Kisah Guru Ajari Kemandirian Siswa Tunanetra: Ajari Belanja-Naik Transum

7 hours ago

Guru SLBN 1 Bantul, Nickita Kiki yang mengajarkan anak tunanetra kemandirian belanja di minimarket. Foto: Dok. Istimewa

Ini adalah kisah Nickita Kiki Praditya (32) seorang guru SLBN 1 Bantul, Yogyakarta, yang mengabdikan dirinya untuk mengubah hidup anak-anak didiknya.

Ia tak hanya mendidik, Nickita juga membimbing mereka yang memiliki kondisi berbeda, khususnya tunanetra.

Guru kelas untuk siswa SD ini kerap membagikan kisahnya di media sosial pribadinya. Konten-kontennya kerap menjadi perhatian warganet. Salah satunya ketika ia memboyong murid-murid SD tunanetra untuk belajar mandiri dengan berbelanja ke mini market.

Di sana, ia mengenalkan berbagai barang yang dijual oleh mini market, mengajarkan cara membayar, menghitung uang, berinteraksi dengan kasir, dan lain-lain sebagainya.

Saat dihubungi, Nickita menjelaskan, kegiatan itu merupakan salah satu bagian dari kurikulum siswa dengan kebutuhan khusus. Kegiatan belajar berbelanja ke mini market masuk ke dalam pembelajaran Orientasi, Mobilisasi, Sosial, dan Komunikasi (OMSK).

“Jadi, anak-anak itu diajarkan mengenal ini apa kayak penggunaan uang terus transaksi uang. Nah pas itu kan saya pilih ke itu apa ke Indomaret ya waktu itu ya. Itu karena paling dekat dengan sekolah jadi bisa diakses dengan jalan kaki,” ucap Nickita saat dihubungi, Sabtu (1/11).

“Nah selama menuju itu kan juga ada pembelajaran OMSK. Jadi kalau untuk siswa tuna netra itu ada pembelajaran orientasi, mobilitas, sosial, dan komunikasi namanya OMSK. Nah, di situ saya juga ngajarin anak-anak itu gimana cara jalan ini pakai tongkat yang bener kayak gitu,” tambahnya.

Tak hanya memperkenalkan mini market ke anak-anak tunanetra, Nickita juga memperkenalkan berbagai hal di lingkungan sekitar. Mulai dari tanaman-tanaman yang ditemui, hingga cara berkomunikasi dengan warga sekitar.

“Terus juga ngenalin sekitar, tadi lewat apa aja, ngeraba apa aja yang dilewatin kayak ngenalin ada Bunga Sepatu. Terus ada tanaman-tanaman yang dilewatin gitu. Terus juga mengenal arah juga, pokoknya selama perjalanan itu juga diajarkan berbagai hal,” ucap Nickita.

“Nah nanti pas sampai di supermarketnya itu ini belajar komunikasi juga. Bagaimana sih keberanian anak-anak itu dalam apa kayak bertanya kayak gitu. Jadi kayak interaksi sosial juga ke orang lain seperti itu,” tambahnya.

Nickita menilai, anak-anak tunanetra itu pasti sering diajak ke mini market. Namun, mereka tidak pernah dikenalkan betul-betul soal apa saja yang ada di dalamnya.

Ia pun mengajarkan ke anak-anak itu ragamnya barang yang ada di sana. Mulai dari makanan, hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Anak-anak pun ia persilakan untuk meraba semuanya.

“Es krim itu semua diraba. Jadi semuanya dikenalin gitu biar anak itu juga tau ternyata disitu tuh juga banyak yang dijual, kayak gitu. Terus juga ini apa namanya untuk ini ngelatih penggunaan uang juga, berhitung juga kayak gitu,” ucap Nickita.

“Kayak kemarin uangnya segini pokoknya belanjanya gak boleh kurang kayak gitu. Terus kalau uangmu segitu kalau belanjanya sebesar itu kembaliannya berapa kayak gitu. Jadi kalau untuk anak-anak berkebutuhan khusus itu ngajarinnya lebih ke kontekstual dan fungsional seperti itu,” tambahnya.

Tak hanya ke minimarket, Nickita juga mengajak anak-anak tunanetra mencoba hal-hal lainnya. Mulai dari ke mal, nonton bioskop, sampai naik transportasi umum (transum).

“Kalau anak-anak tuh kan kita mulai dulu dari yang di sekitar ya. Biasanya kita ajak keliling di sekitar kelas, terus di sekitar sekolahan gitu. Terus setelah itu ke sekitar sekolahan, ke minimarket, terus juga ini pasar tradisional gitu,” jelas Nickita.

