18 hours ago
Hari Jantung Sedunia (World Heart Day/WHD) merupakan kampanye global yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPB), termasuk penyakit jantung dan stroke. Hari Jantung Sedunia diinisiasi oleh Federasi Jantung Dunia (World Heart Federation/WHF), yaitu sebuah organisasi payung yang mewakili komunitas kardiologi dan yayasan jantung di seluruh dunia.
Gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Antoni Bayés de Luna, Presiden WHF saat itu (1997–1999). Ia menyadari perlunya kampanye terpadu untuk memerangi PJPB, yang pada akhir abad ke-20 telah menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia.
Awalnya, WHD dirayakan pada hari Minggu terakhir di bulan September. Namun, untuk memberikan konsistensi dan jangkauan yang lebih luas, pada tahun 2011, tanggal perayaan diubah secara permanen menjadi 29 September setiap tahunnya.
WHD mengomunikasikan bahwa 80% kematian prematur akibat penyakit jantung dan stroke dapat dicegah. Pesan kunci yang dibawa adalah mengenai kontrol faktor risiko utama seperti tembakau, pola makan tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik. Tema WHD tahun 2025 adalah “Gunakan Jantung untuk Semua Jantung" (Use Heart for Every Heart).
Tema ini mendorong setiap orang untuk memahami risiko PJPB pribadi mereka (tekanan darah, kolesterol, gula darah) dan mengambil inisiatif proaktif. Dalam konteks Indonesia dan UU Kesehatan, hal ini terkait dengan pentingnya deteksi dini yang diamanatkan dalam penguatan layanan kesehatan primer.
PJPB di Indonesia tidak lagi hanya sekadar ancaman, melainkan telah menjadi epidemi yang membebani kesehatan masyarakat dan keuangan negara secara masif. PJPB, yang meliputi Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan stroke, dijuluki "pembunuh senyap" karena seringkali tanpa gejala signifikan di tahap awal.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 oleh Kementerian Kesehatan menjadi tolok ukur utama untuk memahami besarnya masalah PJPB secara nasional. Prevalensi PJK (didiagnosis dokter) pada penduduk usia ≥15 tahun mencapai sekitar 1,5% dari total populasi.
Meskipun terlihat kecil, PJK adalah penyebab utama kematian, artinya tingkat fatalitasnya sangat tinggi. Prevalensi stroke (didiagnosis dokter atau gejala) pada penduduk usia ≥15 tahun mencapai 10,9 per 1.000 penduduk. Stroke tidak hanya mematikan, tetapi juga meninggalkan kecacatan permanen (disabilitas) pada penderitanya, menambah beban sosial dan perawatan bagi keluarga.
Penyakit Jantung dan Stroke sangat erat kaitannya dengan tekanan darah tinggi (Hipertensi). Hipertensi merupakan pintu gerbang PJPB. Data RISKESDAS 2018 mencatat prevalensi hipertensi pada penduduk usia ≥18 tahun mencapai angka yang mengkhawatirkan yaitu, 34,1%. Hal ini berarti lebih dari sepertiga orang dewasa Indonesia berisiko tinggi.
Lebih dari seperempat penderita hipertensi tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit tersebut (fenomena silent killer), dan sebagian besar yang tahu tidak meminum obat secara teratur, yang menunjukkan kegagalan dalam aspek promotif dan preventif di tingkat primer.
Tren paling mengkhawatirkan adalah pergeseran usia onset PJPB. Dulu dianggap penyakit usia lanjut, kini serangan jantung dan stroke semakin sering menyerang kelompok usia produktif (30-45 tahun). Perubahan gaya hidup, tingginya konsumsi makanan cepat saji (tinggi gula, garam, lemak), merokok (termasuk rokok elektrik), dan kurangnya aktivitas fisik, merupakan faktor utama yang menjadi penyebab hal ini. Faktor lainnya adalah peningkatan stres kerja dan tekanan hidup yang tidak dikelola dengan baik dan peningkatan kasus obesitas serta diabetes tipe 2 pada remaja dan dewasa muda,
Penyakit jantung dan stroke secara konsisten menduduki peringkat teratas dalam klaim penyakit katastropik (penyakit yang membutuhkan biaya tinggi dan jangka panjang). Hampir setiap tahun, PJPB menyumbang klaim puluhan triliun rupiah dari total klaim katastropik. Jumlah ini merupakan beban keuangan terbesar bagi BPJS Kesehatan, melebihi klaim untuk gagal ginjal atau kanker. Beban biaya ini mengancam keberlanjutan sistem JKN dan mengalihkan sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk upaya pencegahan.
