a day ago
Tekanan pertama yang dihadapi guru datang dari ekspektasi orang tua siswa. Dalam kehidupan modern yang serba sibuk, tidak sedikit orang tua yang abai terhadap peran mereka dalam mendidik anak di rumah.
Tanggung jawab moral dan emosional yang seharusnya dibagi antara keluarga dan sekolah justru dibebankan sepenuhnya kepada guru. Banyak orang tua menuntut guru untuk mendidik anak mereka menjadi pribadi yang sopan, pintar, dan berkarakter, tanpa berusaha menciptakan lingkungan yang mendukung di rumah.
Ketika anak menunjukkan perilaku negatif di sekolah, guru sering kali menjadi pihak pertama yang disalahkan. Mereka dianggap gagal mendidik, tanpa mempertimbangkan latar belakang anak, pengaruh lingkungan luar, atau kurangnya pendampingan dari rumah.
Dalam kondisi ini, guru seolah dituntut menjadi "dewa pendidikan" yang mampu menyulap karakter anak hanya dalam waktu beberapa jam pelajaran di kelas. Padahal, membentuk karakter memerlukan sinergi yang kuat antara keluarga dan sekolah, serta proses panjang yang berkelanjutan.
Tak hanya dari orang tua, tekanan berat juga datang dari pihak sekolah itu sendiri. Guru dibebani berbagai pekerjaan administratif yang sangat menyita waktu dan energi, mulai dari menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), mengisi e-rapor, hingga laporan evaluasi dan dokumentasi yang jumlahnya tidak sedikit.
Beban ini sering kali tidak sebanding dengan waktu mengajar yang sebenarnya, dan mengurangi fokus guru dalam mempersiapkan materi ajar maupun berinteraksi dengan siswa secara lebih mendalam. Pihak manajemen sekolah, seringkali hanya menilai kinerja guru berdasarkan hasil akademik siswa atau kelengkapan administrasi, tanpa menyadari kerja keras dan tantangan kompleks yang harus dihadapi di kelas.
Dalam kondisi seperti ini, guru mudah dijadikan kambing hitam ketika siswa gagal mencapai target nilai atau mengalami kendala dalam proses belajar. Tidak jarang guru menerima teguran atau bahkan sanksi tanpa terlebih dahulu dilakukan evaluasi yang adil dan objektif.
Masalah yang tak kalah krusial adalah persoalan kesejahteraan. Gaji guru, terutama guru honorer, masih berada jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak. Di berbagai daerah, guru honorer bahkan menerima upah di bawah upah minimum regional (UMR), yang tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, tempat tinggal, dan pendidikan anak.
Demi bertahan hidup, banyak guru terpaksa mencari pekerjaan tambahan, seperti menjadi ojek online, berdagang kecil-kecilan, atau mengajar di dua sampai tiga sekolah sekaligus. Ironisnya, banyak sekolah melarang guru untuk mengambil pekerjaan lain di luar jam mengajar, dengan alasan loyalitas dan kedisiplinan.
Guru dituntut untuk selalu hadir penuh waktu di sekolah, tetapi tidak diberikan dukungan finansial yang memadai. Dilema ini memaksa guru untuk memilih antara idealisme dalam mengabdi dan kenyataan ekonomi yang mendesak.
Di sisi lain, situasi internal di sekolah pun tidak selalu kondusif. Intrik, politik jabatan, dan konflik kepentingan sering kali muncul di antara sesama guru atau antara guru dan pihak manajemen sekolah. Ada oknum-oknum yang menjadikan persaingan sebagai ajang untuk menjatuhkan satu sama lain, bahkan hingga pada tindakan tidak etis seperti fitnah atau manipulasi data.
Dalam beberapa kasus, guru yang dianggap “bermasalah” atau tidak disukai oleh pihak tertentu dapat dikeluarkan dari sekolah tanpa proses yang adil. Tidak adanya sistem perlindungan yang kuat bagi guru membuka celah bagi praktik-praktik tidak sehat ini. Hal ini tentu sangat memengaruhi psikologis guru, mengikis motivasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah dalam hal memahami karakter peserta didik. Setiap anak memiliki latar belakang, kebutuhan, dan potensi yang berbeda. Ada yang aktif, ada yang pendiam, ada pula yang memiliki hambatan belajar atau masalah perilaku.
Namun, sayangnya tidak semua pihak di sekolah memahami bahwa kenakalan anak adalah hal yang wajar dalam proses tumbuh kembang mereka. Anak-anak yang dinilai nakal sering kali langsung diberi label negatif, yang kemudian berdampak pada perlakuan guru dan pihak sekolah terhadapnya.
Bahkan ada guru yang meyakini bahwa anak nakal tidak bisa berubah, sebuah pandangan yang keliru dan bertentangan dengan prinsip pendidikan itu sendiri. Padahal, perubahan sikap anak sangat mungkin terjadi ketika mereka mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan bimbingan yang konsisten dari lingkungan sekitarnya, termasuk dari guru itu sendiri.
Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat, lembaga pendidikan, dan pemerintah membuka mata dan telinga terhadap realitas yang dihadapi para guru. Kita tidak bisa terus-menerus membebani mereka dengan tuntutan yang tidak realistis tanpa memberikan dukungan yang memadai.
Pemerintah perlu mengambil langkah konkret dalam memperbaiki sistem pendidikan, termasuk dengan menyederhanakan administrasi guru, memperbaiki sistem evaluasi kinerja, serta meningkatkan kesejahteraan guru baik secara finansial maupun perlindungan hukum. Guru bukan hanya perlu dihormati dalam ucapan, tetapi juga dalam kebijakan dan tindakan nyata. Menyediakan fasilitas yang layak, pelatihan berkala, jaminan kesehatan, dan pengakuan atas kerja keras mereka adalah bentuk penghargaan yang sesungguhnya.
Pendidikan adalah fondasi utama kemajuan bangsa, dan guru adalah penjaga utama fondasi tersebut. Jika bangsa ini sungguh-sungguh ingin mencetak generasi unggul dan berkarakter, maka menghormati, melindungi, dan menyejahterakan guru adalah langkah pertama yang tidak bisa ditawar.
Jangan sampai mereka yang mengabdi dengan tulus justru menjadi korban dari sistem yang tidak adil. Negeri ini tidak akan bisa maju tanpa guru, dan guru tidak akan bisa maksimal tanpa dukungan dari negeri yang mereka cintai.