4 days ago
Pemandangan menarik kini kian sering tersaji di linimasa media sosial, yaitu adanya pasangan-pasangan muda yang kesehariannya akrab dengan gawai dan tren global, justru memilih untuk merayakan hari penyatuan dalam balutan prosesi adat yang sarat akan kerumitan dan pakem. Di antara sekian banyak tradisi yang bangkit kembali, Manten Pegon dari Surabaya memancarkan pesona yang unik. Fenomena tersebut memantik sebuah pertanyaan mendasar. Gerakan kembali ke akar tradisi tersebut bukanlah sekadar nostalgia atau hasrat memburu estetika visual semata. Jauh lebih dalam dari itu, pilihan mengadopsi Manten Pegon merupakan sebuah pernyataan sikap, sebuah upaya sadar generasi baru dalam merebut kembali dan mendefinisikan ulang identitas kulturalnya.
Kebangkitan Manten Pegon di era digital seperti sekarang sudah menjadi sebuah anomali yang indah. Pada zaman ketika konsep pernikahan internasional yang simpel dan minimalis begitu mendominasi, keputusan untuk menjalani serangkaian ritual yang panjang dan penuh makna menjadi sebuah pilihan yang radikal. Pilihan tersebut menandakan pergeseran nilai dari sekadar perayaan menjadi sebuah perjalanan spiritual. Generasi baru tidak lagi memandang tradisi sebagai beban warisan yang kaku, melainkan sebagai kanvas kosong yang kaya akan filosofi, tempat personalitas dan cerita hidup dapat dilukiskan.
Penolakan Halus Terhadap Keseragaman Global
Arus globalisasi mampu membawa suatu homogenisasi budaya yang masif, termasuk dalam industri pernikahan. Konsep gaun putih, tuksedo hitam, dan upacara ringkas menjadi sebuah standar universal yang seolah menjadi pilihan paling praktis dan modern. Dalam konteks inilah, pemilihan Manten Pegon dapat dibaca sebagai sebuah bentuk penolakan halus terhadap keseragaman tersebut. Memilih Manten Pegon merupakan sebuah deklarasi berani yang menyatakan “Cerita kami berbeda, akar kami unik, dan perayaan kami pun harus merefleksikannya.” Keputusan tersebut merupakan antitesis dari budaya instan yang serba cepat dan sering kali dangkal.
Pasangan muda zaman sekarang mendambakan otentisitas. Sebuah pengalaman yang tidak hanya bisa diunggah, tetapi juga dirasakan dan dikenang seumur hidup. Prosesi Manten Pegon dengan segala ritualnya yang membutuhkan kesabaran dan perenungan, mulai dari siraman sampai midodareni dengan menawarkan pengalaman transformatif tersebut. Hal tersebut menjadi sebuah kemewahan di tengah kehidupan urban yang serba terburu-buru. Keputusan menggelar Manten Pegon bukan lagi soal mengikuti tren, melainkan menciptakan tren personal yang berakar kuat pada nilai-nilai warisan leluhur. Dengan demikian, pelaminan tidak hanya menjadi panggung, tetapi juga sebuah mimbar pernyataan identitas diri.
Akulturasi Sebagai DNA Pernikahan Personal
Daya tarik utama Manten Pegon sesungguhnya terletak pada DNA-nya yang bersifat akulturatif. Istilah "Pegon" sendiri menyiratkan sebuah hibriditas, sebuah perpaduan harmonis antara budaya Jawa pesisir dengan anasir budaya lain, seperti Arab, Tionghoa, maupun Eropa. Sifat lentur inilah yang secara mengejutkan sangat relevan dengan realitas generasi masa kini. Banyak pasangan muda yang juga merupakan hasil dari "pegon" modern yang lahir dari keluarga dengan latar belakang suku, etnis, atau bahkan kebangsaan yang berbeda. Bagi pasangan di zaman sekarang, Manten Pegon bukanlah sekadar ritual kuno, melainkan cerminan paling jujur dari kisah cinta dan persatuan keluarga.
Tradisi tersebut menyediakan sebuah kerangka yang luwes, memungkinkan setiap pasangan untuk menyisipkan narasi personalnya. Busana pengantin yang memadukan kebaya dengan jubah, atau riasan yang menggabungkan elemen Jawa dan sentuhan oriental, menjadi simbol nyata dari peleburan dua dunia. Pasangan pengantin tidak lagi menjadi objek pasif yang menjalankan tradisi, tetapi menjadi subjek aktif yang berdialog dengan tradisi itu sendiri. Mereka menginterpretasikan ulang, memodifikasi, dan menambahkan sentuhan personal, sehingga setiap perayaan Manten Pegon menjadi sebuah karya unik yang tidak pernah sama persis. Hal tersebutlah yang membuat tradisi tersebut hidup, bernapas, dan terus relevan.
Sebuah Perjalanan Spiritual di Era Digital
Di tengah lautan informasi dan distraksi digital, manusia modern sering kali kehilangan momen untuk hening dan berkontemplasi. Rangkaian prosesi Manten Pegon seolah memaksa calon pengantin untuk berhenti sejenak, menarik diri dari kebisingan, dan menyelami makna yang lebih dalam dari sebuah penyatuan. Prosesi Siraman, misalnya, menjadi momen penyucian diri secara harfiah dan kiasan, melepaskan masa lalu untuk menyambut masa depan yang suci. Malam Midodareni menjadi waktu perenungan, memohon restu semesta, dan mempererat ikatan batin dengan keluarga. Ritual-ritual tersebut membangun sebuah fondasi spiritual yang kokoh bagi pernikahan.
Pengalaman semacam demikian mampu memberikan sesuatu yang tidak dapat dibeli, yaitu sebuah kekhusyukan dan kesakralan yang otentik. Generasi baru yang memilih Manten Pegon sering kali menemukan bahwa bagian paling berkesan dari pernikahan bukanlah gemerlap resepsi, melainkan momen-momen tenang dan sakral selama prosesi adat. Momen ketika doa-doa tulus dipanjatkan dan restu dari orang tua diberikan dengan sepenuh hati. Pengalaman inilah yang menjadi "roh" sejati dari sebuah pernikahan, sebuah harta karun emosional yang akan terus dibawa dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tradisi pada titik tertentu mampu bertransformasi dari sekadar seremoni menjadi sebuah bekal perjalanan hidup.
Kesimpulannya, kebangkitan kembali Manten Pegon oleh generasi baru merupakan sebuah fenomena budaya yang kompleks dan penuh makna. Hal tersebut melampaui urusan tren visual atau estetika semata. Gerakan demikian merupakan cerminan dari sebuah pencarian jati diri, sebuah perayaan atas keberagaman personal, dan sebuah kerinduan mendalam akan pengalaman yang otentik dan spiritual. Generasi baru mampu berhasil merebut kembali Manten Pegon, bukan sebagai pusaka usang yang harus dijaga dalam kotak kaca, melainkan sebagai sebuah warisan hidup yang terus dibentuk dan diberi makna baru. Masa depan tradisi tersebut tampak cerah, sehingga kini berada di tangan para pewaris yang tidak hanya mencintainya, tetapi juga memahaminya.