Ilustrasi siswa SD dengan kondisi tunanetra. Foto: Sony Herdiana/Shutterstock

“Terus kalau yang ke bioskop itu, ini kemarin tuh ada kayak kerja sama gitu dari film apa gitu. Terus anak-anak diajakin ke sana gitu sekalian. Terus juga ada ini kayak naik transportasi umum, Trans Jogja,” tambahnya.

Tentu mengajarkan anak dengan kebutuhan khusus bukanlah hal yang mudah. Nickita mengatakan, banyak tantangan yang ia hadapi. Salah satunya adalah menjelaskan apa yang ia lihat kepada para anak sehingga dapat terbayangkan oleh mereka.

“Jadi tantangannya bagi kami di guru di SLB itu ya salah satunya itu. Kan namanya peserta didik kan nggak bisa… hambatan penglihatannya ya kan. Kadang itu kan suka miskonsepsi gitu loh,” ucap Nickita.

“Jadi kayak kemarin aja waktu di sana tuh kan ada suara kikikik. Nah anak-anak tuh dikiranya itu suara burung padahal itu suara mesin pemanggang sosis. Jadi lebih ke tantangannya itu bagaimana ngajarin yang real life, yang bener-bener nyata seperti itu,” tambahnya.

Maka, menurut Nickita, salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana caranya menjelaskan apa yang ia lihat secara detail sehingga anak-anak tunanetra itu bisa merasakan perasaan yang sama dengannya, juga mengenal lingkungannya.

“Saya tuh kalau ngajakin, dampingin anak-anak ini kan, misalkan kemarin kan habis ini juga ada acara nonton bareng kan di bioskop tuh. Jadi saya tuh bener-bener selama perjalanan itu juga jelasin kita lewat ini, kita lewat di jalan mana, terus sebelah kanan tuh ada gedung apa, kiri apa,” ucap Nickita.

“Jadi kita komunikasiin gitu detail. Terus waktu ke parkirannya, kita parkirannya turun nih, ini turun satu lantai, ini lantai UG gitu, underground. Terus ini lagi kayak gitu, jadi lebih ke mendeskripsikan apa yang kita lihat. Karena kan mereka nggak tau tuh mas kalau nggak kita ceritakan detail gitu. Kayak hal-hal yang kayak gitu,” tambahnya.

Menurutnya, belanja dan jalan-jalan ke mal hanyalah sebuah permulaan. Ketika nantinya mereka sudah semakin dewasa, tantangan juga akan bertambah. Nickita nantinya harus mengajarkan mereka menggunakan teknologi.

“Di SMP, SMA, itu kita kenalkan IT. Jadi anak-anak tuh di SMA itu udah punya laptop, HP, pokoknya udah berbasis teknologi, kayak gitu pembelajarannya,” ucap Nickita.

“Jadi mereka diajarin juga akses kayak GoJek, kayak gitu pas order GoJek. Terus ada pesan di Shopee Food, kayak gitu tuh,” tambahnya.

Nickita tidak mengeluh dengan pekerjaannya itu. Menurutnya, selalu ada keseruan di balik mengajak anak-anak itu mengeksplor dunia sekitarnya.

“Wah seru banget itu, sangat-sangat excited banget. Karena kan apa ya, mereka kan belajar langsung ya, namanya juga mereka bisa eksplor kan banyak hal-hal yang, hal-hal baru yang ditemukan gitu,” ucap Nickita.

“Ketika belajar di luar, kayak gitu. Senang banget itu, excited banget,” tambahnya.

Ia pun juga selalu memasukkan ‘bumbu-bumbu’ untuk menambah keseruan dalam pembelajarannya. Salah satunya dengan memberikan semacam misi kepada anak-anak tunanetra saat diajak berbelanja.

“Waktu ke Indomaret itu sebenernya mereka tuh lagi belajar misi juga, berbelanja kan. Itu mereka tuh sebenernya belanja ini, biji jagung, sama ini mentega. Karena di proyek minggu depan itu kan mau bikin popcorn, gitu,” ucap Nickita.

“Jadi yaudah kalian belanja sendiri bahannya. Sekalian pembelajaran itu penggunaan cara berbelanja, penggunaan uang, sama jalan ke sana tuh gimana. Jadi tuh terintegrasi gitu, saling terintegrasi,” tambahnya.

Semua hal ini, Nickita ajarkan bukan tanpa tujuan. Ia berharap, anak-anak tuna netra bisa mandiri dalam kehidupan mereka ke depan.

“Pokoknya mengajarkan anak-anak itu yang kontekstual, yang fungsional dalam kehidupan mereka,” ucap Nickita.

“Kan harapannya kan mereka bisa mandiri,” tambahnya.


Comments