Distribusi Pupuk Subsidi Seret Dinilai karena Kurangnya Penyuluh Daerah

09 Jun

Penyaluran pupuk subsidi. Foto: Pupuk Indonesia

Penyaluran pupuk subsidi baru mencapai angka 3 juta ton dari total 9,55 juta ton kuota yang ditetapkan pemerintah tahun ini. Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut faktor itu disebabkan karena lamanya penerbitan Surat Keterangan (SK) dari bupati atau wali kota.

Penyaluran pupuk subsidi diatur di dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2024. Distribusi pupuk dimulai dari kios pengecer ke petani yang terdaftar dalam Kelompok Tani dan terdaftar di elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK). Sementara, batas kuota pupuk per kecamatan kemudian ditetapkan melalui SK bupati/wali kota.

Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengatakan telatnya pemerintah kota atau kabupaten dalam menerbitkan SK itu karena faktor integrasi data dan keterbatasan SDM penyuluh di daerah.

"Jumlah penyuluh saat ini belum ideal jika dibandingkan dengan jumlah petani yang harus mereka layani," kata Eliza kepada kumparan, Minggu (9/6).

Eliza menjelaskan penentuan jumlah penyuluh di daerah ini bergantung pada orientasi daerah masing-masing. Maka jika pemerintah daerah kurang peduli sektor pertaniannya, akan tercermin dari alokasi anggaran untuk penyediaan SDM dan belanja modal sektor tersebut.

"Keterbatasan jumlah SDM penyuluh dampaknya ke mana-mana, yakni tidak semua petani terdata jadi penerima kartu tani, terlambatnya data kebutuhan alokasi subsidi yang di-provide penyuluh membuat Kementan lama menunggu SK pimpinan daerah," ujar Eliza.

Kementan mencatat saat ini jumlah kepala daerah yang telah mengeluarkan SK penentuan batas alokasi pupuk subsidi per kecamatan baru mencapai 258 kabupaten/kota dari total 497 kabupaten/kota yang harus melaporkan SK.

"Karena pendataan-pendataan tersebut yang melakukan adalah penyuluh, kantor penyuluh semestinya ada di setiap desa. Saat ini kantor penyuluh hanya di tingkat kecamatan sehingga kurang aktif untuk berkeliling antar desa. Ini akar persoalan kenapa persoalan data di daerah terlambat," jelas Eliza.

Faktor lain selain SDM adalah integrasi data. Eliza menjelaskan dalam prosesnya data penerima dan alokasi yang dibutuhkan diajukan oleh Dinas Pertanian level kabupaten/kota, yang mana ini harus mengintegrasikan data Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian (Simluhtan), Rencana Definitif Kebutuhan Kelompoktani (RDKK), dan Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) di setiap daerah.

"Ketiga data tersebut memiliki perbedaan dalam variabel datanya, sehingga memerlukan waktu untuk bisa mengitegrasikan hal tersebut, dan juga digital skill para penyuluh di setiap kabupaten/kota," tegasnya.

Atas hambatan-hambatan itu, Eliza menyarankan pemerintah untuk meningkatkan jumlah SDM penyuluh dan meningkatkan kapasitas keterampilan digital SDM penyuluh. Kedua, memperluas jangkauan penerima pupuk subsidi.

"Saat ini baru 75 persen petani yang mendapatkan kartu tani, sisanya belum mendapatkan," ungkap Eliza.

Tahun ini pemerintah menetapkan tambahan alokasi pupuk subsidi menjadi Rp 28 triliun, atau naik 100 persen. Total pupuk subsidi yang disediakan pemerintah menjadi 9,55 juta ton dari yang mulanya hanya 4,5 juta ton.

Dengan anggaran yang besar sementara realisasi distribusi masih minim, Eliza memberi catatan terhadap transparansi penyaluran pupuk subsidi ini. Menurutnya, transparansi penyaluran pupuk subsidi di level pedagang eceran ke petani sudah relatif baik.

Sebagai penyalur, Pupuk Indonesia memiliki aplikasi rekan kios, sehingga para petani yang menebus harus sesuai dengan jatah, dan diverifikasi dengan foto petani dan tanda tangan petani.

"Hanya saja transparansi penyaluran di lini dua dan tiga ini yang belum seketat level pedagang ke petani. Pengawasan ini yang perlu ditingkatkan," tegas Eliza.


Comments