Ghost Fishing: Ancaman “Perangkap Hantu” bagi Laut dan Kehidupan Pesisir

4 hours ago

Penenggelaman terhadap 2 kapal illegal fishing asal Malaysia di Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo Banda Aceh, Kamis (18/3). Foto: Dok. Istimewa

Ghost fishing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena ketika alat tangkap yang ditinggalkan, hilang, atau dibuang tetap menjebak biota laut tanpa pengawasan manusia. Alat tangkap yang termasuk dalam kategori Abandoned, Lost, or Otherwise Discarded Fishing Gear (ALDFG) ini umumnya terbuat dari bahan sintetis seperti nilon atau plastik. Karena sangat kuat dan sulit terurai, alat tangkap tersebut dapat terus berfungsi sebagai perangkap “hantu” selama bertahun-tahun.

Seperti dijelaskan oleh Ingrid Giskes dari Global Ghost Gear Initiative (https://www.ghostgear.org/), alat tangkap pada dasarnya dirancang untuk menjebak organisme laut, dan tetap mampu beroperasi bahkan setelah hilang atau dibuang di laut. Dampaknya, organisme laut seperti ikan yang terjebak akan sulit memangsa makanan dan perlahan mati.

Bagaimana Dampak Ghost Fishing?

Skala masalah ghost fishing cukup besar dan menjadi perhatian dunia. Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan sekitar 640.000 ton alat tangkap masuk ke lautan setiap tahun. Menurut Erzini et al. (2008), ghost fishing dapat terjadi karena berbagai penyebab, mulai dari cuaca buruk, pencurian, kesalahan pengoperasian, hingga sengaja dibuang.

Saat ini ghost fishing kini dipandang sebagai ancaman global yang serius, karena menyebabkan hilangnya biodiversitas, kerusakan habitat, kerugian ekonomi, dan menurunnya keberlanjutan perikanan. Dampak paling besar berasal dari jaring insang (gillnet) dan trammel net yang banyak digunakan oleh nelayan skala kecil.

Laporan FAO menegaskan bahwa jenis jaring ini berkontribusi sekitar seperlima dari total hasil tangkapan global, sehingga ketika sebagian jaring hilang, dampaknya terhadap stok ikan sangat signifikan.

Bagaimana Ghost Fishing di Indonesia?

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan perikanan skala kecil maupun industri menghadapi tantangan serupa. Di wilayah padat aktivitas nelayan, jaring atau bubu sering hilang akibat badai, arus kuat, maupun benturan dengan kapal. Ada pula praktik membuang alat tangkap yang rusak karena biaya perbaikan dianggap tidak sepadan.

Penelitian di Kepulauan Seribu menunjukkan skala masalah ini cukup mencemaskan. Malik et al. (2022) mencatat bahwa dalam satu tahun saja diperkirakan hilang lebih dari 89 ribu unit bubu dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 1,85 miliar. Data tersebut memperlihatkan bahwa ghost fishing tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga langsung menggerus pendapatan nelayan kecil.

Dampak ekologis ghost fishing sangat luas. Jaring dan perangkap yang hilang tetap menjebak ikan, udang, kepiting, penyu, hingga mamalia laut. Organisme yang mati terperangkap tidak tercatat dalam hasil tangkapan resmi, sehingga mengurangi stok perikanan yang dapat dimanfaatkan. Lebih jauh, alat tangkap yang terseret arus juga merusak terumbu karang dan padang lamun, habitat penting bagi biota laut.

Seiring waktu, jaring sintetis ini terdegradasi menjadi mikroplastik yang masuk ke rantai makanan laut, dengan potensi dampak kesehatan pada manusia. Dari sisi ekonomi, stok ikan yang menurun membuat biaya operasional meningkat, karena nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang sama.

Apa yang Sudah Dilakukan untuk Mengurangi Ghost Fishing?

Label pencegah ghost gear oleh Global Ghost Gear Initiative (sumber: https://www.ghostgear.org/projects/signature-indonesia)

Upaya mengatasi ghost fishing telah berkembang di tingkat global. Sejak 2015, Global Ghost Gear Initiative menjadi aliansi lintas sektor pertama yang fokus pada masalah ALDFG. FAO mencatat bahwa inisiatif ini kini melibatkan lebih dari 100 pemangku kepentingan, termasuk 17 pemerintah negara, untuk menangani ghost gear di berbagai belahan dunia. Program ini mencakup pencegahan kehilangan alat melalui sistem pelabelan, operasi penarikan jaring, hingga pengembangan jaring biodegradable yang lebih cepat terurai.

Indonesia dapat mengambil manfaat dari pengalaman global ini. Beberapa langkah prioritas antara lain pemetaan wilayah rawan ALDFG di daerah padat perikanan, program penarikan jaring secara kolaboratif, serta penerapan sistem penandaan dan pelaporan alat hilang yang sederhana.

Uji coba jaring biodegradable juga penting dikembangkan di skala kecil dengan melibatkan nelayan sejak awal agar lebih mudah diterima. Di samping itu, edukasi publik dan insentif ekonomi dapat mendorong nelayan untuk tidak membuang atau melaporkan alat tangkap yang hilang.

Ghost fishing memang tidak selalu terlihat kasat mata, tetapi dampaknya sangat nyata. Perangkap hantu ini bekerja siang dan malam, merusak ekosistem, mengurangi stok ikan, dan merugikan ekonomi nelayan.

Dengan data yang semakin jelas dan adanya upaya bersama, baik dari tingkat lokal hingga global, masalah ini dapat ditekan. Laut yang sehat adalah syarat utama bagi keberlanjutan perikanan Indonesia, dan menyingkirkan perangkap hantu adalah salah satu kunci untuk mencapainya.


Comments