DPR Didorong Segera Gelar Rapat Teknis RUU Perampasan Aset

8 hours ago

Suasana rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama Kementerian Hukum di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO

Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho mendesak DPR RI untuk tidak berhenti pada wacana, dan segera menggelar rapat teknis pembahasan RUU Perampasan Aset dalam waktu secepat-cepatnya.

Pernyataan ini disampaikan menanggapi kabar dari Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, yang menyebut bahwa usulan RUU Perampasan Aset baru akan masuk ke Prolegnas Prioritas 2025 dan menunggu keputusan rapat paripurna.

“Hari ini publik tidak sedang menunggu wacana. Mereka menuntut tindakan. RUU ini tidak cukup sekadar dimasukkan dalam daftar. DPR harus segera bahas isinya secara konkret, pasal per pasal. Bukan ditunda, bukan dijanjikan,” ujar Hardjuno, Kamis (11/9).

Menurutnya, kondisi sosial dan psikologis masyarakat sudah sangat jenuh dan frustrasi dengan lemahnya penegakan hukum terhadap koruptor.

Situasi ini bisa berubah menjadi krisis sosial yang lebih dalam jika negara terus menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani akar masalah.

“Lihat apa yang terjadi di Nepal, Sri Lanka, bahkan Chile. Kemarahan publik terhadap elite yang tidak berubah bisa meledak sewaktu-waktu. Kalau DPR masih bicara soal proses administratif, itu berarti mereka gagal membaca detak jantung rakyat,” tegasnya.

Bukan Sekadar RUU: Negara Harus Memiskinkan Koruptor

Hardjuno Wiwoho. Foto: Dok. Pribadi

Kandidat Doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini kembali menekankan bahwa substansi dari RUU Perampasan Aset tidak boleh berhenti pada prosedur teknis penyitaan. RUU ini harus dibingkai sebagai langkah awal dalam strategi nasional pemiskinan koruptor—bukan hanya mengambil aset yang terbukti hasil korupsi, tapi juga memberlakukan sistem illicit enrichment terhadap kekayaan tak wajar.

“Ini bukan soal harta bukti kejahatan semata. Ini soal gaya hidup pejabat yang tidak bisa dijelaskan asal muasalnya. RUU ini harus disertai keberanian moral untuk memiskinkan koruptor secara sistemik,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset hanya boleh digunakan untuk tindak pidana kelas berat seperti mega-korupsi dan kejahatan terorganisir, dengan ambang batas kerugian negara minimal Rp1 triliun.

Di luar itu, negara perlu membuat mekanisme pemiskinan koruptor berbasis pembuktian terbalik—di mana siapa pun yang tak bisa menjelaskan asal harta kekayaannya, wajib disita melalui proses hukum.

UU Sudah Ada, Tapi Tak Dipakai: Jangan Lagi Tipu Publik

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan memimpin rapat kerja dengan Kementerian Hukum di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2025).

Dalam pandangan Hardjuno, selama ini negara kerap berdalih perlu UU baru, padahal banyak regulasi yang sudah memungkinkan perampasan dan pemiskinan koruptor—seperti UU Tipikor, UU TPPU, KUHAP, hingga putusan MK.

“UU-nya ada semua. Masalahnya kita tidak pernah menegakkannya. Kita sibuk bikin undang-undang baru tapi tak berani menjalankan yang sudah ada. Jangan sampai RUU ini cuma jadi akrobat politik,” kata Hardjuno.

Hardjuno menegaskan bahwa kehadiran RUU Perampasan Aset bukan berarti membatalkan peran undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Sebaliknya, RUU ini dibutuhkan untuk menambal celah, mempertegas prosedur, dan memperluas efektivitas hukum yang selama ini tidak dijalankan dengan konsisten. Ia menyebut, RUU ini harus dibaca sebagai bagian dari strategi penguatan instrumen hukum yang sudah lama disia-siakan negara.

“UU Tipikor dan TPPU memberi dasar, tapi implementasinya terbatas dan sering tidak maksimal. RUU Perampasan Aset harus hadir bukan untuk menggantikan, tapi untuk mempertegas, mempercepat, dan memperluas upaya pemiskinan terhadap pelaku kejahatan ekonomi berat,” jelasnya.


Comments