9 hours ago
Putus cinta sering dipandang sebagai fase “wajar” dalam perjalanan menuju dewasa. Di media sosial, ia hadir dalam bentuk meme, quote galau, atau candaan soal mantan. Namun, bagi banyak anak muda—terutama di rentang usia 18–29 tahun atau fase emerging adulthood—putus cinta bisa menjadi salah satu titik paling gelap dalam hidup.
Makan tak enak, tidur tak nyenyak, konsentrasi buyar, dan muncul pertanyaan-pertanyaan yang jauh lebih serius daripada sekadar “dia lagi sama siapa?”
Sebuah ulasan sistematis yang terbit di Clinical Psychology & Psychotherapy pada 2025 berjudul Psychosocial Effects of Romantic Breakups During Emerging Adulthood: A Systematic Review menunjukkan bahwa putus cinta pada fase ini bukan hanya soal sedih sesaat, tetapi berkaitan langsung dengan kesehatan mental dan perkembangan kepribadian.
Berbagai penelitian dalam ulasan tersebut menemukan kaitan antara putus cinta dengan meningkatnya stres, depresi, kecemasan, hingga gangguan tidur. Sebagian individu bahkan mengalami penurunan harga diri dan munculnya pikiran untuk mengakhiri hidup, terutama ketika masa depan terasa tertutup.
Banyak anak muda tumbuh dengan keyakinan tak tertulis bahwa hubungan yang berhasil adalah syarat utama untuk merasa cukup. Pasangan menjadi cermin harga diri: jika dicintai, berarti layak; jika ditinggalkan, berarti gagal.
Ketika hubungan berakhir, pikiran otomatis menyimpulkan, “Kalau dia bisa pergi, pasti ada yang salah dengan aku.”
Di titik ini, pikiran intrusif mulai mengambil alih memutar ulang percakapan terakhir, membayangkan skenario berbeda, atau terus mempertanyakan apa yang seharusnya dilakukan.
Ulasan tersebut mencatat bahwa pikiran intrusif sangat umum muncul setelah putus cinta dan berkaitan erat dengan meningkatnya distress, depresi, serta kecemasan. Ketika rasa sakit tak kunjung reda, sebagian orang mulai memandang pikiran mengakhiri hidup sebagai “jalan pintas” imajiner untuk menghentikan derita.
Bukan karena mereka lemah, tetapi karena rasa sakit terasa lebih besar daripada kapasitas yang dimiliki saat itu.
Tekanan untuk “cepat sembuh” atau “harus move on” sering kali justru memperparah keadaan. Saat seseorang masih menangis, rindu, atau marah, ia tidak hanya berhadapan dengan kehilangan, tetapi juga rasa bersalah karena merasa gagal pulih.
Alih-alih membaik, ia masuk ke lingkaran baru: sedih karena putus, lalu marah pada diri sendiri karena masih sedih.
Penelitian yang sama menunjukkan bahwa cara seseorang merespons rasa sakit jauh lebih menentukan daripada besarnya peristiwa putus cintanya. Menghindari emosi, menekan perasaan, atau tenggelam dalam overthinking tanpa arah justru memperburuk kondisi psikologis.
Sebaliknya, individu yang berani mengakui luka dan merefleksikan pengalamannya—mengenali pola relasi yang tidak sehat, serta menarik pelajaran darinya—lebih mungkin mengalami personal growth setelah peristiwa sulit.
Sebagian partisipan penelitian melaporkan peningkatan rasa mandiri, kepercayaan diri, dan kematangan dalam menjalin hubungan setelah melalui proses pemulihan yang tidak singkat.
Ada yang kembali menemukan minat dan hobi yang lama ditinggalkan, ada pula yang mulai menata ulang batas dalam hubungan: apa yang bisa diterima, dan apa yang tidak lagi dapat ditoleransi.
Ulasan tersebut juga menyoroti pentingnya dukungan sosial yang hangat dari teman, keluarga, atau komunitas yang mampu mendengar tanpa menghakimi. Dukungan semacam ini berperan sebagai faktor protektif yang membantu individu keluar dari isolasi emosional.
Selain itu, kemampuan mengelola emosi dan memahami pikiran serta perasaan diri sendiri berkaitan erat dengan penurunan distress dan peningkatan resiliensi.
Di luar temuan ilmiah, ada pesan sederhana yang muncul: anak muda membutuhkan ruang aman untuk patah hati. Bukan hanya ruang untuk menangis, tetapi juga ruang untuk berpikir ulang tentang cara mencintai, memaknai diri dalam hubungan, dan membangun relasi yang lebih sehat ke depan.
Intervensi psikologis pun disarankan tidak hanya berfokus pada meredakan gejala sesaat, tetapi juga membantu individu memanfaatkan momen ini sebagai peluang pertumbuhan psikososial.
Putus cinta memang dapat menjadi salah satu pengalaman paling menyakitkan, terlebih ketika datang bersamaan dengan tekanan akademik, masalah keluarga, atau kesulitan ekonomi.
Namun, sains menunjukkan bahwa pengalaman yang sama juga dapat menjadi titik balik, jika diolah dengan dukungan yang tepat dan keberanian untuk melihat diri sendiri secara jujur.
Mungkin inilah cara lain memandang patah hati: bukan semata akhir sebuah hubungan, melainkan undangan untuk berkenalan ulang dengan diri sendiri.
Karena perasaan hancur hari ini bukan bukti kelemahan, melainkan tanda bahwa hati masih cukup hidup dan karenanya, juga cukup hidup untuk bertumbuh.