2 hours ago
Wacana tentang ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan telah menjadi jargon utama dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya isu pengelolaan sampah. Pemerintah, industri, hingga masyarakat seakan berlomba dan terus berpacu menunjukkan kepedulian terhadap keberlanjutan lingkungan melalui kampanye daur ulang, teknologi waste to energy, dan gaya hidup hijau.
Namun di balik semangat itu, terselip paradoks besar, yakni volume sampah yang terus meningkat, timbulan sampah di TPA makin menggunung, dan ketimpangan sosial justru melebar.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2024) menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan lebih dari 19 juta ton sampah per tahun, 40% penyumbang sampah berasal dari rumah tangga. Dari total itu, hanya sekitar 65% yang bisa tertangani, sementara sisanya berakhir di TPA, sungai atau laut.
Di sisi lain, industri hijau tumbuh pesat, seperti bisnis daur ulang sampah plastik, energi biomassa, dan pengolahan limbah menjadi bahan bakar, yang kini diklaim sebagai solusi keberlanjutan.
Namun, seberapa jauh transformasi hijau ini benar-benar mengubah sistem pengelolaan sampah kita? Apakah kapitalisme hijau yang menjadi dasar kebijakan dan program lingkungan saat ini betul-betul menyelamatkan bumi atau justru melahirkan wajah baru dari pola lama eksploitasi sumber daya?
Banyak gagasan berlabel ramah lingkungan sejatinya masih beroperasi dalam logika pasar yang menempatkan sampah sebagai komoditas, bukan persoalan sosial ekologis yang harus diatasi dari hulu. Alih-alih mengurangi produksi limbah, berbagai inovasi hijau sering kali justru memperkuat pola konsumsi massal yang menghasilkan lebih banyak sampah. Di titik ini, muncul pertanyaan kritis: Apakah kita sedang memulihkan bumi atau hanya sekadar menata ulang cara lama agar tampak lebih bersih di permukaan?
Konsep kapitalisme hijau berangkat dari pandangan bahwa pasar dan inovasi teknologi mampu memperbaiki kerusakan lingkungan. Dalam teori ecological modernization (Mol & Spaargaren, 2000), modernitas dianggap tidak bertentangan dengan ekologi; industri dapat tetap tumbuh sembari memperbaiki dampak lingkungannya melalui efisiensi, teknologi bersih dan ekonomi sirkular.
Namun, kritik dari para pemikir eco-Marxist seperti James O’Connor dan John Bellamy Foster menilai gagasan tersebut sebagai sebuah ilusi. Menurut mereka, sistem kapitalisme memiliki kontradiksi ekologis yang melekat, yakni dengan ekonomi yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam, demi keuntungan, tidak akan pernah benar-benar berkelanjutan.
Dalam pandangan ini, kapitalisme hijau hanyalah strategi untuk mempertahankan sistem lama agar tampak modern dan ramah lingkungan. Label maupun tagline hijau digunakan untuk menenangkan kesadaran publik, sementara praktik produksinya tetap bergantung pada konsumsi berlebihan dan perusakan ekosistem.
Akibatnya, transformasi yang disebut berkelanjutan itu sering kali hanya bersifat kosmetik, sekadar memperindah wajah lama kapitalisme tanpa mengubah logika dasarnya yang justru menjadi sumber utama krisis lingkungan global.
Paradoks ini nyata dalam praktik pengelolaan sampah di Indonesia. Proyek waste to energy (pembangkit listrik tenaga sampah), misalnya, digadang sebagai inovasi ramah lingkungan. Namun, di lapangan banyak proyek mengalami kegagalan teknis, pembengkakan biaya, hingga menimbulkan risiko emisi dioksin beracun. Lebih dari itu, sistem ini justru membutuhkan suplai sampah besar agar mesin tetap beroperasi, yang artinya semakin banyak sampah, semakin besar keuntungan.
Begitu pula industri daur ulang plastik yang sering dijadikan simbol ekonomi hijau. Kampanye 100% recycled menciptakan citra positif, padahal kenyataannya hanya sebagian kecil plastik yang benar-benar bisa didaur ulang karena keterbatasan teknologi dan pasar. Sisa daur ulang justru tetap berakhir di TPA atau mencemari sungai. Dalam konteks ini, daur ulang berubah dari praktik ekologis menjadi alat pemasaran.
Sampah kemudian tidak lagi dipandang sebagai simbol krisis, tetapi dipandang sebagai sumber nilai ekonomi baru. Kapitalisme hijau berhasil mengubah limbah menjadi komoditas, tanpa menyentuh akar masalah, budaya konsumsi berlebihan, dan sistem produksi yang boros sumber daya. Dengan demikian, keberlanjutan yang dibangun bukanlah keberlanjutan ekologis, melainkan keberlanjutan keuntungan.
Dimensi sosial dari pengelolaan sampah kerap terabaikan dalam narasi ekonomi hijau. Di balik kemasan modern dan teknologi canggih, sektor ini sesungguhnya masih ditopang oleh kerja jutaan orang di lapisan bawah.
Data BPS dan World Bank (2023) mencatat sekitar 3 juta pekerja informal di sektor persampahan, mulai dari pemulung, pengepul, hingga operator lapangan. Mereka berperan penting mengurangi sampah hingga 30%, tetapi tetap hidup dalam kerentanan sosial dan ekonomi.
Ironisnya, ketika ekonomi sirkular berkembang, nilai tambah terbesar justru dinikmati oleh korporasi besar. Merek-merek multinasional menggunakan program daur ulang sebagai strategi reputasi (green branding), sedangkan pekerja lapangan tetap berjuang dengan pendapatan minim tanpa perlindungan. Ini menunjukkan bahwa ekonomi hijau belum otomatis berarti keadilan ekologis.
Keadilan ekologis menuntut pemerataan manfaat dan tanggung jawab lingkungan. Masyarakat pinggiran—yang selama ini menjadi lokasi TPA, incinerator, atau tempat penimbunan limbah—kerap menanggung beban ekologis dari kenyamanan kota. Padahal, mereka juga memiliki hak atas udara bersih, tanah sehat, dan air yang layak.
Untuk keluar dari paradoks ini, Indonesia perlu mengubah paradigma pengelolaan sampah dari sekadar teknologis menjadi sosio ekologis. Pemerintah daerah harus memperkuat tata kelola berbasis partisipasi masyarakat, bukan hanya memindahkan tanggung jawab ke pihak swasta atau proyek berlabel hijau. Pengakuan terhadap peran masyarakat, koperasi lingkungan, dan bank sampah perlu menjadi bagian inti kebijakan, bukan sekadar program pelengkap.
Selain itu, perubahan gaya hidup masyarakat juga harus diarahkan dari konsumsi hijau menuju produksi sadar. Artinya, tidak cukup membeli produk ramah lingkungan, tetapi perlu mengubah cara berpikir tentang kepemilikan, penggunaan dan pembuangan. Mengurangi di sumbernya (reduce) lebih penting daripada sekadar mendaur ulang (recycle).
Pada akhirnya, keberlanjutan tidak bisa diukur dari berapa banyak sampah yang diubah menjadi energi atau produk baru, tetapi dari seberapa besar kita mengubah cara hidup dan pola produksi yang melahirkan sampah itu sendiri. Kita mungkin berhasil menjadikan sampah sebagai sumber energi, tetapi selama keserakahan masih menjadi bahan bakarnya, bumi tak akan pernah sungguh bersih.