4 hours ago
Beberapa tahun terakhir, dunia kerja lagi rame sama istilah baru yaitu office frogging. Buat sebagian orang tua, ini kedengeran aneh dan bikin kening berkerut. Tapi buat banyak anak muda, terutama Gen Z, office frogging udah jadi bagian dari perjalanan karier mereka.
Kalau dulu orang bangga bisa kerja puluhan tahun di satu perusahaan, sekarang banyak anak muda justru bangga bisa pindah kantor cepat, dapet pengalaman baru, dan nggak takut gonta-ganti suasana. Nah, mari kita kupas tuntas tren yang lagi heboh ini.
Secara sederhana, office frogging adalah kebiasaan sering pindah kerja dalam waktu relatif singkat. Kata “frogging” sendiri diambil dari “frog” alias katak, karena mirip katak yang lompat dari satu daun ke daun lain.
Bedanya, di sini yang lompat adalah karyawan dari satu kantor ke kantor lain. Office frogging muncul sebagai bagian dari perubahan pola pikir generasi muda. Buat mereka, kerja bukan cuma soal gaji atau jabatan, tapi juga soal:
Banyak orang ngira office frogging sama aja dengan job hopping, padahal ada bedanya.
Tujuan
Mindset
Image di mata HR
Hasil akhir
Fenomena office frogging bukan muncul begitu saja. Ada banyak faktor yang bikin anak muda sekarang lebih suka “lompat-lompat” kantor dibanding generasi sebelumnya.
Harga kebutuhan sehari-hari makin naik, sementara gaji di banyak perusahaan sering jalan di tempat. Apalagi di kota besar, biaya sewa kos, transportasi, dan makan bisa ngabisin setengah gaji.
Buat banyak anak muda, pindah kantor jadi cara paling realistis buat ningkatin penghasilan. Kalau stay di satu kantor, naik gaji butuh waktu tahunan, itu pun belum tentu signifikan.
Generasi sekarang tumbuh di era digital yang serba instan dan penuh variasi. Streaming film, gonta-ganti konten TikTok, atau nyobain makanan baru tiap minggu. Pola hidup ini kebawa ke dunia kerja.
Begitu kerjaan terasa monoton, banyak anak muda langsung kepikiran buat cari suasana baru. Mereka lebih pengin kerjaan yang menantang, bikin mikir, dan ada peluang belajar hal baru.
Dulu banyak orang rela kerja lembur tiap hari, pulang tengah malam, bahkan nerima perlakuan toxic demi “bertahan” di perusahaan. Tapi generasi sekarang lebih sadar kalau kesehatan mental sama pentingnya dengan gaji.
Kantor dengan budaya kerja yang buruk, atasan yang abusive, atau beban kerja nggak manusiawi bisa bikin stres berkepanjangan. Buat Gen Z, nggak ada gunanya stay di lingkungan kayak gitu. Lebih baik cabut, walaupun harus mulai dari nol lagi. Prinsipnya jelas, kerja itu harus bikin hidup lebih baik, bukan bikin hidup sengsara.
Zaman dulu, kerja di kantor besar atau perusahaan mapan dianggap tujuan utama. Sekarang opsinya jauh lebih luas kaya, ada remote job, hybrid, startup, bahkan kerja freelance.
Fleksibilitas ini bikin anak muda nggak merasa “terjebak” di satu kantor. Kalau ada tawaran kerja remote dengan gaji dolar, kenapa harus ngotot stay di kantor lama yang gajinya pas-pasan?
Gen Z punya cara pandang unik soal kerja. Mereka nggak cuma mikir “dapet gaji berapa”, tapi juga “kerja ini sesuai nggak sama value hidup gue?”.
Misalnya, ada orang yang peduli banget sama isu lingkungan. Kalau kerja di perusahaan yang nggak peduli sama sustainability, dia bisa ngerasa nggak cocok. Atau ada yang pengen kerja di tempat yang menghargai kreativitas, bukan sekadar “kerja sesuai SOP”.
Buat karyawan, office frogging bukan cuma soal pindah kerja, tapi juga bisa jadi strategi karier. Ada beberapa sisi positif yang sering dirasain:
Setiap kantor punya sistem, teknologi, budaya, dan cara kerja yang berbeda. Dengan pindah, kamu otomatis belajar hal baru. Misalnya, di kantor A kamu belajar soal digital marketing, di kantor B kamu dapet exposure ke project management. Hasilnya? Skill kamu jadi lebih kaya, nggak monoton.
Setiap kantor baru berarti kenalan baru, mulai dari rekan kerja, atasan, sampai relasi bisnis. Jaringan ini bisa jadi modal berharga buat masa depan. Siapa tahu mantan rekan kerja bisa ngajak kolaborasi proyek, buka peluang kerja lain, atau bahkan jadi partner bisnis.
