2 hours ago
Fenomena childfree kini memunculkan perdebatan hangat di tengah masyarakat. Fenomena ini menjadi perdebatan hangat ketika seorang publik figur, Gita Savitri menyatakan bahwa dirinya memilih untuk childfree. Sebagian menganggapnya sebatas pilihan hidup, sebagian lain menilainya sebagai ancaman bagi kelangsungan masa depan. BPS memproyeksikan bahwa angka kelahiran di Indonesia turun menjadi 4,62 juta di tahun 2023 yang mana turun 0,6% dari tahun sebelumnya.
Di balik perdebatan itu, masih terdapat benturan terhadap nilai patriarki yang menitikberatkan peran perempuan sebagai “pengasuh anak” sementara kini banyak pasangan muda menunda bahkan menolak memiliki anak. Pilihan ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana pilihan ini akan membentuk arah pertumbuhan penduduk indonesia ke depan?
Patriarki merupakan sistem yang telah mengakar kuat di masyarakat, memengaruhi stereotip tentang peran laki-laki dan perempuan. Sistem ini memaksa perempuan untuk memerankan peran tradisional, menempatkan perempuan dalam peran-peran kaku dan terbatasi. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan dalam keluarga serta masyarakat dan perempuan ditempatkan dalam peran domestik seperti mengurus rumah tangga dan mengasuh anak.
Sistem ini menciptakan tekanan sosial bagi perempuan untuk menikah dan memiliki anak karena kebahagiaan dan kebermaknaan hidup kerap dikaitkan dengan keluarga. Ekspektasi ini sering kali membuat perempuan mengorbankan ambisi pribadi perempuan demi memenuhi peran sebagai ibu yang sempurna.
Sebaliknya, laki-laki ditempatkan sebagai pencari nafkah utama, bukan sebagai sosok yang terlibat aktif dalam pengasuhan anak. Tekanan ini membatasi ruang kebebasan perempuan untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Tekanan ini dipandang hal yang normal dalam Masyarakat. Akibatnya banyak perempaun terperangkap dalam hubungan yang merugikan seperti kasus KDRT karena adanya tekanna sosial dan sterotip terhadap perceraian. Sistem ini dengan segala tekanannya menyebabkan berbagai masalah salah satunya meningkatnya pilihan untuk hidup childfree yang sering dianggap tabu oleh norma sosial.
Childfree di Indonesia dapat dilihat sebagai bagian dari tren global dan transisi demografi. Transisi demografi menggambarkan pergeseran pola kelahiran dan kematian seiring modernisasi masyarakat. Berdasarkan data BPS tahun 2022 persentase Perempuan childfree mengalami kenaikan dengan angka sekitar 8% atau setara 71 ribu orang dari perempuan usia 15-49 tahun yang pernah menikah belum pernah melahirkan anak. Hal ini mengindikasikan bahwa angka in ikan terus meningkat di tahun berikutnya.
Pilihan untuk childfree mencerminkan keinginan perempuan untuk mengeksplorasi peran sosial di luar keluarga, seperti mengejar karier dan pendidikan. Pendidikan yang semakin tinggi memengaruhi keputusan perempuan untuk memiliki anak.
Sebagian masyarakat yang memilih childfree beranggapan bahwa ada harga mahal yang harus dibayar dan yang harus dikorbankan ketika membesarkan anak. Ketakutan tidak mampu menanggung dan mengurus anak dengan baik juga menjadi salah satu alasan mengapa mereka memilih childfree.
Patriarki mendorong konsep banyak anak banyak rezeki. Namun, fenomena childfree merupakan perlawanan dari konsep ini. Dalam masyarakat tradisional, perempuan dianggap memiliki akan lebih berharga ketika mampu melahirkan anak dan meneruskan keturunan. Akibatnya, perempuan yang memilih tidak punya anak bahkan bagi perempuan yang secara khusus tidak bisa memiliki anak akan dianggap bermasalah atau egois.
Meskipun demikian, peningkatan tren childfree menunjukkan adanya pergeseran cara pandang. Childfree dipandang sebagai bentuk perlawanan perempuan terhadap patriarki. Menurut teori feminis radikal, keinginan untuk memiliki anak seringkali bukan datang dari kemauan diri, melainkan untuk memenuhi ego pribadi laki-laki (untuk meneruskan nama) atau mempertahankan eksistensi perempuan yang terikat dengan urusan domestik.
Bagi penganut feminisme, perempuan memiliki hak mutlak atas tubuh dan kehidupannya untuk memutuskan apakah ingin memiliki anak atau tidak, tanpa paksaan dan perundungan dari orang lain.
Meskipun konsep ini belum sepenuhnya diterima di Indonesia, dengan mayoritas tanggapan negatif atau netral di media sosial, ada juga yang menganggap pilihan ini sebagai hal yang wajar dan perlu dihormati. Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan segmen generasi tertentu dalam piramida penduduknya.
Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030 hingga 2040, Di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih dominan dibandingkan penduduk usia nonproduktif. Ini merupakan peluang emas untuk memajukan ekonomi karena ketersedian sumber daya manusia yang melimpah.
Namun, peluang emas ini terancam oleh fenomena childfree karena rendahnya angka kelahiran akan terus berlanjut. Jika populasi usia muda produktif menurun akan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi di masa depan karena sumber daya manusia yang menjadi penopang perekonomian akan berkurang.
Tren ini telah menjadi kekhawatiran global. Contohnya, negara Korea Selatan dan Jepang yang telah mengalami masalah ini. Kedua negara tersebut mempunyai angka kelahiran dan rendah. Akibatnya, kedua negara tersebut memiliki struktur penduduk yang didominasi oleh penduduk berusia tua yang menimbulkan beban bagi sistem jaminan sosial dan perekonomian.
Pilihan untuk childfree tentunya didorong oleh beberapa faktor tertentu. Secara umum, Keputusan ini didasarkan pada pilihan hidup personal pasangan. Perempuan memilih untuk childfree karena alasan pribadi seperti merasa tidak cakap menjadi orang tua, ada juga yang memiliki trauma, fobia, atau gangguan psikologis yang membuat mereka enggan untuk memiliki anak. Bagi sebagian orang membesarkan anak butuh biaya yang besar dan mereka merasa tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga jika memiliki anak. Saat ini juga banyak perempuan yang lebih berfokus karier yang mana mengurangi peluang mereka untuk memiliki anak.
Childfree adalah pilihan personal yang seringkali lahir dari tarik-menarik antara beban patriarki dan keinginan hidup yang lebih setara. Dari sudut demografi, fenomena ini menjadi alarm, Indonesia harus siap menghadapi penurunan angka kelahiran dan penuaan penduduk lebih cepat jika tidak ada kebijakan yang mendukung keseimbangan.