2 hours ago
Ada sebuah pandangan menarik yang dikemukakan oleh ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, yang dikutip oleh Javier Santiso dalam bukunya The Political Economy of Emerging Markets. Krugman menjelaskan bahwa banyak kebijakan ekonomi sebenarnya beroperasi sebagai permainan kepercayaan (confidence game) antara pemerintah, pasar, dan masyarakat internasional. Ia menilai bahwa kredibilitas suatu kebijakan sering kali lebih penting daripada kebijakan itu sendiri, sebab pasar global akan merespons bukan hanya terhadap angka-angka ekonomi, melainkan terhadap kepercayaan mereka terhadap stabilitas dan reputasi negara tersebut.
Pandangan Krugman ini kemudian diperluas oleh Javier Santiso yang menjelaskan bagaimana kepercayaan investor di pasar keuangan global terbentuk melalui tiga elemen utama: exit, voice, dan loyalty. Dalam kerangka itu, negara berkembang sering kali menggunakan kebijakan moneter seperti reformasi mata uang atau redenominasi sebagai sinyal bahwa mereka mampu menjaga stabilitas dan keterbukaan ekonomi di hadapan dunia.
Pandangan tersebut terasa relevan ketika Indonesia kembali menghidupkan wacana redenominasi rupiah. Tujuannya sederhana: menata ulang sistem moneter agar lebih efisien, serta mencerminkan stabilitas ekonomi yang lebih sehat. Namun, muncul pertanyaan penting: Apakah redenominasi benar-benar mampu meningkatkan kepercayaan investor asing?
Dalam konteks Ekonomi Politik Internasional, redenominasi bukan sekadar soal keuangan domestik. Redenominasi adalah bagian dari strategi negara untuk memproyeksikan stabilitas, kredibilitas, dan keberlanjutan ekonomi di mata dunia. Dalam teori liberal institutionalisme, stabilitas moneter yang terjaga dianggap mampu memperkuat posisi suatu negara dalam jejaring ekonomi global, karena investor cenderung mencari lingkungan yang minim risiko dan memiliki kepastian hukum.
Meskipun teori liberal institusionalisme berkata demikian, bagi perspektif realisme redenominasi hanyalah simbol tanpa makna jika tidak diiringi dengan kekuatan ekonomi nyata. Investor asing tidak akan menilai sebuah negara dari nominal mata uangnya, melainkan dari kekuatan institusional, transparansi kebijakan, dan konsistensi makroekonomi. Dalam logika realisme ini, redenominasi hanyalah upaya memoles yang tidak akan menutupi kerentanan struktural seperti utang tinggi, korupsi, atau ketidakpastian politik jika tidak diiringi dengan kestabilan ekonomi domestik yang nyata.
Kita bisa menengok pengalaman Turki pada tahun 2005, ketika pemerintahnya menghapus enam nol dari mata uang lira menjadi “New Turkish Lira”. Pada saat itu, redenominasi berhasil memperkuat persepsi positif investor karena dilakukan bersamaan dengan reformasi fiskal dan kebijakan anti-inflasi yang konsisten. Sebaliknya, Zimbabwe yang melakukan redenominasi berkali-kali tidak berhasil mengembalikan kepercayaan pasar, karena masalah fundamental seperti hiperinflasi dan instabilitas politik tidak pernah diselesaikan.
Dari dua contoh ekstrem tersebut, terlihat jelas bahwa redenominasi tidak otomatis meningkatkan kepercayaan investor. Kepercayaan adalah hasil dari keterpaduan antara kebijakan simbolik dan kebijakan struktural. Redenominasi bisa menjadi sinyal positif, tetapi hanya jika dunia melihat bahwa sinyal tersebut mencerminkan kenyataan, bukan sekadar ilusi kestabilan.
Dalam kacamata hubungan internasional, kepercayaan investor asing tidak semata dibangun dari angka inflasi rendah atau kurs stabil, tetapi dari narasi politik-ekonomi yang disampaikan oleh negara tersebut. Pemerintah harus mampu mengomunikasikan kepada dunia bahwa redenominasi adalah bagian dari reformasi ekonomi menyeluruh, bukan langkah populis jangka pendek. Di sinilah seni diplomasi ekonomi berperan.
Dengan demikian, redenominasi dapat berfungsi sebagai simbol kepercayaan, tetapi tidak bisa berdiri sendiri sebagai sumber kepercayaan. Ia ibarat seragam baru bagi seorang diplomat—menarik dan rapi, tetapi tidak akan berarti apa-apa tanpa kemampuan negosiasi, strategi, dan rekam jejak yang meyakinkan. Investor asing tidak hanya membeli mata uang, mereka membeli kepercayaan terhadap sistem. Maka, yang perlu dipikirkan bukan lagi soal apakah redenominasi bisa meningkatkan kepercayaan investor asing, tetapi apakah Indonesia siap menjadikan redenominasi sebagai bagian dari reformasi ekonomi yang nyata, terukur, dan berkelanjutan.