Ibnu Khaldun dan Ekonomi Rapuh

21 hours ago

Ibnu Khaldun Foto: http://mirfaces.com/

Ibnu Khaldun, dalam karya monumentalnya Muqaddimah, menegaskan bahwa inti kejayaan sebuah bangsa terletak pada ‘asabiyyah, yakni ikatan sosial yang kuat, rasa saling percaya, dan kesadaran akan kewajiban bersama antara elite dan rakyat. Bagi Khaldun, ketika solidaritas sosial melemah, kejayaan sebuah peradaban berada di ambang keruntuhan.

Jika refleksi tersebut ditarik dan dihubungkan pada situasi Indonesia terkini, tanda-tanda erosi 'asabiyyah terlihat jelas. Ketimpangan juga tecermin dalam akses layanan publik. Di perkotaan, masyarakat relatif mudah mengakses sekolah dan rumah sakit berkualitas. Sebaliknya, di banyak desa, jarak tempuh ke sekolah sangat jauh, fasilitas kesehatan terbatas, dan infrastruktur dasar kerap tertinggal. Studi Bank Dunia, 2023 menegaskan bahwa kesenjangan layanan publik menjadi salah satu faktor utama yang menghambat mobilitas sosial di Indonesia.

Sementara itu, hubungan antara elite politik dan bisnis dengan rakyat makin renggang. Survei Indikator Politik Indonesia tahun 2024 menunjukkan tingkat kepercayaan publik kepada partai politik hanya 44%, sedangkan kepercayaan terhadap DPR bahkan lebih rendah, yaitu sekitar 42%. Ketika bantuan sosial terlambat, subsidi energi dipangkas, atau kebijakan dianggap tidak adil, rasa percaya rakyat pada negara semakin terkikis.

Krisis kepercayaan ini berdampak praktis. Investasi di daerah terpencil terhambat karena masyarakat meragukan kepastian hukum dan komitmen pemerintah. Partisipasi politik menurun: Misalnya, pemilih muda cenderung apatis karena merasa suara mereka tidak membawa perubahan signifikan. Lebih jauh lagi, protes sosial atas isu-isu lokal, mulai dari kerusakan lingkungan, tambang, hingga harga kebutuhan pokok, sering meledak karena pemerintah dinilai abai.

Yang lebih mengkhawatirkan, polarisasi identitas kini menggantikan isu kesejahteraan sebagai pusat perdebatan politik. Politik simbol dan pencitraan lebih dominan ketimbang perumusan solusi ekonomi yang nyata. Padahal, menurut Khaldun, bangsa hanya bisa berdiri kokoh jika solidaritas sosial terjaga dan rasa percaya antara elite serta rakyat tetap hidup.

Patung Ibnu Khaldun di Aljazair Foto: Wikimedia Commons

Ekonomi Komoditas, Nilai Tambah Hilang

Ibnu Khaldun menempatkan ‘asabiyyah (solidaritas atau ikatan sosial) sebagai modal utama kebangkitan dan ketahanan sebuah masyarakat. Di Indonesia modern, indikator-indikator sosial menunjukkan kemajuan, kemiskinan menurun, tetapi juga mengisyaratkan risiko erosi kohesi sosial. Tingkat kemiskinan tercatat turun menjadi sekitar 8,47% pada maret 2025, menjadi bukti bahwa beberapa kebijakan sosial bekerja, tetapi jumlah penduduk miskin berada dalam persentase yang besar sehingga persoalan distribusi tetap berlanjut.

Sementara itu, kesenjangan tetap nyata. Rasio Gini turun sedikit, tetapi masih menunjukkan jurang antara perkotaan dan pedesaan, serta antara elite dan mayoritas rakyat. Gini nasional di bulan Maret 2025 sebesar 0,375, tetapi ketimpangan di kawasan urban tetap di atas angka nasional. Perpecahan ekonomi ini menjadi bahan bakar gesekan politik ketika warga merasa suara dan aksesnya terpinggirkan.

Krisis solidaritas meresap ke ranah politik. Gelombang protes akhir-akhir ini—yang memuncak pada aksi massa terhadap tunjangan parlemen dan isu biaya hidup—memperlihatkan bahwa ketidakadilan ekonomi cepat bereskalasi menjadi gejolak politik. Ketika tuntutan ekonomi dipersepsikan diabaikan, ruang untuk narasi polarisasi tumbuh dan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi. Laporan internasional dan liputan media menyoroti kerusuhan dan tekanan politik yang memengaruhi stabilitas makro-ekonomi; menunjukkan hubungan langsung antara sentimen sosial dan fragilitas politik.

Implikasi kebijakan dengan memperkuat kohesi sosial harus ditempatkan sejajar dengan target makro. Program bantuan pangan, subsidi terarah, dan dukungan untuk koperasi desa dapat memperkuat basis ekonomi rakyat sekaligus memperbaiki rasa keadilan, persis seperti Khaldun yang menekankan perlunya etos kolektif untuk menopang kemakmuran.

