Makin Seru Dinamika Royalti Musik dan Lagu

4 days ago

Ilustrasi ipod. Foto: artapartment/Shutterstock

Pengamatan saya, kisruh soal hak cipta berawal dari permasalahan antara Ahmad Dhani (band Dewa 19) dengan Once Mekel yang semula merupakan anggota Dewa 19. Dari yang ramai dibahas di beberapa media sosial, Once dilarang menyanyikan lagu-lagu ciptaan Ahmad Dhani atau lagu-lagu Dewa 19.

Kemudian ada lagi persoalan royalti antara Ari Bias sebagai pencipta lagu dengan Agnes Monica sebagai penyanyi. Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, gugatan ganti rugi Rp 1,5 miliar yang dilontarkan Ari Bias dikabulkan. Namun oleh Mahkamah Agung--yang putusannya belum disampaikan secara lengkap--, putusan Pengadilan Niaga Jakpus itu dibatalkan sehingga boleh dikatakan Agnes Monica "menang".

Kini masyarakat, khususnya pengguna musik dan lagu, seperti dibangunkan dari tidur dengan bermunculannya berbagai kasus terkait royalti. Mulai dari sengketa biasa di luar pengadilan seperti kasus Mie Gacoan, sampai kasus yang memasuki proses hukum, baik di ranah pidana maupun perdata. Ada pula yang menempuh upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang hingga saat ini masih berproses.

Kekhawatiran para pengguna musik dan lagu itu semakin lebar akibat kewajiban membayar royalti. Pemilik coffee shop, anggota Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), bagian dari Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRSSNI), bahkan kalangan artis sendiri ikut khawatir dan enggan memutar atau menyanyikan lagu ciptaan orang lain.

Beberapa ahri lalu saya diundang menjadi narasumber oleh RSSNI Jawa Barat yang mewakili PRSSNI Nasional. Rupanya mereka juga mulai khawatir dengan dinamika terkait royalti tersebut karena, dalam pandangan mereka, hal ini akan mempengaruhi perjalanan bisnis mereka, termasuk sumber daya manusia di dalamnya. Padahal organisasi radio swasta merasa ikut berkontribusi mempromosikan dan mempopulerkan lagu-lagu ciptaan pencipta.

Hal ini menarik perhatian. Saya membayangkan dampak dari dinamika yang ada akibat adanya gaya tarik-menarik kepentingan di sini yang luar biasa besarnya. Betapa tidak, persoalan tersebut dirasakan para pencipta lagu dan/atau musik dengan menyuarakan hak-nya yaitu penerima royalti, yang dirasakan jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan pendapatan para penyanyi yang menyanyikan lagu ciptaannya begitu juga pengguna yang lain.

Di dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya akan disebut UUHC), mengatur yang pada pokoknya:

Setiap orang tidak boleh melakukan penggandaan dan/atau penggunaan ciptaan secara komersial tanpa izin si pencipta.”

Yang dimaksud ciptaan di sini adalah ciptaan musik dan lagu. Perlu dimaklumi bersama, UUHC tidak hanya mengatur ciptaan lagu dan/atau musik saja, melainkan banyak sekali jenis karya cipta lainnya, antara lain karya cipta lukisan, koreografi, karya tulis, dan masih banyak lagi jenisnya (lihat Pasal 40 UUHC).

Dengan demikian hemat saya, perlu berhati-hati memandang Hak Cipta, karena mengatur tidak hanya di bidang musik dan lagu saja. Dengan adanya dinamika yang terjadi saat ini, sedikit-banyak, akan membawa konsekuensi logis memengaruhi hak cipta yang lain.

Ilustrasi menulis lagu. Foto: Dragon Images/Shutterstock

Semula saya kira perdebatan yang terjadi di masyarakat itu akibat pengguna lagu tidak mau membayar royalti kepada pencipta, tetapi kemudian berubah bentuk menjadi pertanyaan, siapa yang berkewajiban membayar royalti? Seraya waktu berjalan, persoalan bergeser menjadi keluhan, pencipta menerima royalti sangat kecil tetapi belakangan justru ada (beberapa) pencipta lagu mempersilakan pengguna menyanyikan lagunya dengan tidak perlu membayar royalti.

Sebetulnya saya juga memiliki pertanyaan, berapa besaran royalti yang akan dibayarkan untuk artis yang sudah populer dan berapa besaran royalti yang akan dibayarkan kepada pencipta lagu yang belum populer? Apakah hal demikian dapat digeneralisir (di sama-ratakan) melalui sebuah regulasi?

Lebih jauh, dapatkah dipastikan sebuah karya cipta lagu begitu diluncurkan akan langsung menjadi lagu yang populer tanpa melibatkan pihak lain yang mempopulerkan? Masih banyak hal lagi yang perlu di diskusikan lebih detail tentang seni musik dan lagu.

Terus terang, hal ini membingungkan, setidaknya buat saya selaku dosen pengampu dan bertanggung jawab dengan mata kuliah hak kekayaan intelektual di kampus tempat saya mengajar yang hingga kini saya diminta membimbing dan menguji mahasiswa yang tugas akhirnya tentang hak kekayaan intelektual, baik Strata 1 maupun Strata 2, juga tidak sedikit masyarakat yang bertanya.

