10 hours ago
Di tengah tuntutan global menuju energi hijau, panas bumi kembali mencuri perhatian. Bukan lagi sebatas pembangkit konvensional yang mengeksploitasi kantong uap alami, kini muncul gelombang baru yang disebut Energi Panas Bumi 2.0—teknologi yang memanfaatkan panas bumi dengan metode rekayasa canggih seperti Enhanced Geothermal Systems (EGS). Pendekatan ini diyakini mampu memperluas sumber energi bersih yang stabil. Namun di balik janji besar itu, tersimpan sejumlah risiko baru yang mulai menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan dan aktivis lingkungan.
Secara global, kapasitas terpasang panas bumi mencapai sekitar 16 gigawatt pada 2024, tumbuh hanya beberapa ratus megawatt dibanding tahun sebelumnya. Menurut laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), pertumbuhan ini jauh lebih lambat dibanding energi surya dan angin.
Meski demikian, keunggulan utama panas bumi terletak pada sifatnya yang base-load—stabil, tidak tergantung cuaca, dan mampu menyuplai energi 24 jam nonstop. Indonesia, dengan posisinya di Cincin Api Pasifik, menyimpan potensi panas bumi mencapai lebih dari 23,9 gigawatt. Namun hingga kini baru sekitar 2,7 gigawatt yang dimanfaatkan, menempatkan Indonesia di peringkat kedua dunia setelah Amerika Serikat.
Teknologi baru EGS menjadi pusat perhatian. Berbeda dengan sistem konvensional yang membutuhkan sumber air panas alami, EGS memungkinkan produksi energi di batuan kering. Caranya, fluida bertekanan tinggi disuntikkan untuk menciptakan rekahan di bawah tanah agar panas bisa mengalir.
Dengan pendekatan ini, potensi panas bumi bisa dijangkau di wilayah yang sebelumnya tidak produktif. “EGS adalah terobosan yang bisa membuka 90 persen potensi panas bumi dunia yang selama ini tidak bisa diakses,” kata Dr. Susan Petty, peneliti dari AltaRock Energy. Namun, Petty juga menekankan perlunya kehati-hatian, sebab rekahan buatan berisiko memicu gempa kecil yang dikenal sebagai induced Pencemaran
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar. Di Basel, Swiss, proyek EGS tahun 2006 harus dihentikan setelah serangkaian gempa kecil mengguncang kota itu. Fenomena serupa terjadi di Pohang, Korea Selatan, pada 2017 yang menimbulkan kerusakan ringan dan mengguncang kepercayaan publik terhadap teknologi ini.
Kajian oleh Geothermal Energy Association menegaskan bahwa pengelolaan tekanan fluida dan pemantauan seismik real-time menjadi kunci untuk mencegah dampak yang tidak diinginkan. Selain risiko seismik, potensi pencemaran air bawah tanah juga menjadi perhatian. Cairan panas bumi mengandung gas hidrogen sulfida (H₂S), arsenik, dan mineral beracun lain yang, jika bocor ke lingkungan, dapat merusak ekosistem.
Pakar geothermal Prof. Rina Saptarina dari Institut Teknologi Bandung (ITB), juga menegaskan bahwa meskipun energi panas bumi dikenal rendah emisi karbon, teknologi ini tetap menghasilkan limbah yang memerlukan pengolahan khusus. Karena itu, konsep “energi bersih” seharusnya dipahami secara menyeluruh—mencakup seluruh siklus hidup proyek, mulai dari eksplorasi hingga pasca-produksi—bukan hanya pada hasil akhirnya.
Meski menghadapi risiko, perkembangan teknologi membuat banyak pihak tetap optimistis. Integrasi panas bumi dengan sistem penyimpanan energi dan pembangkit surya mulai diuji di berbagai negara.
Di Islandia, panas bumi digunakan tidak hanya untuk listrik, tapi juga pemanasan rumah, pertanian, dan industri, menjadikannya model ideal bagi ekonomi sirkular energi. Sementara di Indonesia, proyek Sorik Marapi di Sumatera Utara terus dikembangkan untuk memperkuat pasokan listrik nasional. Pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas panas bumi hingga 6 gigawatt pada 2030 melalui skema insentif investasi dan pembiayaan hijau.
Namun, tidak sedikit proyek yang tersandung di tahap eksplorasi akibat mahalnya biaya pengeboran dan lambatnya perizinan. Menurut Kementerian ESDM, investasi eksplorasi panas bumi bisa mencapai 20–30 juta dolar AS per sumur, dengan tingkat keberhasilan hanya sekitar 50 persen. Kondisi ini membuat banyak investor ragu, terutama di tengah ketidakpastian harga jual listrik dan persoalan lahan. Di beberapa daerah, penolakan masyarakat terhadap proyek panas bumi juga muncul karena kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan dan risiko gempa.
Sosiolog energi, Dr. Made Darma dari Universitas Udayana, menyebut bahwa masalah panas bumi di Indonesia bukan hanya teknis, tapi juga sosial. Ia menekankan pentingnya keterlibatan publik dan transparansi data geoteknis agar masyarakat tidak merasa menjadi korban dari ambisi transisi energi.
Di sisi lain, komunitas ilmiah global menyoroti pentingnya pemetaan risiko sebelum eksploitasi. Model poro-elastik dan analisis stres bawah tanah kini digunakan untuk memprediksi kemungkinan gempa terinduksi sebelum proyek dimulai. Selain itu, sistem traffic light—yang memberi peringatan otomatis jika aktivitas injeksi berpotensi berbahaya—mulai diadopsi di banyak negara, termasuk pada proyek-proyek baru di Indonesia.
Energi Panas Bumi 2.0 menghadirkan paradoks menarik. Di satu sisi, ia menjanjikan energi bersih yang dapat menopang sistem listrik nasional tanpa polusi udara dan emisi karbon tinggi. Di sisi lain, jika tidak dikelola dengan hati-hati, ia bisa memunculkan risiko lingkungan dan sosial baru.
Sebagaimana ditegaskan oleh IRENA dalam laporan World Energy Transitions Outlook 2024, masa depan energi tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tetapi juga oleh kepercayaan publik dan keberanian pemerintah untuk mengatur dengan transparan.
Olehnya, masa depan energi panas bumi bergantung pada bagaimana kita memadukan ambisi teknologi dengan tanggung jawab ekologis. Panas bumi 2.0 memang membuka peluang besar untuk mengakhiri ketergantungan pada energi fosil, tetapi setiap sumur yang dibor juga mengingatkan bahwa “energi bersih” tak selalu bebas dari konsekuensi.
Jika dikelola dengan transparansi, mitigasi risiko yang matang, dan partisipasi publik yang bermakna, panas bumi bisa menjadi simbol harmoni antara sains, alam, dan manusia. Namun tanpa itu, inovasi ini berpotensi berubah menjadi paradoks—energi hijau yang justru menimbulkan jejak baru di bumi yang ingin kita pulihkan.