Ilustrasi Gober Bebek yang kaya raya. Foto: Shutter Stock

Ibnu Khaldun memperingatkan bahwa ketergantungan pada sumber daya mudah membuat suatu negara rentan. Hari ini, Indonesia masih menikmati ekspor komoditas bernilai primer, batubara, CPO, nikel, yang memasok devisa, tetapi relatif sedikit menciptakan lapangan kerja berkualitas tinggi atau peningkatan nilai tambah domestik. Data perdagangan menunjukkan komposisi ekspor yang masih didominasi barang primer, sebuah tanda bahwa hilirisasi dan kenaikan pangsa manufaktur menjadi kebutuhan strategis.

Sektor manufaktur memang kembali menunjukkan tanda-tanda hidup, kontribusinya terhadap PDB sekitar 19% pada 2024, tetapi pertumbuhan manufaktur tidak cukup cepat untuk menyerap tenaga kerja secara besar-besaran atau menggantikan peran komoditas sebagai motor utama ekspor. Turunnya kontribusi manufaktur sejak awal 2000-an menunjukkan fenomena prematur deindustrialisasi di mana negara meloncat ke ekspor komoditas bernilai tinggi modal, tetapi rendah dalam penyerapan tenaga kerja.

Dari perspektif Khaldun, bila ekonomi kota dan elite mengandalkan pendapatan pasif dari sumber alam tanpa memperkuat struktur produksi, solidaritas dan etos kerja akan terkikis. Untuk Indonesia, jalan keluarnya adalah kebijakan yang mendorong hilirisasi industri, dukungan terukur kepada UMKM agar naik rantai nilai, dan iklim investasi yang mengarahkan modal ke sektor manufaktur padat karya serta teknologi tinggi. Paket stimulus terkini yang menargetkan replanting, program padat karya, dan dorongan koperasi desa menunjukkan arah yang relevan, tetapi perlu dipastikan efektivitasnya melalui tata kelola dan akses pembiayaan yang transparan.

Menata Pajak, Membangun Kepercayaan

Pemikiran Khaldun juga memperingatkan bahayanya beban fiskal yang mematikan produktivitas jika tidak ditempatkan secara adil. Indonesia memiliki ruang fiskal yang terbatas dan rasio perpajakan masih rendah dibandingkan banyak negara berkembang serta kawasan OECD. Laporan OECD menempatkan tax-to-GDP Indonesia pada kisaran 12% pada tahun 2023, jauh di bawah rata-rata Asia Pasifik dan negara-negara maju. Kesenjangan ini mengurangi kapasitas negara untuk membiayai layanan publik, infrastruktur, dan redistribusi yang diperlukan untuk memperkuat ‘asabiyyah.

Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter Stock

Namun, menaikkan penerimaan bukan soal menaikkan tarif semata, dengan diperlukannya reformasi administrasi pajak, perluasan basis pajak, dan penghapusan celah penghindaran bagi korporasi besar. Kebijakan seperti kenaikan PPN selektif dan regulasi CoreTax adalah langkah administratif untuk memperlebar basis pajak, tetapi efektivitasnya bergantung pada transparansi implementasi dan perlindungan bagi kelompok berpendapatan rendah. Upaya memperbaiki rasio pajak harus disandingkan dengan investasi produktif, tidak hanya untuk menutup defisit agar tidak mengikis insentif kerja dan produksi.

Selain itu, kredibilitas institusi menjadi kunci. Perubahan mendadak dalam pengelolaan fiskal atau pergantian otoritas ekonomi tanpa komunikasi yang meyakinkan dapat memicu kepercayaan pasar rapuh. Peristiwa politik belakangan yang menimbulkan ketidakpastian kebijakan fiskal dan moneter menunjukkan bahwa koordinasi antara stabilitas politik dan manajemen ekonomi harus diperkuat untuk menghindarkan munculnya skenario pertumbuhan rapuh.

Menjaga Siklus Naik, Bukan Turun

Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa kejayaan peradaban bukan hanya soal akumulasi kekayaan, melainkan soal bagaimana kekayaan itu dikelola untuk menjaga solidaritas sosial dan kapasitas produktif. Bagi Indonesia, terjemahan praktisnya adalah: pertama, merawat kohesi sosial dengan kebijakan inklusif. Kedua, membangun transformasi struktural menuju nilai tambah. Ketiga, memperkuat basis fiskal melalui reformasi yang adil dan kredibel.

Jika kebijakan hari ini hanya mengejar angka pertumbuhan tanpa memperbaiki distribusi, tata kelola, dan kapasitas produksi domestik, kita berisiko mengulangi siklus kemunduran yang Khaldun catat dalam sejarah. Sebaliknya, bila pemerintah dan masyarakat bersama-sama memperkuat ‘asabiyyah modern, kepercayaan, partisipasi, dan tanggung jawab kolektif, Indonesia memiliki peluang untuk mengubah momentum menjadi kejayaan yang berkelanjutan.


Comments