Perlu dimaklumi, bahwa pengaturan hak kekayaan intelektual di Indonesia (salah satunya tentang hak cipta/UUHC), itu tidak begitu saja hadir dan dibuat undang-undang, melainkan merupakan konsekuensi logis sebagai bagian dari masyarakat dunia, di mana Indonesia telah turut serta meratifikasi perjanjian internasional yaitu World Trade Organization (disingkat WTO) yang di dalamnya memuat perjanjian Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (disingkat TRIPS’s) pada tahun 1994.

Perjanjian TRIP’s merupakan perjanjian yang mengatur standar perundang-undangan negara anggota. Artinya undang-undang yang diberlakukan di negara anggota tidak boleh menyimpang dari standar yang diatur dalam perjanjian TRIP’s itu. Bahkan di dalam perjanjian TRIP’s terdapat sebuah klausul yang mengatur bahwa anggota WTO/TRIP’s tidak boleh memperlakukan berbeda kepada negara anggota lainnya yang dikenal dengan Most-Favoured-Nation Treatment (Article 4).

Setiap negara memiliki kedaulatan hukum negaranya masing-masing. Akan tetapi perjanjian TRIP’s ini merupakan perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Indonesia, oleh karenanya suka-tidak suka Indonesia harus konsisten mengikutinya. Perlu disadari juga perjanjian TRIP’s itu merupakan bagian dari WTO yang sudah jelas-jelas organisasi perdagangan. Artinya fokusnya tentang profit. Dan tidak kalah pentingnya, setiap perjanjian tentu di dalamnya termuat sanksi bila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang menjadi anggotanya (negara anggotanya).

Oleh karena itu, menjadi pertanyaan buat saya dengan dinamika yang terjadi di masyarakat seperti saat ini, akankah Indonesia mengubah/membuat undang-undang yang pengaturannya dijamin tidak menyimpang dari standar yang sudah disepakati, dalam hal ini WTO dan TRIP’s? Perlu banyak pertimbangan bila akan mengubah/membuat undang-undang baru dan saya dapat membayangkan berapa lama akan selesainya undang-undang baru tersebut. Lalu, sebelum undang-undang baru itu selesai, peraturan mana yang akan digunakan sementara dinamika di masyarakat masih terjadi seperti kondisi saat ini.

Kasus pembajakan bisa terjadi tidak hanya di dalam satu negara, tetapi bisa juga lagu asing dibajak oleh pembajak Indonesia, atau sebaliknya, lagu Indonesia dibajak oleh pihak asing. Oleh karena demikian, dengan memahami kompleksitas permasalahan yang ada, dihubungkan dengan dinamika masyarakat yang terjadi di Indonesia, maka pertanyaannya, apakah mengubah undang-undang yang ada sekarang ini, yaitu UUHC, merupakan satu-satunya solusi?

Membandingkan UUHC, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 9 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik menurut hemat saya masih relevan digunakan.

Namun demikian Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Royalti untuk Pengguna Yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu, dihubungkan juga dengan Keputusan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tentang Tarif Royalti Seminar dan Konferensi Komersial, perlu dilakukan refisi. Hal ini dalam pandangan hukum saya mengesankan negara (Pemerintah) telah mencampuri urusan privat (di masyarakat ada yang berpandangan royalti itu pajak negara).

Padahal mengenai persoalan royalti dan besarannya itu bukan urusan publik. Pemerintah, dalam hal ini Menteri, oleh UUHC hanya diberikan kewenangan “mengesahkan,” bukan “memutuskan” (lihat bunyi Pasal 89 ayat 4). Sehingga menurut pemahaman saya justru permasalahan yang menimbulkan polemik dan dinamika dimasyarakat itu sejatinya terjadi di wilayah peraturan-peraturan teknis di bawah UUHC, dalam hal ini mengenai Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 dan Keputusan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional tentang Tarif Royalti Seminar dan Konferensi Komersial, perlu dilakukan penyesuaian, dengan mengikuti perkembangan teknologi yang semakin canggih.

Penyesuaian terkait aspek hukum teknologi yang semakin canggih selayaknya perlu dilakukan mengingat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 dan Keputusan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional tentang Tarif Royalti Seminar dan Konferensi Komersial mengenai dasar penetapan nilai besaran royaltinya, serta bentuk produk hukumnya yaitu berupa “Surat Keputusan” perlu dilakukan revisi, karena dirasakan tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

Produk hukum berbentuk keputusan (beschikking) tersebut dalam konteks hukum merupakan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang bersifat konkret, individual dan final (lihat Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011), sementara keputusan Menteri yang ada terkait royalti itu bukan dikenakan kepada individu, melainkan ke banyak pihak. Begitu juga penting setelah dilakukan penyesuaian pengaturan tentang royalti segera dilakukan sosialisasi di masyarakat dengan mencermati perkembangan dinamika masyarakat dan perkembangan teknologi yang semakin canggih itu.


Comments