2 hours ago
Dalam narasi ideal, dunia kerja selalu digambarkan sebagai tempat di mana siapa pun bisa berhasil selama mereka memiliki kemampuan, kemauan, dan kerja keras. Konsep ini dikenal sebagai meritokrasi. Namun, realitas pencarian kerja di Indonesia kini membuktikan bahwa meritokrasi tersebut lebih mirip ilusi dari pada kenyataan. Banyak orang tidak gagal karena tidak mampu, tetapi karena sistem rekrutmen yang semakin tidak masuk akal bahkan cenderung menutup pintu bagi mereka yang ingin memulai karier dari nol.
Fenomena paling mencolok adalah semakin sering munculnya lowongan kerja dengan syarat “pendidikan minimal SMA” tetapi disertai tuntutan pengalaman kerja minimal lima tahun. Ini bukan kekeliruan penulisan; ini adalah gejala dari sistem yang sedang sakit. Sistem yang mengharuskan kandidat menjadi “sudah jadi” sebelum diberi kesempatan untuk “menjadi”. Ironi yang menyedihkan, tetapi nyata di hadapan para pencari kerja Indonesia.
Secara teori, lowongan pekerjaan adalah tempat di mana pelamar diuji berdasarkan kemampuan dan kecocokan. Namun ketika syarat pengalaman dinaikkan begitu tinggi, meritokrasi runtuh. Bagaimana mungkin seorang lulusan SMA berusia 18 tahun memiliki pengalaman lima tahun? Itu berarti mereka harus bekerja sejak usia 12 atau 13 tahun sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal dan melanggar hukum ketenagakerjaan.
Dengan demikian, persaingan bukan lagi ditentukan oleh kemampuan, tetapi oleh keberuntungan terlahir di situasi yang tepat: punya koneksi, punya akses, atau sudah bekerja entah di mana sebelum mereka lulus sekolah. Meritokrasi berubah menjadi mitos yang diulang-ulang, tetapi tidak dirasakan oleh jutaan pencari kerja muda.
Lulusan baru berada dalam posisi paling rentan. Mereka baru meninggalkan bangku sekolah atau kuliah, tetapi dunia kerja menuntut mereka sudah matang, berpengalaman, serba bisa, dan langsung siap pakai. Ketika mereka mengajukan lamaran, jawaban yang muncul selalu sama: “Kami membutuhkan kandidat berpengalaman.”
Padahal, mereka membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan pengalaman itu. Tetapi untuk mendapatkan pekerjaan, mereka harus berpengalaman dulu. Lingkaran ini menciptakan jebakan yang melelahkan. Banyak fresh graduate akhirnya menganggur lebih lama, bukan karena mereka tidak kompeten, tetapi karena tidak punya modal pengalaman yang bahkan tidak pernah diberi kesempatan untuk mereka miliki.
Ketika syarat-syarat ketat diberlakukan, persoalan sebenarnya bukan hanya teknis, tetapi struktural. Ada ketidakadilan yang mengakar dan jarang dibicarakan secara serius.
Pertama, tidak semua lulusan SMA tidak berkompeten. Banyak dari mereka yang berhenti sekolah karena faktor ekonomi, bukan karena malas belajar. Mereka punya semangat kerja, disiplin, dan motivasi tinggi. Namun, sistem menutup peluang mereka sejak awal.
Kedua, lulusan sarjana sampai S3 pun kini mengalami tekanan yang sama. Ketatnya persaingan membuat lulusan perguruan tinggi melamar pekerjaan untuk lulusan SMA, sehingga lulusan SMA kalah saing bukan karena buruk, tetapi karena pasar kerja sudah terdistorsi.
Ketiga, standardisasi tuntutan perusahaan tidak sebanding dengan kualitas dan besaran gaji. Banyak perusahaan menuntut keahlian komputer, komunikasi hebat, kemampuan multitasking, tahan tekanan, fisik kuat, hingga pengalaman teknis tertentu. Tetapi gaji yang ditawarkan sering kali hanya sedikit di atas UMR. Standar semakin tinggi, tetapi kesejahteraan pekerja stagnan.
Dengan kondisi seperti ini, meritokrasi menjadi ilusi yang tampak rapi di permukaan, tetapi tidak berlaku di dunia nyata.
Di negara-negara yang menerapkan meritokrasi yang sehat, perusahaan justru menyediakan jalur karier, pelatihan, magang, dan pembinaan bagi lulusan baru. Mereka sadar bahwa sumber daya manusia tidak datang dalam keadaan sempurna. Butuh investasi waktu dan perhatian untuk membentuk karyawan yang kompeten.
Namun di Indonesia, banyak perusahaan ingin langsung mendapatkan pekerja yang “siap pakai” tanpa harus membimbing atau berinvestasi dalam pelatihan. Fresh graduate dianggap beban, bukan potensi. Padahal tanpa regenerasi tenaga kerja, perusahaan sendiri akan kesulitan berkembang dalam jangka panjang.
Fenomena lowongan “SMA tapi pengalaman lima tahun” bukan sekadar lelucon di media sosial. Ia memiliki dampak sosial nyata yang serius.
Semakin sedikit lulusan baru yang bisa masuk pasar kerja, semakin tinggi angka pengangguran muda.
Orang tua harus menanggung anak-anak mereka lebih lama karena tidak juga diterima bekerja.
Semakin lama seseorang menganggur, semakin sulit mereka memperbaiki kondisi finansialnya.
Jika pintu pertama tidak terbuka, mustahil bisa masuk pintu berikutnya.
Situasi ini bukan hanya persoalan individu, tetapi persoalan negara.
Ada stigma yang berkembang bahwa lulusan SMA tidak bisa bersaing. Ini keliru. Banyak lulusan SMA yang rajin, cekatan, kuat fisik, dan cepat belajar. Mereka tidak meminta perlakuan khusus, mereka hanya meminta kesempatan yang logis dan adil. Sistem yang baik semestinya memberi ruang kepada semua orang untuk berkembang.
Untuk keluar dari lingkaran ilusi meritokrasi dan kesenjangan kesempatan, Indonesia memerlukan perubahan sistemik dalam dunia rekrutmen:
1. Perusahaan harus menurunkan syarat pengalaman yang tidak realistis.
2. Pemerintah perlu mengawasi dan membuat regulasi rekrutmen yang lebih manusiawi.
3. Perusahaan harus menyediakan pelatihan, magang, dan jalur karir bagi lulusan baru.
4. Pendidikan vokasional dan sertifikasi harus diperluas agar lulusan SMA punya keterampilan formal.
Tanpa perubahan ini, Indonesia akan terus memproduksi tenaga kerja muda yang siap bekerja tetapi tidak pernah diberi kesempatan.
Fenomena lowongan kerja absurd menunjukkan bahwa masalah utama bukan pada kemampuan rakyat Indonesia, tetapi pada sistem rekrutmen yang menutup pintu. Meritokrasi yang sering dipromosikan ternyata hanya berlaku untuk mereka yang sudah dari awal mendapatkan akses dan privilege.
Jika lulusan S1, S2, bahkan S3 pun kesulitan mencari pekerjaan, maka bagaimana dengan lulusan SMA? Mereka menghadapi dinding yang lebih tinggi dan lebih tebal. Mereka tidak ingin diberi keistimewaan; mereka hanya ingin dicoba, dinilai dengan adil, dan diberi kesempatan untuk bekerja dan hidup layak.
"Negara yang sehat adalah negara yang membuka pintu, bukan mempersempitnya".