Krisis PJPB di Indonesia diperburuk oleh ketidakmerataan fasilitas dan Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan. Alat diagnostik dan intervensi canggih seperti Kateterisasi Jantung (Cath Lab) sangat vital untuk penanganan serangan jantung (Infark Miokard Akut). Sayangnya, Cath Lab cenderung terpusat di rumah sakit tipe A dan B yang berlokasi di ibu kota provinsi atau kota besar di Pulau Jawa.
Dalam penanganan PJPB, Puskesmas seharusnya menjadi benteng utama untuk pencegahan, skrining (pemeriksaan tekanan darah dan gula darah), dan manajemen kasus Hipertensi tingkat dasar. Mayoritas Puskesmas masih kekurangan pelatihan untuk deteksi dini PJPB dan pengelolaan faktor risiko secara efektif. Hal ini menyebabkan banyak kasus hipertensi dan diabetes terlewatkan atau tidak terkontrol.
Rasio jumlah dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (Kardiolog) terhadap jumlah penduduk Indonesia masih jauh di bawah standar ideal WHO. Sebagian besar Kardiolog memilih praktik di kota besar karena infrastruktur yang lengkap, insentif finansial yang lebih baik, dan akses ke teknologi terbaru. Akibatnya, mayoritas provinsi di luar Jawa, Sumatera, atau Bali, tidak memiliki Kardiolog tetap.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dirancang dengan filosofi pergeseran paradigma yaitu, dari sistem yang berfokus pada pengobatan (kuratif) di rumah sakit, menjadi sistem yang berfokus pada pencegahan (preventif) dan promosi kesehatan (promotif) di layanan primer (Puskesmas dan fasilitas kesehatan tingkat pertama). Perubahan ini sangat krusial dalam melawan PJPB, yang faktor risikonya (hipertensi, diabetes, merokok) agar dapat dideteksi dan dikelola sejak dini di tingkat Puskesmas.
Implikasinya, Puskesmas tidak hanya harus menyediakan skrining dasar, tetapi juga harus aktif melakukan manajemen kasus faktor risiko PJPB. Misalnya, program Prolanis (Program Pengelolaan Penyakit Kronis) harus diperkuat untuk memastikan pasien hipertensi dan diabetes minum obat teratur dan terkontrol, sehingga tidak berlanjut menjadi serangan jantung atau stroke.
Pasal 188 UU Kesehatan mengatur mengenai pemerataan tenaga kesehatan. Pasal ini memberikan landasan hukum bagi Pemerintah untuk melakukan pemerataan tenaga kesehatan secara wajib, terutama di daerah terpencil dan perbatasan.
Pemerataan ini dapat membuka jalan bagi program penugasan khusus berupa pengiriman dokter umum dan spesialis (termasuk Kardiolog) ke daerah-daerah yang kekurangan. Pemerintah seharusnya juga memberikan insentif yang menarik agar Kardiolog bersedia bertugas di daerah terpencil untuk mengatasi PJPB.
Pasal ini memuat terobosan yang mempermudah dan mempercepat pendidikan spesialis, termasuk melalui skema Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berbasis hospital-based atau Pendidikan Dokter Spesialis Layanan Primer (PDLSP).
UU Kesehatan secara eksplisit mengakui dan memfasilitasi penggunaan teknologi kesehatan digital (digital health) sebagai strategi kunci untuk meningkatkan pemerataan dan efisiensi layanan, termasuk penanganan PJPB.
Penggunaan telekardiologi, konsultasi virtual, dan pemantauan jarak jauh (telemonitoring) kini memiliki landasan hukum. Pasal 191 UU Kesehatan mengatur bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan dan memfasilitasi Pelayanan Kesehatan Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Ketentuan ini memberikan legitimasi bagi penyelenggaraan telekardiologi dan telekonsultasi spesialis. Telekardiologi adalah konsultasi jarak jauh antara dokter umum/spesialis non-jantung di daerah terpencil dengan Kardiolog yang berada di rumah sakit rujukan utama (kota besar).
