Perempuan Kian Tersisih di Kabinet

6 hours ago

Ilustrasi: Dokumentasi Pribadi

Reshuffle kabinet terbaru meninggalkan jejak politik yang lebih dalam dari sekadar bongkar pasang kursi. Pergantian Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan tidak hanya mengubah arah teknokrasi fiskal Indonesia, tetapi juga mengirimkan pesan kuat: representasi perempuan di lingkar kekuasaan semakin mengecil.

Sri Mulyani bukan sekadar menteri. Ia adalah figur perempuan dengan reputasi global: pernah menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, masuk daftar perempuan paling berpengaruh dunia versi Forbes, dan terbukti tangguh menjaga stabilitas fiskal di tengah pandemi. Kehilangan sosok dirinya dari kabinet sama dengan kehilangan simbol kepemimpinan perempuan yang kuat, konsisten, dan diakui dunia.

Representasi yang Menyusut

Keterwakilan perempuan di kabinet Indonesia selalu naik turun. Era Gus Dur mencatat 6 perempuan, Megawati 2, SBY 4-5, sementara Jokowi pada periode pertama sempat mencetak rekor dengan 8 perempuan (sekitar 23% dari total menteri). Namun, angka itu turun drastis menjadi lima pada periode kedua dan kini setelah reshuffle, hanya sekitar 15%.

Artinya, hampir separuh populasi perempuan Indonesia kini hanya terwakili dalam jumlah yang sedikit di ruang pengambilan keputusan strategis. Demokrasi yang sehat seharusnya menuntut representasi lebih seimbang, bukan justru kemunduran.

Mengapa Kehadiran Perempuan Penting?

Teori kepemimpinan perempuan menegaskan bahwa perempuan membawa gaya berbeda dalam memimpin. Konsep transformational leadership menunjukkan mereka lebih kolaboratif, visioner, dan komunikatif. Ethics of care menekankan bagaimana perspektif kepedulian yang kuat sering memengaruhi kebijakan sosial, kesehatan, hingga perlindungan kelompok rentan.

Ketika perempuan hadir, kebijakan sering lebih inklusif. Sri Mulyani memberi contoh lewat reformasi pajak dan keberaniannya menjaga APBN tetap stabil. Retno Marsudi konsisten menegakkan diplomasi Indonesia dalam isu Palestina dan Myanmar. Susi Pudjiastuti berani merombak paradigma maritim dengan kebijakan “tenggelamkan kapal.” Tiga hal tersebut merupakan bukti konkret bahwa ketika perempuan diberi ruang, arah kebijakan dapat lebih progresif dan berani.

Sebaliknya, tanpa kehadiran perempuan, risiko yang muncul adalah kebijakan publik menjadi kurang peka terhadap isu keseharian masyarakat—kesehatan ibu-anak, perlindungan pekerja migran perempuan, dan ekonomi keluarga.

Menteri Keuangan Indonesia yang akan keluar Sri Mulyani Indrawati melambai kepada wartawan usai upacara serah terima jabatan di Kementerian Keuangan di Jakarta, Selasa (9/9/2025). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

Belajar dari Negara Lain

Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia justru terlihat mundur. Filipina sudah dua kali dipimpin presiden perempuan di masa sulit. Singapura konsisten memperkuat posisi perempuan di bidang kesehatan dan pembangunan sosial. Malaysia, meski belum ideal, mulai memperluas keterlibatan perempuan di kementerian strategis.

Indonesia pernah mencatatkan diri sebagai negara dengan jumlah menteri perempuan terbanyak di Asia Tenggara pada 2014. Namun kini, kita justru melangkah mundur.

Dari Simbol ke Substansi

Sering kali, kehadiran perempuan di kabinet dianggap hanya sebagai simbol belaka. Namun, pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa mereka mampu membawa substansi nyata. Kehadiran Sri Mulyani bukan hanya “angka”, tetapi juga "arah kebijakan". Retno Marsudi bukan sekadar representasi, melainkan juga wajah diplomasi global.

Berkurangnya jumlah perempuan hari ini menjadi alarm demokrasi. Bukan sekadar hilangnya simbol, tetapi hilangnya perspektif substantif yang krusial untuk keberlanjutan kebijakan nasional.

Catatan Akhir

Reshuffle kabinet kali ini memperlihatkan satu wajah yang jelas: ruang perempuan di lingkar kekuasaan semakin menyempit. Kehilangan Sri Mulyani adalah kehilangan besar, bukan hanya bagi dunia politik, tetapi juga bagi substansi kepemimpinan bangsa.

Demokrasi yang sehat membutuhkan keberagaman perspektif. Dan tanpa perempuan di kursi strategis, Indonesia sedang berjalan pincang—kehilangan setengah akal sehat, empati, dan nurani yang mestinya hadir di ruang pengambilan keputusan.


Comments