Kadang kita nggak tahu sebenarnya kita cocok kerja di bidang apa sebelum nyoba. Dengan pindah-pindah, kamu bisa ngerasain berbagai suasana dan posisi. Dari situ, jadi lebih mudah buat ngerti, “Oh, ternyata gue lebih cocok di startup kecil yang fleksibel” atau “Gue lebih nyaman di korporat besar dengan sistem yang jelas.”
Realitanya, promosi di kantor sering makan waktu lama. Bahkan ada yang kerja bertahun-tahun tapi kenaikannya cuma tipis. Nah, pindah ke kantor lain sering kali bikin gaji langsung naik signifikan. Contohnya dari gaji 5 juta di kantor lama, pindah bisa dapet 7 juta atau lebih. Dalam 2–3 kali lompat, total gajimu bisa naik jauh lebih cepat dibanding nunggu promosi.
Meski kelihatan keren, office frogging juga punya risiko. Kalau nggak hati-hati, justru bisa bikin kariermu tersendat.
Banyak HR atau perusahaan masih punya mindset lama, loyalitas = kualitas. Kalau CV kamu isinya pindah tiap setahun sekali, bisa bikin mereka ragu. Mereka takut kamu juga bakal cabut cepat kalau direkrut. Jadi, pindah terlalu sering bisa jadi bumerang.
Beberapa perusahaan ngasih reward buat karyawan yang stay lama, seperti bonus tahunan, jenjang karier jelas, program pensiun, atau cuti panjang. Kalau kamu keburu cabut, benefit ini bisa lewat begitu saja. Jadi meskipun gaji naik cepat, ada “hadiah jangka panjang” yang terlewat.
Pindah kantor = mulai dari nol lagi. Harus belajar sistem baru, adaptasi sama budaya perusahaan, bahkan bangun reputasi lagi. Kalau terlalu sering, energi bisa terkuras. Ada orang yang akhirnya ngerasa nggak punya “akar” karena selalu jadi “anak baru”.
Kalau kelewat sering lompat tanpa alasan jelas, nama kamu bisa jelek di mata industri. Apalagi di lingkaran profesional yang sempit, reputasi menyebar cepat. Perusahaan besar biasanya nyari orang yang stabil, jadi kalau dianggap “job hopper akut”, bisa bikin peluangmu berkurang.
Kalau kamu kepikiran buat ikutan tren ini, jangan asal lompat kayak katak beneran ya. Harus ada strategi biar perpindahanmu nggak jadi bumerang. Berikut beberapa tips yang bisa kamu pegang:
Pindah kerja bukan sekadar karena lagi bosen atau pengin suasana baru. HR bakal lebih respect kalau kamu punya alasan logis, misalnya:
Kalau alasanmu sekadar “nggak betah” tanpa penjelasan, bisa bikin HR ragu. Jadi pastikan setiap lompatan punya tujuan yang jelas buat masa depanmu.
Kalau tiap 3–6 bulan sekali kamu gonta-ganti kantor, reputasimu bisa jatuh. Banyak perusahaan bakal mikir kamu nggak bisa komitmen atau gampang nyerah. Idealnya, stay minimal 1–2 tahun di satu tempat sebelum pindah.
Dengan begitu, kamu bisa nunjukkin kontribusi nyata, bukan cuma numpang lewat. Ingat, pengalaman kerja dihitung bukan cuma dari jumlah kantor yang pernah kamu singgahi, tapi juga seberapa besar dampak yang kamu tinggalkan.
Office frogging bisa terlihat positif kalau kamu pintar membangun citra profesional. Pastikan CV, LinkedIn, atau portofoliomu nunjukkin arah karier yang jelas. Misalnya:
Jadi penting banget punya “benang merah” biar orang lihat kamu tetap punya tujuan karier yang konsisten.
Waktu wawancara, pasti bakal ditanya soal alasan pindah. Nah, kuncinya adalah framing. Misalnya, hindari ngomong jelek soal kantor lama, fokus ke hal positif yang kamu cari, dan tunjukkan kalau kamu bukan lari dari masalah, tapi lari menuju kesempatan baru.
Generasi sekarang udah nunjukkin kalau mereka lebih peduli sama kenyamanan, kesehatan mental, dan perkembangan diri, dibanding sekadar bertahan karena gengsi atau takut dicap “nggak loyal”. Pada akhirnya, dunia kerja harus adaptasi.
Perusahaan perlu sadar kalau generasi baru nggak akan betah cuma karena gaji, tapi juga butuh ruang untuk berkembang dan hidup lebih seimbang. Sementara buat karyawan, penting juga mikir strategis biar setiap lompatan bukan sekadar pelarian, tapi langkah nyata menuju masa depan karier yang lebih cerah.
Jadi, gimana menurut kalian, office frogging itu strategi cerdas buat berkembang atau justru jebakan yang bisa ngerusak reputasi karier?