3 days ago
Kasus bunuh diri yang menimpa Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Fakultas Sosiologi Universitas Udayana, Bali, mengguncang kesadaran publik. Timothy diduga mengalami intimidasi, bullying, hingga tekanan akademik yang tidak tertangani. Ia bukan sekadar korban tindakan antarindividu, melainkan produk dari sistem kekuasaan kampus yang bekerja secara simbolik, psikologis, dan struktural.
Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2023), terdapat 2.300 laporan kekerasan pendidikan, 23% di antaranya terjadi di perguruan tinggi. Sementara survei Kemendikbud tahun 2022 menemukan tiga dari lima mahasiswa pernah mengalami perundungan, tetapi hanya 18% yang berani melapor. Data ini menunjukkan, apa yang dialami Timothy bukan kasus tunggal, melainkan gejala dari krisis sistemik dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Pierre Bourdieu menyebut kekerasan simbolik sebagai bentuk penindasan yang tidak terlihat, dilegitimasi melalui bahasa moral, tata krama institusional, atau “budaya kampus”. Dalam kasus Timothy, istilah pembinaan, penyesuaian diri, atau penguatan mental digunakan sebagai tameng untuk membenarkan tekanan sosial terhadap mahasiswa baru maupun mahasiswa yang dianggap “tidak sesuai standar”.
Mahasiswa korban bullying sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang ditindas. Hal ini dikarenakan kekerasan dibungkus dalam budaya organisasi kampus.” Inilah kekerasan simbolik: halus, membentuk rasa bersalah pada korban, dan membuat pelaku merasa sah melakukan dominasi.
Michel Foucault menjelaskan bahwa institusi modern bekerja melalui panoptikon—struktur pengawasan permanen yang membuat individu mengawasi diri sendiri karena takut menyalahi norma.
Logika ini sangat kentara dalam sistem kampus.
Survei Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) 2023 mencatat, 45% mahasiswa mengaku mengalami tekanan psikologis akibat budaya senioritas dan beban akademik, sementara 30% di antaranya mempertimbangkan untuk drop out atau mengalami pikiran bunuh diri. Ini menunjukkan kampus telah berubah dari ruang dialog menjadi arena kontrol yang menekan jiwa.
Menurut teori Frankfurt School, pendidikan modern telah berubah menjadi instrumen kapitalisme. Kampus tidak lagi berorientasi pada pembebasan, tetapi pada pencapaian angka: akreditasi, ranking internasional, dan jumlah publikasi.
Data QS World University Rankings 2024 menunjukkan tekanan global terhadap universitas di Indonesia untuk mengejar posisi internasional, mendorong kampus menerapkan sistem yang menempatkan mahasiswa sebagai “produk” yang harus kompetitif. Beban tugas, skripsi, hingga sertifikasi bukan lagi proses intelektual, melainkan komoditas akademik yang menentukan reputasi institusi.
Dalam studi Journal of Educational Policy (2021), disebutkan “kapitalisme akademik menciptakan alienasi mahasiswa dari proses belajarnya sendiri, menyebabkan depresi dan burn out sebagai epidemi baru di kampus.” Kasus Timothy adalah manifestasi dari alienasi tersebut: ia tidak mati karena gagal akademik, tetapi karena kehilangan ruang eksistensial sebagai manusia.
Ada tiga alasan mengapa kekerasan kampus terus berulang.
1. Budaya tutup mata institusi demi menjaga reputasi.
2. Tidak adanya sistem perlindungan korban yang independen.
3. Kekuasaan simbolik membuat korban merasa bersalah dan enggan melapor.
Dalam kasus Timothy, laporan bullying tidak ditangani secara serius sejak awal, menunjukkan bahwa perlindungan institusional cenderung berpihak pada pelaku yang memiliki posisi sosial lebih tinggi.
Tragedi ini harus menjadi momentum untuk mereformasi pendidikan tinggi Indonesia. Ada tiga langkah konkret.
Timothy tidak boleh dilihat sebagai korban yang lemah. Ia adalah bukti bahwa kampus telah gagal menjalankan fungsi kemanusiaan. Jika negara dan institusi pendidikan tidak melakukan transformasi struktural, tragedi ini hanya akan menjadi berita sementara—lalu hilang tanpa perubahan.