3 hours ago
Sehari setelah perayaan Hari Ibu Nasional tahun lalu, saya justru semakin sadar bagaimana sulitnya hidup di dunia yang katanya dunia laki-laki ini.
Saya terlahir sebagai perempuan, lalu seiring beranjak dewasa, saya mulai sadar bahwa jadi perempuan tidak bisa dibilang mudah. Hidup ini seakan membuat kaum adam menjadi pemeran utama di dalamnya.
Perempuan memakai rok mini dengan tujuan ingin terlihat cantik, tetapi mereka dengan percaya dirinya merasa bahwa alasan di balik rok mini tersebut adalah untuk mereka (para pria), lalu berpikir bahwa sah-sah saja jika mereka nantinya sexualizing atau melihat perempuan sebagai objek.
Saya akan dicap sebagai perempuan tidak benar ketika melakukan hal-hal yang "diwajarkan" pada kaum adam. Mereka selalu berdalih, "namanya juga cowok" dan seolah terhindar dari stigma buruk.
Sebagai perempuan, kemampuan saya kerap diragukan di tempat yang kebanyakan diisi oleh laki-laki. Bahkan setelah berupaya lebih keras pun, saya masih tetap diragukan.
Selain kesengsaraan itu, banyak dari kami, perempuan, yang lahir dengan stereotype pembawa fitnah yang tumbuh besar hanya sebagai objek nafsu kaum adam. Kami kerap disamakan dengan permen, ikan, dan hal konyol lainnya.
Kami selalu dituntut untuk menjaga diri, disalahkan atas pakaian yang kami pilih dan kenakan, selalu dituntut untuk menjaga aurat. Tapi saat hal buruk terjadi, tak ada yang menyalahkan kaum pria yang tak tahu cara menempatkan nafsu dan menaruh otaknya di balik resleting celana. Apa pun itu, semua adalah salah perempuan.
Pilihan kami seolah terbatas. Jika tak menikah cepat-cepat akan jadi olok-olok tetangga dan dicap sebagai perawan tua. Setelah menikah pun, tak lebih baik. Setelah lelah melahirkan, urusan anak seolah dilimpahkan seluruhnya kepada ibu. Jika mengeluh bisa dituding tak tunduk suami.
Saat mengalami kekerasan atau ketidakadilan, kami dibungkam agar tak dicap sebagai penyebar aib suami. Hidup kami seakan dituntut harus sesuai garis yang sudah ditentukan sejak lama: lahir, tumbuh dewasa, menikah, punya anak. Kami dituntut menyerahkan seluruh kehidupan kepada suami dan anak, diletakkan sebagai pemeran di belakang, seakan hidup kami hanya untuk menjadi pelengkap.
Lucunya, setelah tahu banyak kemalangan itu, saya masih saja diberi nasihat, "jadi perempuan harus lebih nrimo. Saya harus menerima saja jika pasangan saya nanti tak seperti yang saya mau, dan jika sudah menikah, kehidupan saya akan berubah jadi milik suami seutuhnya terutama jika di luar rumah. Padahal, katanya, saya tak boleh mengekang calon suami saya kelak sebab dia bukan milik saya sepenuhnya jika di luar rumah.
Lucunya, kata-kata ini justru berasal dari perempuan yang saya tahu persis betapa sengsara hidupnya karena dipenuhi oleh laki-laki tak tahu diri.
Saat tahu fakta bahwa perempuan pun punya pilihan dan punya hak memilih atas jalan hidupnya, masyarakat akan marah, seakan tak terima. Mau menikah atau tidak menikah, mau punya anak atau childfree, mau memilih karier atau jadi ibu rumah tangga, kami bebas memilih. Ini hidup kami, milik kami seutuhnya.