2 hours ago
Kementerian ESDM mengatakan impor solar sudah berhasil ditekan seiring penerapan mandatori biodiesel di Indonesia. Nantinya, impor bensin juga dapat ditekan dengan mandatori pencampuran etanol 10 persen.
Direktur Jenderal EBTKE Eniya Listiani untuk penyerapan biodiesel per 6 November sudah mencapai 12,11 juta kiloliter (kL) atau 77,8 persen dari target penyerapan 15,6 juta kL untuk tahun 2024. Hal ini turut berkontribusi pada penurunan impor solar.
“Saat ini impor dari solar makin menurun, jadi kita bisa lihat dari grafiknya tadi bahwa impor solar yang berwarna kuning ini bisa lebih kecil dan ini kita harapkan nanti di pengaturan untuk komposisi B biodiesel yang lebih besar lagi untuk bisa mengurangi impor,” kata Eniya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XII DPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta Pusat pada Selasa (11/11).
Adapun impor solar ditarget dapat ditekan dari 8,02 juta kL pada tahun 2024 menjadi 4,92 juta kL pada tahun 2025. Selain itu, ditargetkan penerapan B40 di tahun 2025 bisa menurunkan emisi sebesar 21,20 juta ton CO2 per 6 November.
Dengan pemanfaatan B40 di tahun 2025, Eniya juga menyebut telah terjadi penghematan devisa sebesar Rp 107,20 triliun per 6 September 2025. Selain itu, peningkatan nilai tambah CPO juga sudah mencapai Rp 16,89 triliun. Dari sisi serapan tenaga kerja, Eniya menuturkan penerapan B40 sudah berhasil menyerap 1.527.496 orang per 6 November 2025.
“Penyerapan tenaga kerja yang sudah terlaksana adalah sekitar 1,5 juta orang sudah bekerja di on-farm maupun off-farm,” ujarnya.
Nantinya, jika penerapan biodiesel sudah mencapai B50, maka impor solar tak akan dilakukan lagi. Saat ini, berbagai pengujian laboratorium terkait B50 juga sudah dilakukan.
Tekan Impor Bensin dengan Mandatori Etanol
Selain soal biodiesel, Eniya juga menjelaskan cara menekan impor bensin. Hal ini dilakukan dengan penerapan pencampuran etanol pada bensin.
Saat ini, impor bensin yang dilakukan juga cukup tinggi yakni pada 22,8 juta kL bensin sementara produksi berada pada angka 13,84 juta kL. Jika nanti etanol sudah diterapkan dengan E5, impor tersebut juga dapat ditekan.
“Jika 5 persen dari etanol itu diterapkan, maka 5 persen dari substitusi bensin bisa dilakukan, substitusi impor,” kata Eniya.
Ia turut menjelaskan sebenarnya mandatori pencampuran etanol sebesar 1 persen atau E1 sebenarnya sudah ada sejak tahun 2008 dengan Permen ESDM No.32/2008. Namun, hal tersebut batal karena adanya berbagai tantangan.
Tantangan yang menyebabkan mandatori tersebut tidak jalan di antaranya adalah turunnya harga minyak dunia sehingga disparitas HIP BBN dengan HIP BBM semakin besar, tingginya harga molases karena bersaing dengan sektor pangan, suplai dan kapasitas produksi bioetanol domestik yang masih terbatas serta tidak tersedianya insentif atau subsidi untuk bioetanol.
“Di situ implementasi dari bioetanol ini diharapkan bisa masif di pasaran tetapi masih banyak kendala dan tantangan yang ada,” ujarnya.
Meski begitu, di tahun 2023, Kementerian ESDM juga mendorong percobaan pasar oleh Pertamina di mana saat itu Pertamina merilis produk Pertamax Green 95 yang memiliki campuran etanol sebesar 5 persen.
Saat ini, produk tersebut sudah dijual di 146 SPBU yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Timur, Bandung, Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Ke depan, mandatori pencampuran etanol ke bensin diatur melalui Permen ESDM No4/2025 yang akan didetailkan melalui Kepmen ESDM mengenai besaran pencampuran kadar etanol. Eniya memproyeksi pada 2028, penerapan mandatori E10 sudah bisa dilakukan.
“Berikutnya, sesuai arahan kita memprediksi bahwa 2028 atau lebih cepat bisa dilakukan mandatori E10,” kata Eniya.