Keracunan Makanan dalam Program MBG: Tanggung Jawab Siapa?

7 hours ago

Seorang siswa melakukan perawatan usai keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) di Bandung Barat, Jawa Barat. Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukanlah gagasan yang muncul secara tiba-tiba, tetapi evolusi dari ide yang telah lama dicetuskan. Gagasan awal ini dikenal dengan nama "Revolusi Putih", yang digagas oleh Prabowo Subianto sejak tahun 2006. Ide awalnya berfokus pada pemberian susu gratis kepada anak-anak sekolah sebagai langkah awal untuk meningkatkan asupan gizi mereka. Pada saat itu, gagasan ini lahir dari keprihatinan yang mendalam terhadap masalah stunting atau tengkes yang menggerogoti generasi muda Indonesia.

Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan angka stunting yang mengkhawatirkan dan jika dibiarkan akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan. Stunting tidak hanya memengaruhi pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan kognitif anak, yang pada akhirnya dapat menghambat kemajuan bangsa.

Konsep ini kemudian berevolusi menjadi program yang lebih komprehensif: tidak hanya fokus pada susu, tetapi juga pada makanan lengkap dan bergizi. Program ini kemudian dikenal sebagai Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang menargetkan siswa-siswi dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), serta ibu hamil dan menyusui.

Ilustrasi paket makanan MBG. Foto: Shutterstock

Program MBG secara resmi mulai digulirkan pada 6 Januari 2025 sebagai salah satu program prioritas pemerintah. Tujuannya adalah untuk mengatasi stunting dan gizi buruk, meningkatkan rata-rata lama belajar penduduk, mengurangi angka putus sekolah, dan membangkitkan ekonomi daerah. Gagasan ini berupaya menjawab tantangan gizi dan pendidikan di Indonesia dengan solusi yang masif serta terstruktur. Namun, di tengah pelaksanaan yang masih dalam tahap awal, muncullah tantangan baru seperti kasus keracunan makanan yang kini menjadi sorotan publik.

Dalam setiap program berskala besar seperti MBG, rantai pertanggungjawabannya kompleks. Kasus keracunan makanan menunjukkan adanya celah, baik dalam pelaksanaan maupun pengawasan. Pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Program MBG tidak hanya satu, melainkan melibatkan beberapa entitas yang saling berkaitan.

Dalam rantai pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), penyedia makanan atau vendor memegang peran krusial dan langsung bersentuhan dengan produk akhir yang dikonsumsi anak-anak. Tanggung jawab mereka tidak bisa diremehkan karena kegagalan di tahap ini menjadi penyebab paling sering dari kasus keracunan makanan. Kasus keracunan makanan hampir selalu bermula dari kelalaian di salah satu atau beberapa tahapan proses penyiapan hingga distribusi makanan.

Petugas menyiapkan paket makanan bergizi gratis (MBG) di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Samarinda Ulu 2 di Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (27/8/2025). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Vendor mungkin memilih bahan baku dari pemasok yang tidak terjamin kebersihannya atau bahkan menggunakan bahan yang sudah hampir kedaluwarsa demi menekan biaya. Apabila tidak disimpan pada suhu yang tepat, bahan baku segar seperti daging, ikan, atau produk susu dapat memunculkan bakteri seperti Salmonella atau E. coli yang berkembang biak dengan cepat.

Dapur yang tidak bersih, peralatan yang tidak steril, dan koki yang tidak menjaga kebersihan diri (misalnya tidak mencuci tangan) dapat menjadi pemicu permasalahan. Kontaminasi silang (cross-contamination) bisa terjadi: misalnya, ketika pisau yang sama digunakan untuk memotong daging mentah dan sayuran tanpa dicuci. Banyak bakteri patogen baru mati pada suhu tinggi.

Jika makanan tidak dimasak hingga matang sempurna—terutama di bagian tengahnya—bakteri masih bisa hidup dan berkembang biak. Makanan yang diolah di pagi hari tetapi baru tiba di sekolah pada siang atau sore hari berisiko tinggi. Waktu pengiriman yang terlalu lama memberi kesempatan bagi bakteri untuk bereplikasi, mengubah makanan yang awalnya aman menjadi berbahaya.

Lauk Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyebabkan 30 siswa keracunan di SDN Taruna Bakti, Desa Sarampad, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat Kamis (25/9/2025). Foto: Dok. kumparan

Dalam sebuah program yang menyasar jutaan penerima, sistem pengawasan yang efektif adalah tulang punggung untuk mencegah masalah seperti keracunan makanan. Badan Gizi Nasional (BGN) seharusnya menjadi koordinator dan penanggung jawab utama dalam menetapkan standar gizi dan keamanan pangan. BGN bertugas menyusun panduan teknis, memastikan vendor mematuhi standar tersebut, dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja program. Dinas Kesehatan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota memiliki peran vital sebagai pengawas lapangan.

Pihak sekolah adalah "ujung tombak" pengawasan. Kepala sekolah, guru, dan komite sekolah memiliki tanggung jawab untuk memeriksa kondisi fisik makanan saat tiba. Mereka harus memastikan makanan dalam kondisi baik, kemasan tidak rusak, dan makanan tidak berbau aneh sebelum didistribusikan kepada siswa. Laporan dari pihak sekolah menjadi umpan balik penting untuk mengevaluasi vendor. Sebagai penerima manfaat, orang tua juga berperan sebagai pengawas. Mereka bisa melaporkan langsung jika mendapati makanan yang tidak layak atau jika ada keluhan dari anak-anak mereka. Sistem pelaporan yang mudah diakses dan responsif sangat penting untuk memanfaatkan peran aktif masyarakat ini.

Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, memegang kendali penuh dan tanggung jawab tertinggi atas kelangsungan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Peran mereka melampaui sekadar penyaluran dana. Mereka adalah arsitek dari kerangka kerja, penentu standar, dan pelaksana pengawasan. Pemerintah Pusat—melalui kementerian terkait (misalnya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) dan Badan Gizi Nasional (BGN)—memiliki peran strategis dalam perumusan kebijakan dan regulasi.

Acara 'Edukasi Gizi Menu MBG' di salah satu sekolah di Ciputat, Tangerang Selatan. Foto: Dok. Istimewa

Idealnya, pemerintah pusat berkolaborasi dengan ahli gizi, ahli sanitasi, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menetapkan standar yang tidak hanya bergizi, tetapi juga aman. Pemerintah Pusat bertanggung jawab untuk menyediakan anggaran yang memadai. Jika anggaran yang dialokasikan tidak realistis atau terlalu rendah, akan ada tekanan besar bagi vendor untuk mengorbankan kualitas demi keuntungan, yang pada akhirnya membahayakan anak-anak.

Pemerintah Daerah, melalui Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan instansi terkait, bertanggung jawab untuk mengimplementasikan kebijakan dari pusat. Hal ini termasuk pendaftaran sekolah, verifikasi data siswa, dan koordinasi dengan vendor lokal. Pemda seharusnya membentuk tim pengawas dari Dinas Kesehatan untuk melakukan inspeksi mendadak ke dapur vendor, menguji sampel makanan, dan menindaklanjuti setiap laporan keluhan dari sekolah atau masyarakat. Pemda wajib melaporkan perkembangan dan kendala program kepada pemerintah pusat. Laporan ini menjadi dasar untuk evaluasi dan perbaikan kebijakan di masa depan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah payung hukum yang paling relevan. Undang-Undang ini secara eksplisit mengatur tentang keamanan pangan dan sanksi bagi pelanggarnya.

Ilustrasi Hukum. Foto: Shutterstock

Pasal 140 menyatakan, "Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan pangan yang tidak memenuhi standar keamanan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)." Pasal ini menjerat penyedia makanan (vendor/katering) yang terbukti lalai, sehingga makanan yang diproduksi dan didistribusikan tidak aman.

Pasal 135 menyatakan, "Setiap orang yang memproduksi atau mengimpor pangan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)." Pasal ini dapat diterapkan jika vendor menggunakan bahan pangan yang tidak sesuai untuk konsumsi anak-anak.

Selain UU Pangan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga dapat diterapkan. Pasal 204 menyatakan, "Barang siapa menempatkan bahan pangan atau minuman yang berbahaya bagi kesehatan dengan sengaja, dan perbuatannya itu mengakibatkan orang lain menderita sakit atau mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun." Jika ditemukan bukti bahwa vendor sengaja menggunakan bahan yang diketahui berbahaya, maka pasal ini dapat diterapkan dengan sanksi yang jauh lebih berat.

Petugas menyiapkan paket makanan bergizi gratis (MBG) di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Samarinda Ulu 2 di Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (27/8/2025). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Pasal 359 menyatakan, "Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun." Pasal ini dapat digunakan jika kasus keracunan menyebabkan kematian.

Selain vendor, instansi pemerintah yang terlibat dalam pengawasan juga dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. Pejabat di Badan Gizi Nasional (BGN), Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan yang memiliki wewenang pengawasan dapat dikenai sanksi administrasi jika terbukti lalai dalam menjalankan tugasnya. Pemerintah juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sistem pengawasan dan regulasi yang mereka buat sudah memadai.

Kasus keracunan makanan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah ironi yang menyedihkan. Pertanggungjawaban tidak bisa hanya dilimpahkan kepada satu pihak, baik itu vendor yang lalai maupun pejabat yang abai. Keracunan makanan tidak hanya merupakan isu pidana (yang diatur dalam UU Pangan dan KUHP) atau administrasi (yang menjerat pejabat), tetapi juga isu sosial-moral. Ada kewajiban moral yang lebih tinggi untuk melindungi anak-anak, yang merupakan aset terbesar bangsa.

Pemberian program Makan Bergizi Gratis di Denpasar, Bali dok Disdikpora Kota Denpasar. Foto: Dok. Istimewa

Penegakan hukum tidak bisa lagi dilakukan secara konvensional. Implementasi sistem pengawasan digital adalah mutlak. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi rantai blok (blockchain) untuk melacak setiap tahapan distribusi makanan, dari pengadaan bahan baku hingga penyerahan ke tangan anak-anak. Pengawasan ini akan menciptakan jejak digital yang transparan dan tidak bisa dimanipulasi, sehingga memudahkan identifikasi sumber masalah saat terjadi kasus keracunan.

Selain itu, harus dilakukan audit gizi independen oleh lembaga gizi independen yang tidak berafiliasi dengan pemerintah atau vendor. Audit ini akan memastikan objektivitas dan integritas dalam penilaian kualitas makanan. Partisipasi publik yang aktif harus diwujudkan melalui platform pelaporan berbasis aplikasi seluler yang memungkinkan orang tua, guru, dan masyarakat umum untuk memberikan feedback atau melaporkan masalah secara real-time.

Data ini dapat menjadi alarm dini yang memicu respons cepat dari pihak berwenang. Pada akhirnya, keberhasilan Program MBG tidak diukur dari seberapa besar anggarannya, tetapi dari seberapa aman dan efektif program itu dalam membangun generasi yang sehat.


Comments