidak tahu teori ekonomi atau sosiologi, tetapi mereka mengajarkan kita pelajaran yang lebih dalam bahwa rezeki bukan soal kepastian dunia, melainkan janji Tuhan bagi hamba yang terus melangkah dengan keyakinan.

Mereka bukan sekadar mencari nafkah, tetapi sedang menegakkan iman dalam bentuk paling nyata—percaya, berusaha, dan bersyukur.

Hikmah tidak selalu datang melalui peristiwa besar; kadang ia berbisik lembut lewat hal-hal kecil yang kita remehkan. Begitulah cara Allah menuntun hati yang mau memperhatikan.

Jakarta, 25 Oktober 2025

Comments