I Don't Want to Miss a Thing

11 days ago

Armageddon Foto: Dok. IMDB yang diunduh dari kumparan

Pada tahun pertengahan 1998 sebuah film fiksi-ilmiah tentang akhir zaman menduduki puncak box office dalam 5 hari sejak peluncurannya. Film berjudul "Armageddon" yang dibintangi oleh Bruce Wilis, Ben Affleck, dan Liv Tyler dengan sutradara Michael Bay ini bercerita tentang hujan meteor dahsyat yang menghancurkan Space Shuttle Atlantis yang mengorbit sebelum membombardir beberapa kota di Amerika Serikat.

Dalam film tersebut, NASA memprediksi ada asteroid sebesar kota Texas yang akan menabrak bumi dalam 18 hari dan berpotensi membinasakan kehidupan di bumi. Atas dasar itu NASA menyusun rencana memasukkan dan meledakkan asteroid tersebut dengan bom nuklir. Dari rencana itu kemudian NASA merekrut seorang pengebor minyak beserta timnya untuk membuat lubang di asteroid. Harry Stamper (Bruce Wilis) dan 7 karyawan terbaiknya dilatih selama 12 hari untuk menjadi astronot.

Salah satu momen dramatis dalam film ini ketika gambaran hidup keseharian masing-masing pemeran ditampilkan. A.J. Frost (Ben Affleck) adalah kekasih Grace (Liv Tyler), anak Harry Stamper. A.J. berhasil mengebor asteroid hingga kedalaman yang dibutuhkan namun badai batu datang dan merusak detonator jarak jauh. Untuk memastikan seluruh rencana berjalan, seseorang harus tetap tinggal dan meledakkan asteroid tersebut dengan menekan detonator secara manual dan Harry memutuskan dia yang akan berkorban. Sambil menangis ia pun merestui pernikahan A.J. dan Grace melalui alat komunikasi Armadillo. Grace pun mengungkapkan betapa bangga diri menjadi putri Harry.

Dibelakang film tersebut, sebuah soundtrack terdengar meraung dengan suara parau seakan penuh amarah, tapi juga memuat sesuatu yang rapuh, seperti hati seorang pria yang menyembunyikan air mata di balik nada tinggi. Lagu itu adalah “I Don’t Want to Miss a Thing” dari Aerosmith.

Vokalis dan gitaris Aerosmith Steven Tyler dan Joe Perry tampil pada Grammy Awards Tahunan ke-62 pada 26 Januari 2020. Foto: Robyn Beck / AFP

Secara teknis, lagu ini ditulis oleh Diane Warren sebagai balada romantis yang awalnya diperuntukan Celine Dion. Lirik-liriknya mengandung harapan untuk selalu berada di sisi orang yang dicintai, untuk tidak melewatkan satu senyum pun, satu helaan napas pun, satu detik pun.

Sejak saat itu ia bukan hanya menjadi lagu cinta biasa. Ia menjadi semacam doa, pengakuan, pernyataan batin yang tak semua orang mampu ungkapkan dengan kata-kata. Di layar lebar, lagu ini mengiringi adegan seorang ayah yang harus mengucapkan selamat tinggal pada putrinya demi menyelamatkan dunia. Tapi justru di balik panggung, makna lagu ini berlapis-lapis dan jauh lebih dalam daripada yang terlihat.

Banyak orang tak tahu, atau mungkin tak begitu memperhatikan, bahwa Liv Tyler—aktris yang memerankan putri Bruce Willis dalam film tersebut—adalah putri kandung Steven Tyler, vokalis Aerosmith. Dan lebih dari itu, hubungan mereka sebagai ayah dan anak juga pernah retak oleh jarak dan ketidakhadiran Steven di hidup Liv.

Liv tumbuh besar tanpa mengetahui siapa ayah biologisnya. Ia mengenal sosok Steven bukan dari panggilan “Papa”, melainkan dari layar televisi dan majalah. Ia menyadari kemiripan wajahnya dengan anak Steven Tyler yang lain, Mia Tyler, dan baru kemudian mengetahui bahwa darah yang mengalir dalam dirinya adalah darah seorang rockstar yang dunia rayakan, namun tak ia kenal sebagai figur ayah.

Ketika Steven Tyler menyanyikan “I Don’t Want to Miss a Thing”, mungkin ia hanya bernyanyi. Tapi yang keluar dari suaranya bukan sekadar nada, melainkan semacam pengakuan: bahwa ia pernah absen, ia pernah melewatkan banyak hal, dan kini ia tak ingin melewatkan apa pun lagi. Bukan lagi tentang pasangan hidup atau kekasih hati, melainkan tentang anak yang pernah ia lewatkan tumbuhnya, senyumnya, dan kisah-kisah kecil yang tak pernah ia dengar langsung dari bibir anaknya sendiri.

