Ottoman dan Peta Panas Timur Tengah Pasca Keruntuhannya

8 hours ago

Sumber Foto : https://www.freepik.com/free-photo/istanbul-s-ocean-with-cruise-ship_3220776.htm#fromView=search&page=1&position=0&uuid=3d2c1040-6642-4bfd-9aec-b367e6d3c9e0&query=Istanbul

Kesultanan Ottoman dan peta kejayaan kesultanan ini pada puncaknya berada di abad ke-XVI, peta politik mereka merupakan salah satu dinasti Islam terbesar yang berhasil memimpin peradaban yang vital dan superior, penaklukan konstantinopel atau istanbul pada 1343 menjadi titik balik kesultanan ini. Kesultanan utsmaniyah membentang dari Anatolia hingga Balkan, dan di Timur Tengah mencakup wilayah Syam (Suriah), Mesopotamia (Irak), hingga ke semenanjung Arab. Kekuasaan yang membentang luas ini menjadi simbol otoritas dan stabilitas regional selama berabad-abad, mengintegrasikan berbagai kelompok etnis dan agama di bawah satu sistem kekhalifahan. Namun, perilaku politik para penguasa yang cenderung otoriter dan represif menjelang akhir abad ke-19 memicu kritik internal yang tajam, menempatkan Dinasti Ottoman di ambang kehancuran moral dan politik.

Titik balik utama menuju keruntuhan terjadi ketika intervensi kekuatan Baratdidorong oleh superioritas militer, ekonomi, dan intelektual merekasemakin intensif. Intervensi ini melemahkan otonomi Ottoman secara progresif hingga akhirnya Kekaisaran tersebut membuat keputusan fatal dengan berpihak pada Blok Sentral dalam Perang Dunia I. Kekalahan total dalam perang besar ini secara definitif mengakhiri kekuasaan Ottoman di Timur Tengah, memicu pembagian wilayah secara paksa, dan memungkasi eksistensi dinasti yang telah berkuasa selama enam abad.

Pasca-kekalahan, peta geopolitik Timur Tengah dirombak total melalui serangkaian perjanjian rahasia dan formal. Rencana pembagian awal, seperti Perjanjian Sykes-Picot, diselesaikan dan dilegalkan melalui Konferensi San Remo pada tahun 1920, yang menghasilkan Sistem Mandat di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa. Sistem ini secara resmi membagi wilayah Ottoman menjadi enam entitas politik baruTurki, Syria, Lebanon, Palestina, Iraq, dan Trans-Yordania dengan Inggris mendapatkan mandat atas Palestina dan Irak, sementara Prancis mengamankan mandat atas Syria dan Lebanon. Pembagian yang didasarkan pada kepentingan kolonial ini secara langsung menciptakan defisit demokrasi di wilayah tersebut, karena menghambat perkembangan politik yang independen dan partisipasi politik lokal.

Di tengah skema pembagian tersebut, lahirlah sebuah deklarasi yang menjadi penentu alur konflik abadi di kawasan, yak namanya adalah Deklarasi Balfour pada tahun 1917. Deklarasi yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour sesudah inggris mengambil alih Timur tengah dan deklarasi tersebut menjanjikan dukungan untuk pendirian "rumah nasional bagi kaum Yahudi" (a national home for the Jews) di Palestina. Janji ini secara inheren bertentangan dengan janji-janji kemerdekaan yang sebelumnya diberikan Inggris kepada para pemimpin Arab (seperti Sharif Husayn) sebagai imbalan atas pemberontakan mereka melawan Ottoman. Kontradiksi janji inilah yang menjadi sumbu utama ketidakpercayaan dan sumber perpecahan regional di masa depan.

Realisasi Deklarasi Balfour tercapai pada tahun 1948 dengan proklamasi pendirian Negara Israel. Peristiwa ini disambut dengan penolakan keras dan segera oleh negara-negara Arab yang baru merdeka di sekitarnya, yang langsung melancarkan Perang Arab-Israel. Kekalahan Arab dalam perang ini, yang dikenal oleh bangsa Palestina sebagai Nakba (Malapetaka), menghasilkan pengambilalihan wilayah yang lebih luas oleh Israel dan pengungsian ratusan ribu warga Palestina, menciptakan masalah pengungsi yang tak terpecahkan hingga kini. Konsepsi awal negara-negara Arab adalah penolakan total terhadap eksistensi Israel.

Konsepsi penolakan total ini diperkuat pasca-kekalahan telak Arab dalam Perang Enam Hari 1967, yang menyebabkan Israel menduduki wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah lainnya. Sebagai respons, Liga Arab mengadopsi prinsip yang dikenal sebagai Tiga "Tidak" (The Three No's) di Khartoum. Yaitu tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan terhadap Israel, dan tidak ada negosiasi dengan Israel. Konsep ini mencerminkan konsensus Arab yang dominan selama beberapa dekade, menekankan bahwa penyelesaian konflik hanya dapat dicapai melalui penghapusan hasil invasi dan pendudukan Israel, menempatkan perjuangan Palestina sebagai isu sentral di dunia Arab.

Selain konflik Israel-Palestina, dinamika pasca-Ottoman juga membentuk sistem negara teritorial (territorial states) dengan identitas Arab inti tetapi terbagi oleh batas-batas kolonial buatan. Negara-negara baru ini, yang diwarisi dari sistem Mandat, seringkali berjuang dengan masalah internal seperti otoritarianisme, kurangnya legitimasi politik, dan kerapuhan identitas nasional yang berlawanan dengan identitas etnis atau keagamaan yang lebih kuat. Konflik internal ini diperparah oleh intervensi eksternal yang berkelanjutan. Sepanjang Perang Dingin, misalnya, Timur Tengah menjadi fokus krisis global, di mana kekuatan besar menggunakan kawasan ini sebagai medan pertempuran proksi, yang semakin menenggelamkan aspirasi demokrasi lokal dan mempertahankan fokus pada paradigma realisme (anarki, konflik, dan perebutan kekuasaan) di panggung internasional.

Dinamika kawasan ini terus diperumit oleh kehadiran negara-negara non-Arab di pinggiran (periphery) seperti Turki dan Iran, yang sangat terlibat dalam konflik dan dinamika kekuasaan di kawasan Arab. Hingga saat ini, Timur Tengah terus bergulat dengan warisan sejarahnya; upaya menyeimbangkan identitas tradisional dengan tuntutan negara modern, serta menghadapi munculnya kelompok ekstremis dan fragmentasi politik sebagai konsekuensi tak terduga dari perubahan mendalam ini.

Meskipun demikian, dinamika geopolitik mulai bergeser seiring waktu, yang menunjukkan adanya retakan dalam konsep penolakan total. Mesir dan Yordania memimpin dengan penandatanganan perjanjian damai bilateral pada tahun 1979 dan 1994. Konsep perdamaian yang lebih luas kemudian diusulkan melalui Inisiatif Perdamaian Arab (2002), yang menawarkan normalisasi hubungan penuh dengan Israel dengan imbalan penarikan diri penuh Israel dari wilayah pendudukan 1967mengadopsi konsep Land for Peace. Perkembangan ini, ditambah dengan normalisasi belakangan ini melalui Abraham Accords, mengindikasikan bahwa meski penolakan terhadap pendudukan masih kuat, pendekatan untuk menyelesaikan konflikyang berakar pada warisan Ottoman dan intervensi Eropaterus berevolusi dalam arsitektur politik Timur Tengah kontemporer.


Comments