5 days ago
Masa perkuliahan bisa dibilang masa yang penuh tekanan bagi mahasiswa. Karena pada tahap ini, mahasiswa mulai menyiapkan diri untuk menghadapi dunia kerja atau pendidikan lanjutan yang menuntut banyak hal. Beban akademik seperti tugas yang menumpuk, menghadapi ujian, hingga menyusun penelitian sering kali membuat lelah dan cemas. Selain beban akademik, tekanan dari diri sendiri untuk mendapatkan hasil terbaik, keluarga yang menaruh harapan besar, dan persaingan dengan teman seangkatan juga dapat memperbesar tingkat stres dan tekanan yang dirasakan.
Apalagi bagi mahasiswa rantau, beban menjadi dua kali lipat karena jauh dari keluarga dan harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Stres yang timbul dari situasi tersebut salah satunya dapat memicu emotional eating, yaitu keinginan untuk makan saat stres walau sebenarnya tidak lapar. Emotional eating sering terjadi di kalangan mahasiswa, apalagi mereka yang sedang mengalami tekanan emosional. Banyak mahasiswa yang akhirnya memilih untuk mengonsumsi makanan dengan kandungan lemak, gula, dan kalori yang tinggi sebagai pelarian dari perasaan tidak nyaman.
Meskipun terlihat sepele, emotional eating sebenarnya dapat berdampak serius. Secara fisik, kebiasaan ini dapat membuat naiknya berat badan, gangguan metabolisme, hingga obesitas. Jika secara psikologis, rasa bersalah dapat muncul setelah makan berlebihan yang justru membuat stres semakin berat. Pelarian lewat makan memang dapat menenangkan, tetapi hanya sesaat dan membuat mahasiswa kehilangan kontrol diri. Bukannya menghadapi sumber stresnya, mereka justru mencari pelarian melalui makanan. Akibatnya, kemampuan mengelola emosi yang sehat berkurang, dan stres akademik makin sulit untuk diatasi.
Penelitian oleh Dewi, Satiadarma, dan Wijaya (2023) menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat stres tinggi, maka emotional eating nya juga tinggi. Hal yang sama ditemukan Rahim dan Prasetya (2022), di mana semakin besar rasa stress akan tekanan akademik yang dirasakan, maka semakin besar juga kemungkinan mahasiswa menjadikan makanan sebagai pelarian dari rasa stres.
Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa perempuan lebih mudah mengalami emotional eating dibandingkan laki-laki. Perempuan cenderung memilih strategi coping yang berfokus pada emosi, yaitu berusaha menenangkan perasaan sedih, cemas, atau stres dengan pelarian lewat makanan agar suasana hatinya lebih baik.
Emotional eating juga berkaitan dengan cara kerja tubuh ketika seseorang mengalami stres. Saat stres meningkat, otak akan mengaktifkan sistem yang disebut hypothalamic–pituitary–adrenal axis (HPA axis), yang berfungsi membantu tubuh merespons tekanan dengan melepaskan hormon stres, salah satunya kortisol.
Awalnya, hormon ini membuat seseorang kehilangan nafsu makan agar fokus menghadapi tekanan. Namun, jika stres berlangsung lama, kadar kortisol akan meningkat dan menimbulkan dorongan untuk makan lebih banyak, terutama makanan manis atau berlemak. Karena itulah, saat sedang cemas atau sedih, seseorang jadi ingin makan cokelat, gorengan, atau makanan favorit lainnya agar merasa lebih tenang.
Hormon stres, yaitu kortisol, juga memengaruhi bagian-bagian tertentu dari otak yang berhubungan dengan pengelolaan emosi, seperti amigdala, hipokampus, dan korteks prefrontal. Amigdala berfungsi dalam memproses emosi negatif seperti rasa takut dan cemas, sedangkan korteks prefrontal bertanggung jawab dalam mengendalikan dorongan serta pengambilan keputusan. Saat emosi negatif dan stres meningkat, amigdala menjadi lebih aktif dan dominan, sementara kendali dari korteks prefrontal melemah. Kondisi ini membuat seseorang mudah menuruti dorongan untuk makan, meskipun sebenarnya tidak lapar secara fisik.
Mengkonsumsi makanan manis dan gurih juga memicu pelepasan dopamin, yang membuat seseorang merasa lebih tenang dan bahagia. Perasaan tenang ini, membuat seseorang tidak sadar mengkonsumsi makanan manis atau gurih secara berlebihan pada saat stres.
Makanan yang mengandung gula dan lemak berlebihan memang dapat meningkatkan serotonin untuk sementara waktu dan memperbaiki suasana hati, namun jika kebiasaan ini dilakukan secara terus menerus, akan berbahaya bagi kesehatan. Emotional eating memiliki empat fase, yaitu the trigger, the cover up, the false bliss, dan the hang-over.
Ketika berada di fase the false bliss, seseorang akan merasa tenang dan lega setelah makan saat stres, maka pengulangan tersebut dapat mengakibatkan gangguan nutrisi yang lebih serius, misalnya, overweight atau binge eating.
Fenomena emotional eating pada mahasiswa menunjukkan bahwa stres akademik berpotensi menurunkan kualitas pembelajaran dan berdampak negatif pada kesejahteraan emosional serta fisik. Stres yang disebabkan oleh tugas, ujian, dan tekanan lain selama perkuliahan dapat memicu reaksi dalam tubuh dan otak, seperti peningkatan hormon stres dan perubahan cara otak memproses emosi. Perubahan ini membuat mahasiswa cenderung mencari pelarian melalui konsumsi makanan yang menenangkan, sebagai cara mengatasi beban akademik yang mereka hadapi.
Namun, jika dilihat secara keseluruhan, stres bukanlah satu-satunya penyebab emotional eating. Rasa bosan, perasaan hampa, kebiasaan makan sejak kecil, dan lingkungan sekitar juga mempengaruhi. Misalnya, mahasiswa yang selalu diberi makanan manis saat sedang sedih atau marah di masa kecil mungkin akan melanjutkan kebiasaan itu ketika menghadapi stres di perkuliahan.
Dukungan emosional, terutama dari lingkungan sosial, juga sangat mempengaruhi. Mahasiswa yang kurang mendapat dukungan atau berada dalam lingkungan yang kompetitif cenderung mengalami emotional eating. Sebaliknya, teman, keluarga, dan lingkungan sosial yang mendukung dapat membantu mahasiswa mengelola emosi dengan cara yang lebih sehat.
Maka dari itu, mahasiswa perlu mengelola stres, emosi, dan pola makan dengan baik. Untuk mengurangi emotional eating, mereka bisa berolahraga, melakukan kegiatan yang disukai, dan menyusun jadwal belajar yang diselingi waktu istirahat. Jika merasa kesulitan untuk mengendalikan emosi ataupun beban akademik, mahasiswa dapat mencari bantuan dari psikolog atau berbagi dengan teman yang dipercaya. Dukungan dan strategi yang tepat akan membantu untuk mengelola stres, menjaga kualitas belajar, serta memelihara kesehatan dengan baik.