Ilustrasi ayah dan anak. Foto: Ivan_Karpov/Shutterstock

Itulah kekuatan lagu ini. Ia membuka ruang bagi banyak makna. Ia bisa menjadi lagu cinta antara dua kekasih. Tapi bagi banyak orang tua yang saat ini terpisah dari anak-anak mereka—karena pekerjaan, jarak geografis, perceraian, atau keadaan yang tak bisa mereka ubah—lagu ini menjadi sesuatu yang jauh lebih menyakitkan sekaligus menyembuhkan.

Ia menjadi pengingat akan semua waktu yang telah terlewat, semua ulang tahun yang tak sempat dirayakan, semua pelukan yang tertunda, semua cerita sebelum tidur yang hanya bisa dibayangkan.

Ada ulang tahun yang dirayakan dengan pesta. Ada pula yang datang seperti angin lalu, sepi, tanpa suara anak-anak yang biasa menyanyikan lagu ulang tahun di pagi hari. Di usia tertentu, seseorang mulai memahami bahwa perayaan bukanlah soal lilin atau kue, melainkan tentang kehadiran. Dan ketika kehadiran itu absen, bahkan hari ulang tahun terasa seperti ruang kosong yang tak bisa dihiasi dengan apa pun. Ada kerinduan yang tak bisa dibungkus kado, dan ada harapan sederhana yang menggantung: seandainya hari ini aku bisa memeluk mereka walau sebentar saja.

Bukan hanya Steven Tyler yang pernah melewatkan momen berharga bersama anaknya. Di luar sana, ada jutaan orang tua yang menjalani hari-hari mereka dengan sepotong rasa bersalah, sepotong harapan, dan segenggam kerinduan yang tak pernah benar-benar selesai.

Mereka yang bekerja jauh dari rumah demi menafkahi keluarga, mereka yang harus memilih antara tanggung jawab dan kehadiran, mereka yang hanya bisa mendengar suara anaknya lewat sambungan telepon atau melihat wajahnya dari layar kecil video call. Mereka yang tersenyum di depan umum tapi diam-diam menyimpan rasa kehilangan di dalam diri mereka setiap malam.

Lagu ini berbicara kepada mereka. Bukan dengan kata-kata manis, tapi dengan kejujuran yang menggugah. Ia tak menghakimi, tak menyalahkan, hanya menggambarkan rasa itu apa adanya: bahwa kadang cinta terbesar justru hadir dalam ketidakhadiran, bahwa kerinduan adalah bentuk lain dari cinta yang tertahan.

Dalam masyarakat yang sering kali mengukur cinta dari kehadiran fisik, sulit untuk menjelaskan bahwa seseorang bisa sangat mencintai anaknya meskipun tak bisa selalu berada di dekatnya. Bahwa kadang, yang membuat seseorang pergi justru adalah cinta itu sendiri. Dan di tengah semua itu, lagu ini menjadi tempat berlindung. Tempat di mana orang tua bisa mengakui kerinduannya tanpa harus berkata banyak. Tempat di mana mereka bisa berkata dalam hati:

Aku tak ingin melewatkan apa pun darimu, Nak, tapi hidup membuatku terpaksa melewatkan banyak.”

Ada yang menyanyikan lagu ini di pesta pernikahan. Ada yang memutarnya di malam-malam sepi ketika semua orang sudah tertidur. Ada pula yang mendengarkannya diam-diam di balik ruang kerja, sambil melihat foto anak-anak mereka yang tumbuh semakin besar setiap harinya. Dan di balik setiap dengungan lagu itu, ada harapan kecil yang terus menyala: semoga satu hari nanti, aku bisa menebus semua yang terlewat. Semoga satu hari nanti, aku bisa benar-benar hadir.

Lagu ini tak menghapus waktu yang telah hilang. Tapi ia adalah pengakuan, dan dalam pengakuan itu ada kekuatan. Kekuatan untuk terus mencoba, untuk tetap mencintai, untuk meminta maaf tanpa harus mengatakannya, dan untuk terus menyimpan harapan.

Karena pada akhirnya, menjadi orang tua bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang terus berusaha mencintai sekuat-kuatnya meski dalam keadaan yang paling tak sempurna. “I Don’t Want to Miss a Thing” bukan hanya lagu. Ia adalah bisikan batin dari mereka yang mencintai diam-diam, dari jarak jauh, dari balik kesibukan, dari sudut-sudut hidup yang tak selalu terlihat. Sebuah nada yang tak ingin hilang, dan tak akan pernah benar-benar hilang, selama cinta itu tetap tinggal.


Comments