Neneng Rosidiyana di Temu Rakyat Sumatra, Bahas Perlawanan Petani & Perempuan

21 hours ago

Neneng, Asfinawati, Neni dalam Podcast Temu Rakyat Sumatra, Minggu (7/9) | Foto : Taufik H/Lampung Geh

Lampung Geh, Bandar Lampung - Neneng Rosdiyana, seorang petani yang melakukan sesuatu yang tidak biasa, sehingga membuatnya viral di media sosial Facebook dengan sebutan Nenengisme menghadiri Temu Rakyat Sumatra di Lampung Timur, pada Minggu (7/9). Tidak hanya Neneng, turut hadir pula sejumlah aktivis hak asasi manusia, Asfinawati, yang pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Heni Buryati, anggota Serikat Petani Lampung (SPL); serta Lastri, sekretaris Kelompok Wanita Tani (KWT) Mentari. Mereka ikut dalam podcast tersebut. Dalam pembicaraannya, Asfinawati mengatakan bahwa persoalan rakyat nyaris tidak pernah berubah. Ketidakadilan datang terus berganti, mulai dari harga kebutuhan pokok yang melonjak, biaya pendidikan yang mahal, sementara subsidi dan perlindungan negara minim. Asfinawati menilai, situasi itu mendorong lahirnya keberagaman bentuk perlawanan rakyat. “Kini yang melawan sangat beragam. Ada ibu rumah tangga, sopir angkot, pemusik jalanan, bahkan anak-anak muda yang menjadi paramedis aksi atau paralegal jalanan. Ini adalah harapan baru Indonesia,” ujarnya. Menurutnya, Temu Rakyat Sumatra menjadi ruang penting karena mempertemukan berbagai kelompok dengan masalah serupa maupun berbeda, sehingga dapat saling menguatkan. “Kalau kita mau menangkan Indonesia, kita menangkan dulu daerah kita sendiri. Bagian dari kemenangan Pulau Sumatra adalah bagian penting dari Indonesia,” jelasnya. Neneng menceritakan awal mula ia terdorong melakukan perlawanan di media sosial (Facebook), sehingga terbentuk suatu komunitas. Awalnya, hanya membantu suami di ladang, namun kemudian terdorong membentuk KWT bernama Mentari untuk memberdayakan perempuan. “Kami bisa berdikari, membantu perekonomian keluarga. Dukanya, lahan masih sewa, bibit dan pupuk terbatas. Tapi semangat gotong royong membuat kelompok wanita tani tetap hidup,” jelasnya. Aktivitas Neneng di media sosial yang kerap pemikiran Marxis dan Sosialis membuat publik menyebutnya dengan Nenengisme. Neneng mengaku terkejut dengan viralnya dirinya di sosial media fecbook. “Saya sebenarnya masih belajar. Tapi komentar-komentar teman di Facebook justru membuka pikiran saya bahwa kita tidak boleh egois, harus bersuara,” ujarnya. Bagi Neneng, perjuangan KWT Mentari bukan sekadar teori, melainkan kerja nyata seperti menanam, mencangkul, hingga panen raya. “Pangan kita berasal dari lahan, bukan dari gedung perkantoran. Selama petani menanam, harapan masih ada,” tuturnya. Tidak hanya itu, Heni Buryati dari Desa Sripendowo, Lampung Timur, juga menyoroti kondisi petani yang haknya sering dirampas mafia tanah. “Kami disebut vokal karena berani melawan ketidakadilan. Petani selalu dijadikan suara saat pemilu, tapi hak dirampas. Kami, perempuan, ikut aksi, ikut demo, bersuara demi merebut kembali ruang hidup,” ujarnya. Heni mengatakan, beban akibat perampasan lahan justru lebih berat ditanggung oleh perempuan. “Kalau ruang hidup dirampas, penderitaan itu jatuh ke ibu-ibu. Anak bisa kelaparan, pendidikan terhenti, dan masa depan hancur. Karena itu perempuan tidak boleh hanya diam, tapi harus berdikari,” ujarnya. Sama seperti Neneng, Lastri sebagai sekretaris KWT Mentari menceritakan awal terbentuknya kelompok KWT. bersama keluarga dan warga setempat berinisiatif mendirikan kelompok karena banyak perempuan tidak punya akses kebun. “Kami ingin ibu-ibu tidak hanya bergantung pada suami. Dengan berkebun, sayur-mayur bisa dipetik sendiri, bahkan sebagian dijual. Kendala utama kami adalah lahan. Sering kali harus menyewa, karena lahan garapan terbatas,” ujarnya. Dalam podcast itu juga menyinggung persoalan pertemuan gerakan desa dan kota. Asfinawati menilai pentingnya kesadaran bersama. “Kalau petani di seluruh Indonesia bisa bersatu, mereka bisa menandingi kekuatan ritel besar. Hasil panen bisa dikelola melalui koperasi, sehingga keuntungan kembali ke petani, bukan ke pemodal besar,” ujarnya. (Taufik/Ansa)


Comments