a day ago
Pemerintah kembali menggembar-gemborkan semangat transisi energi lewat pengembangan bahan bakar nabati (bioetanol). Program ini diklaim sebagai solusi masa depan menuju kemandirian energi nasional dan pengurangan emisi karbon. Namun, di balik janji hijau yang terdengar manis itu, realitasnya jauh lebih kompleks. Etanol belum benar-benar menjadi solusi karena tersandera oleh birokrasi yang rumit dan koordinasi yang tidak sinkron antarlembaga.
Beberapa media, termasuk Kompas, sempat menyoroti bahwa kebijakan etanol ini “sarat kepentingan politik menjelang pemilu”. Kritik itu ada benarnya, setiap program besar memang rawan ditunggangi kepentingan. Namun, melihat kebijakan etanol hanya dari sisi politik adalah pandangan yang terlalu sempit. Persoalan sebenarnya jauh lebih dalam: sistem birokrasi kita belum siap untuk menjalankan transisi energi yang sesungguhnya.
Indonesia punya semua bahan baku untuk memproduksi etanol: tebu, singkong, dan jagung. Namun, potensi besar ini belum dikelola dengan sungguh-sungguh.
Beberapa pabrik bioetanol di Jawa Timur dan Lampung bahkan beroperasi di bawah kapasitas karena minim pasokan bahan baku. Petani kehilangan minat menanam karena harga tak stabil, sementara investor enggan masuk karena aturan yang tumpang tindih.
Negara lain seperti Brasil sudah puluhan tahun mandiri lewat bahan bakar etanol, sedangkan Indonesia masih berkutat di level uji coba dan rapat koordinasi.
Padahal, jika dikelola dengan baik, etanol bisa membuka lapangan kerja, mengurangi impor BBM, dan meningkatkan kesejahteraan petani lokal.
Masalah utama bioetanol di Indonesia bukanlah pada teknologi, melainkan pada birokrasi. Untuk memproduksi dan menjual etanol, pelaku usaha harus berhadapan dengan banyak kementerian: ESDM, Pertanian, Perindustrian, hingga Lingkungan Hidup. Setiap lembaga punya aturan sendiri dan koordinasi antarlembaga masih lemah.
Perizinan bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Belum lagi standar mutu etanol untuk campuran bensin (E5 atau E10) yang belum diseragamkan secara nasional.
Kondisi ini membuat investor berpikir dua kali, sementara pelaku kecil sulit berkembang. Akibatnya, proyek energi hijau yang seharusnya cepat justru jalan di tempat.
Kendala berikutnya adalah infrastruktur. Hingga kini, hanya sedikit SPBU yang menyediakan bahan bakar campuran etanol. Padahal, tanpa distribusi yang jelas, kebijakan ini tidak akan punya dampak nyata.
Masyarakat juga belum diberi edukasi yang memadai soal manfaat dan keamanan bioetanol. Banyak yang masih ragu, terutama pemilik kendaraan lama yang khawatir campuran etanol bisa merusak mesin.
Tanpa kejelasan dari pemerintah dan dukungan industri otomotif, sulit berharap masyarakat mau beralih.
Politik sebenarnya bisa menjadi penggerak perubahan, asal diarahkan dengan benar. Sayangnya, dalam banyak kasus, kepentingan politik justru membuat kebijakan energi berjalan lambat dan tidak konsisten. Jika setiap pergantian pejabat selalu membawa visi baru tanpa keberlanjutan, transisi energi hanya akan jadi proyek musiman.
Etanol bisa jadi peluang besar bagi Indonesia, asalkan pemerintah berani melakukan reformasi tata kelola energi secara menyeluruh. Dibutuhkan koordinasi lintas sektor yang solid, kepastian regulasi, dan insentif nyata bagi produsen lokal.
Sudah saatnya pemerintah berhenti menambah program baru tanpa membenahi sistem lama.
Langkah paling mendesak adalah menyederhanakan perizinan, memperjelas regulasi, dan memastikan insentif fiskal tepat sasaran. Hanya dengan reformasi birokrasi yang serius, etanol bisa benar-benar menjadi energi masa depan, bukan sekadar jargon politik.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya, tenaga, atau gagasan. Yang kurang hanyalah keberanian untuk menata ulang sistem yang selama ini membuat inovasi terhambat.
Etanol seharusnya menjadi simbol keberanian bangsa menuju energi bersih. Namun, selama birokrasi masih berlapis dan kebijakan berjalan tanpa arah yang tegas, etanol akan tetap menjadi solusi yang tersandera, bukan solusi yang menyelamatkan.