Menjaga Tambak, Menyelamatkan Laut: Upaya Budidaya Udang yang Berkelanjutan

11 hours ago

Ilustrasi udang mantis. Foto: Maxfield Weakley/Shutterstock

Tambak udang kerap menjadi perbincangan hangat ketika membahas pertemuan antara ekonomi biru dan pelestarian lingkungan. Di satu sisi, udang vannamei (Litopenaeus vannamei) telah menjelma sebagai komoditas unggulan Indonesia dengan nilai ekspor mencapai miliaran dolar AS per tahun. Di sisi lain, intensifikasi tambak membawa konsekuensi lingkungan: penurunan kualitas air, akumulasi sedimen organik, hingga hilangnya keanekaragaman hayati bentik pesisir. Pertanyaannya: mungkinkah tambak udang tetap menjadi penopang ekonomi sekaligus pelindung ekosistem pesisir?

Jawabannya ada pada bagaimana pelaku usaha, regulator, dan masyarakat memastikan setiap aktivitas budidaya terkendali, bersih, dan dapat dinetralkan kembali sebelum bersentuhan dengan lingkungan alamiah.

Jejak Ekologis Tambak Udang

Intensifikasi tambak udang identik dengan penggunaan pakan dalam jumlah besar, bahan kimia untuk sterilisasi, serta input energi tinggi. Proses ini memunculkan residu organik berupa feses dan sisa pakan yang mengendap di dasar kolam. Menurut Zhang et al. (2022, Aquaculture), akumulasi organik pada tambak intensif meningkatkan risiko hipoksia dan pembentukan senyawa sulfida yang beracun bagi organisme bentik. Jika tidak ditangani, air buangan tambak bisa mengandung nitrogen, fosfor, dan bahan organik tinggi yang memicu eutrofikasi perairan pesisir.

Namun, praktik tersebut bukan harga mati. Kajian FAO (2023) menegaskan bahwa dengan manajemen input yang cermat, sistem budidaya intensif masih bisa beriringan dengan ekosistem sehat. Kuncinya terletak pada pemilihan bahan ramah lingkungan, proses aplikasi yang tepat, serta sistem pengolahan limbah terpadu.

Dari Air Masuk hingga Air Keluar: Rantai Tanggung Jawab

Foto udara area tambak. Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO

Pengelolaan lingkungan tambak udang tidak bisa hanya berfokus pada kolam budidaya. Rantai tanggung jawab dimulai sejak air pertama kali masuk hingga akhirnya dilepaskan kembali.

1. Air Input dan Sterilisasi

Air yang masuk ke tambak kerap mengandung plankton liar, patogen, atau bahan organik berlebih. Sterilisasi menjadi tahap penting, biasanya dilakukan dengan bahan kimia seperti kapur atau oksidator. Namun, kecenderungan global kini mendorong penggunaan probiotik, ozon, hingga biofiltrasi yang lebih ramah lingkungan (Li et al., 2021, Marine Pollution Bulletin).

2. Air Budidaya

Selama pemeliharaan, kualitas air dikontrol secara ketat: DO (dissolved oxygen), pH, salinitas, dan amonia. Teknologi real-time monitoring mulai diadopsi di banyak tambak modern. Sistem ini memungkinkan deteksi dini kondisi berbahaya, sehingga intervensi bisa dilakukan sebelum terjadi degradasi kualitas lingkungan (Rahman et al., 2023, Aquacultural Engineering).

3. Air Buangan dan IPAL

Inilah tahap paling krusial: memastikan air keluar tidak menjadi 'racun' bagi laut. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) kini dianggap sebagai best practice. Sistem IPAL berbasis kolam sedimentasi, biofilter, hingga wetland buatan mampu menurunkan beban organik secara signifikan (Budiardi et al., 2022, Indonesian Aquaculture Journal). Bahkan, beberapa perusahaan tambak di beberapa daerah sudah mengembangkan recirculating aquaculture system (RAS) untuk meminimalisasi pelepasan limbah ke lingkungan.

Menakar Ulang Bahan dan Proses

Pemilihan bahan dalam tambak menjadi sorotan penting. Kapur pertanian dan bahan oksidator masih banyak digunakan, tetapi dosis berlebih justru bisa mencederai keseimbangan mikrobiologi kolam. Alternatifnya, probiotik berbasis bakteri asam laktat atau Bacillus sp. terbukti menekan akumulasi amonia sekaligus meningkatkan kelimpahan plankton menguntungkan (Nguyen et al., 2022, Journal of Applied Aquaculture).

Selain itu, pakan berperan besar dalam jejak ekologi tambak. Formulasi pakan berkualitas tinggi dengan water stability yang baik mampu mengurangi limbah organik hingga 30% dibanding pakan standar (Boyd & McNevin, 2021, Reviews in Fisheries Science & Aquaculture). Beberapa inovasi terbaru bahkan melibatkan fermentasi pakan dengan probiotik untuk meningkatkan kecernaan sekaligus mengurangi polusi.

Model Budidaya: Dari Ekstensif hingga Hiper-Intensif

Perbedaan dampak lingkungan juga bergantung pada model budidaya:

  • Ekstensif: konsumsi pakan rendah, limbah minimal, tetapi produktivitas juga rendah.
  • Semi-intensif: lebih banyak input, mulai membutuhkan aerasi dan pengelolaan limbah.
  • Intensif & Hiper-intensif: produksi bisa melonjak drastis, namun berisiko besar pada akumulasi organik dan degradasi sedimen jika tidak ada IPAL yang memadai.

Kajian Hasan et al. (2023, Sustainability) menunjukkan bahwa tambak hiper-intensif dengan IPAL yang baik justru bisa lebih ramah lingkungan daripada tambak intensif tanpa pengolahan limbah. Artinya, teknologi dan manajemen menjadi pembeda utama, bukan sekadar kepadatan tebar.

Jalan Tengah: Ekonomi dan Ekologi

(Dokumen Pribadi)

Sering kali pelaku usaha beranggapan bahwa investasi lingkungan hanya menambah biaya produksi. Padahal, kenyataannya justru sebaliknya. Tambak yang menerapkan eco-efficient farming cenderung menghasilkan produktivitas lebih stabil, risiko penyakit lebih rendah, dan akses pasar lebih luas, terutama di pasar ekspor yang kini mensyaratkan sertifikasi ramah lingkungan seperti ASC (Aquaculture Stewardship Council).

Indonesia memiliki peluang besar menjadi pelopor green aquaculture dunia. Dengan garis pantai panjang dan dukungan riset yang terus berkembang, integrasi antara teknologi IPAL, probiotik, sensor kualitas air, serta efisiensi pakan dapat menjadikan tambak bukan ancaman, melainkan penjaga keberlanjutan pesisir.

Simpul Ekologi

Tambak udang bukan sekadar ruang produksi; ia adalah simpul ekologi yang bersinggungan langsung dengan laut, sedimen, dan biodiversitas bentik. Menjaga kualitas air masuk, mengendalikan air budidaya, serta memastikan air buangan bersih merupakan rantai tanggung jawab yang tak bisa diputus.

Dengan pemilihan bahan ramah lingkungan, pengendalian jumlah dan proses aplikasi, serta pengoperasian IPAL secara konsisten, tambak udang bisa menjelma dari 'tersangka pencemar' menjadi model pertanian pesisir berkelanjutan.

Seperti kata pepatah nelayan: laut memberi makan, maka kita pun wajib menjaga napasnya tetap segar.


Comments