Hal ini memungkinkan diagnosis EKG (elektrokardiogram) dan interpretasi rontgen toraks jantung dilakukan secara real-time tanpa pasien harus bepergian. Telekonsultasi spesialis mempercepat rujukan dan mendapatkan second opinion dari ahli jantung, yang sangat penting saat pasien berada dalam kondisi kritis.
Telekardiologi memungkinkan tenaga medis di daerah untuk mengirimkan rekam medis, hasil laboratorium, dan imaging secara digital dan terstruktur sebelum merujuk pasien. Ini memastikan Kardiolog yang menerima rujukan sudah memiliki gambaran lengkap, membuat proses rujukan menjadi lebih cepat dan tepat sasaran.
Biaya klaim PJPB yang tinggi bagi BPJS Kesehatan tidak hanya disebabkan oleh tingginya kasus, tetapi juga oleh biaya logistik dan pembelian obat serta alat kesehatan (alkes) yang mahal, di mana sebagian besar masih bergantung pada impor. UU Kesehatan berupaya mengatasi kerentanan ini melalui penguatan ketahanan sektor kesehatan nasional.
Pasal 154 UU Kesehatan menjadi landasan utama bagi pemerintah untuk memprioritaskan dan menjamin ketersediaan obat dan alkes (alat kesehatan) esensial, termasuk yang vital untuk penanganan PJPB. Obat-obatan kronis yang wajib dikonsumsi pasien PJPB (seperti obat anti-hipertensi, statin untuk kolesterol, atau anti-koagulan) harus dijamin ketersediaannya dari industri farmasi nasional.
Pasal 155 UU Kesehatan mendorong pengembangan dan penggunaan Alat Kesehatan yang diproduksi di dalam negeri, khususnya alat yang strategis. UU ini menciptakan kerangka regulasi yang mempermudah proses perizinan dan sertifikasi produk alkes dalam negeri, serta memfasilitasi transfer teknologi dari luar negeri ke produsen lokal.
Meskipun Undang-Undang Kesehatan membawa angin segar dan solusi struktural, mewujudkan potensi tersebut menjadi realitas di lapangan, terutama dalam penanganan PJPB, menghadapi tantangan. UU Kesehatan adalah undang-undang payung yang luas.
Efektivitasnya sangat bergantung pada peraturan turunan (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan, dll.) yang harus segera diselesaikan. Regulasi yang terlambat atau tidak jelas mengenai standar layanan telekardiologi, mekanisme pemerataan dokter spesialis jantung, atau insentif bagi industri farmasi lokal dapat membuat implementasi di lapangan menjadi stagnan.
Penanganan PJPB bukan hanya tugas Kementerian Kesehatan, tetapi juga melibatkan BPJS Kesehatan (jaminan pembiayaan) dan Kementerian Perindustrian (kemandirian alkes/obat). Diperlukan harmonisasi kebijakan yang agar tujuan UU Kesehatan tercapai.
Penguatan layanan primer membutuhkan peningkatan kapasitas dan kompetensi Puskesmas dalam deteksi dini PJPB. Banyak Puskesmas di daerah, terutama yang terpencil, masih kekurangan alat diagnostik dasar (misalnya alat treadmill test sederhana) dan sumber daya yang konsisten untuk melakukan skrining massal faktor risiko PJPB (Hipertensi, Diabetes, dislipidemia) secara rutin.
Mengubah alokasi dana dari pengobatan kasus PJPB yang sudah parah (kuratif) menjadi pencegahan masif (preventif) adalah transisi budaya dan finansial yang sulit. Stakeholder, termasuk rumah sakit dan BPJS, harus didorong untuk berinvestasi pada pencegahan, yang dampaknya baru terasa dalam jangka panjang, alih-alih pada pengobatan intensif yang memberikan return cepat.
UU Kesehatan menyediakan peta jalan yang jelas. Namun, keberhasilan dalam melawan "pembunuh senyap" ini sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan Pemerintah dalam menyusun regulasi turunan, komitmen pendanaan untuk infrastruktur dan riset, serta kesiapan SDM di garis depan.