19 hours ago
Bumi tidak membutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Justru manusialah yang membutuhkan bumi untuk hidup. Satu pohon memberi oksigen, satu tetes air menjadi sumber kehidupan, satu lapis tanah menyimpan benih harapan.
Ketika manusia melukai alam, ia pada dasarnya sedang melukai masa depan dirinya sendiri. Setiap bencana menyimpan cerita. Di balik air bah dan tanah longsor, ada jejak tangan manusia bahwa hutan yang ditebang, bukit yang dikeruk, dan sungai yang disempitkan.
Kita mudah menyalahkan alam dengan menyebutnya “musibah”, padahal jejak kerusakan itu banyak berasal dari manusia. Sumatera hanyalah salah satu cerita. Dulu, manusia hidup berdampingan dengan alam. Sungai bukan hanya sumber air, tetapi sumber kehidupan.
Hutan bukan sekadar tumpukan pohon, melainkan rumah bagi makhluk dan sumber keseimbangan. Alam diperlakukan dengan hormat, dijaga, bahkan disakralkan.
Namun, seiring waktu, hubungan itu berubah. Ambisi kekuasaan, industrialisasi, dan gaya hidup konsumtif perlahan menjauhkan manusia dari alam. Sungai dicemari limbah, hutan ditebang tanpa rezeki ditebarkan kembali, dan laut penuh plastik yang entah kapan terurai.
Di balik setiap bencana, tersimpan cerita panjang tentang keserakahan, eksploitasi, dan keputusan-keputusan yang mengabaikan nurani. Hutan digantikan proyek besar, tambang merampas ruang hidup masyarakat adat, izin lingkungan terbit lewat tanda tangan yang basah oleh kepentingan. Semua ini menunjukkan manusia lebih sering bertindak sebagai penguasa, bukan penjaga bumi.
Bumi tidak membutuhkan rasa iba kita, yang ia perlukan adalah perlakuan yang adil. Ketika hutan tumbang, sungai dipenuhi lumpur, dan udara penuh polusi, itu bukan sekadar kerusakan fisik, melainkan retaknya hubungan manusia dengan alam. Bumi adalah tempat kita hidup, maka jadikan bumi sebagai diri kita, rawat sebagaimana kita merawat tubuh kita.
Sudah waktunya kita berdamai kembali dengan bumi, bukan mendominasinya. Setiap hujan yang turun, setiap pohon yang bertumbuh, dan setiap hembusan angin sebenarnya adalah bagian dari keberadaan kita. Perubahan bisa dimulai dari langkah sederhana: mengurangi sampah, menanam pohon, menghormati sumber daya alam, dan mendukung kebijakan pro-lingkungan. Di situlah letak makna taubat ekologis: perjalanan senyap menuju pemulihan hubungan dengan bumi.
Kita telah menerima banyak dari bumi—udara bersih, air jernih, sumber pangan, dan ruang hidup. Namun saat ini, alam berada dalam kondisi kritis. Banjir bandang di Sumatera bukan semata bencana alam, tetapi peringatan keras bahwa bumi tak lagi sanggup memikul kesalahan ekologis yang terus kita ulang.
Alam bukan musuh. Ia adalah rumah. Ia penyedia udara, air, makanan, bahkan keheningan yang sering kita cari dalam hidup yang terburu-buru ini. Karena pada akhirnya, bumi tidak membutuhkan manusia untuk bertahan. Kitalah yang membutuhkan bumi.
Hari ini, kita hidup dalam masa krisis iklim global. Suhu bumi meningkat, cuaca tak dapat ditebak, dan bencana datang lebih sering dari sebelumnya. Tapi kabar baiknya, masih ada harapan. Selama masih ada manusia yang peduli, selama masih ada tangan yang mau menanam, dan selama masih ada hati yang percaya bahwa bumi bukan warisan, melainkan titipan. Dan jika suatu hari manusia dan alam kembali berdampingan dalam keseimbangan maka bumi akan bernapas lega, dan kita pun akan hidup dengan lebih damai, itulah kedamaian sejati, ketika alam menemukan kedamaian maka kita pun akan mencapai kedamaian.