3 hours ago
Di tengah derasnya arus digital, ukuran status sosial perlahan bergeser. Jika dahulu kekuasaan dan kehormatan seseorang ditentukan oleh jabatan, pendidikan, atau harta, kini tolak ukurnya sering kali berupa jumlah pengikut, likes, dan tayangan konten di media sosial. Fenomena ini menandai lahirnya bentuk stratifikasi sosial baru, yaitu kelas sosial yang berpusat pada popularitas digital. Individu dengan modal simbolik tinggi, seperti jumlah pengikut yang besar dan citra publik yang positif, memperoleh posisi lebih tinggi dalam hierarki sosial digital.
Platform seperti Tiktok, Instagram, dan Youtube menciptakan dunia yang tampak demokratis, siapapun bisa terkenal, asalkan kontennya menarik. Namun dibalik kesetaraan semu itu, media sosial justru melahirkan ketimpangan baru yang tak kalah tajam dengan dunia nyata. Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menjelaskan bahwa posisi seseorang dalam masyarakat dipengaruhi oleh kepemilikan modal, ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik. Di era digital, modal simbolik berupa pengakuan, prestise, dan citra pubik menjadi faktor yang paling menentukan. Mereka yang memiliki banyak pengikut dan pengakuan publik memperoleh nilai tukar sosial tinggi, sementara pengguna biasa tenggelam di bawah algoritma yang hanya menonjolkan yang sudah populer. Akibatnya, mereka yang sudah terkenal menjadi semakin dominan. Fenomena ini mencerminkan pola lama dalam sistem kapitalis: yang kuat semakin kuat, sementara yang lemah semakin sulit naik ke permukaan.
Banyak yang menganggap media sosial adalah ruang demokratis tempat semua orang bebas bersuara. Nyatanya, algoritma platform justru memperkuat dominasi mereka yang memiliki sumber daya besar, mulai dari alat produksi konten, tim manajemen, hingga jaringan sosial yang luas. Konten yang dianggap "menarik" oleh algoritma (emosional, menghibur, dan ramai dibicarakan) akan disebarluaskan lebih jauh. Sementara itu, konten yang bersifat edukatif, kritis, atau reflektif sering kali kalah dalam persaingan. Ruang digital akhirnya menjadi cermin baru dari ketimpangan sosial lama, di mana kekuasaan ditentukan bukan lagi oleh kekayaan atau jabatan, melainkan oleh engagement rate dan popularitas daring.
Fenomena ini juga memengaruhi cara masyarakat memandang diri dan orang lain. Popularitas kini sering dianggap sebagai ukuran keberhasilan. Banyak anak muda merasa nilai dirinya ditentukan oleh jumlah followers dan likes yang mereka dapatkan. Kondisi ini menciptakan tekanan sosial baru, yaitu validasi diri bergantung pada penerimaan publik. Di sisi lain, orientasi pada citra dan sensasi membuat makna "pengaruh" bergeser. Tokoh dengan konten lucu atau kontroversial bisa memiliki daya pengaruh publik jauh lebih besar daripada mereka yang berjuang menyuarakan isu sosial penting.
Kesadaran kritis menjadi kunci untuk menghadapi sistem ini. Media sosial seharusnya menjadi ruang partisipasi dan ekspresi yang setara, bukan arena kompetisi tanpa henri demi perhatian. Kita dapat berperan dengan secara sederhana, seperti menghargai ide dan isi bukan sekadar jumlah pengikut, mendukung konten yang bermakna dan mendorong refleksi sosial, dan menyadari bahwa pengaruh sejati lahir dari nilai dan kontribusi, bukan sekadar popularitas.
Popularitas mungkin menciptakan sorotan, tetapi bukan makna. Di tengah budaya digital yang serba cepat dan kompetitif, kita perlu menilai ulang arti "pengaruh" dan "kesuksesan". Apakah pengaruh berarti dikenal banyak orang, ataukah memberi dampak nyata bagi masyarakat?. Ketika kita mulai beralih dari mengejar sorotan menuju memperjuangkan substansi, di situlah media digital dapat menjadi ruang publik yang lebih adil, reflektif, dan manusiawi.