8 hours ago
Ketika Presiden Prabowo Subianto mulai meluncurkan program unggulannya, Makan Bergizi Gratis (MBG), publik terbelah antara optimisme dan keraguan.
Di satu sisi, program ini dianggap sebagai langkah progresif untuk mengatasi stunting dan ketimpangan gizi nasional. Namun di sisi lain, muncul kritik bahwa kebijakan sebesar ini tidak ditopang oleh perencanaan teknokratik yang matang.
Dalam konteks inilah muncul gejala apa yang dapat disebut sebagai post-teknokratik state—yakni kondisi ketika keputusan politik lebih ditentukan oleh kalkulasi populis dan simbolik dibandingkan oleh rasionalitas kebijakan berbasis bukti.
Selama dua dekade terakhir, Indonesia dikenal memiliki tradisi teknokratik yang kuat, terutama di bidang ekonomi dan perencanaan pembangunan. Kementerian Keuangan, Bappenas, dan lembaga-lembaga pengendali fiskal menjadi penopang rasionalitas kebijakan negara.
Namun, masa pemerintahan Prabowo memperlihatkan perubahan pola. Alih-alih mengandalkan teknokrat dan proses deliberatif yang panjang, kebijakan kini lebih banyak dibentuk melalui narasi politik yang cepat dan mudah dicerna publik.
Program MBG menjadi representasi konkret pergeseran ini. Peluncurannya terjadi dengan tempo tinggi, anggaran besar, dan jangkauan nasional, tetapi perencanaan teknisnya tampak tidak sepenuhnya matang.
Kasus keracunan makanan di beberapa daerah, kesulitan logistik, dan ketimpangan standar pelaksanaan menunjukkan lemahnya desain kebijakan di lapangan. Dalam situasi seperti ini, kecepatan dan simbol politik—bukan kehati-hatian teknis—menjadi prioritas utama.
Kebijakan populis tidak selalu buruk, tetapi memiliki kecenderungan mengabaikan proses teknokratik yang berbasis data dan evaluasi.
Dalam kerangka post-teknokratik state, politik tidak lagi berupaya mencari justifikasi ilmiah atas kebijakan, tetapi justifikasi moral dan emosional. Pemerintah tampil sebagai “penyelamat rakyat kecil” yang memberikan solusi instan, meski implementasinya masih belum siap.
Fenomena ini memperlihatkan transformasi fungsi negara: dari policy-making institution menjadi performance state. Negara tidak lagi diukur dari keberhasilan perencanaan jangka panjang, tetapi dari seberapa cepat mampu menunjukkan aksi nyata di depan publik.
Dalam konteks MBG, pembagian makanan menjadi simbol konkret kehadiran negara, meskipun efektivitasnya belum sepenuhnya terbukti.
Ada setidaknya tiga alasan utama mengapa peran teknokrat tampak berkurang di era Prabowo. Pertama, tuntutan legitimasi politik yang tinggi mendorong pemerintah mengambil langkah cepat untuk menunjukkan keberhasilan. Kedua, loyalitas politik dianggap lebih penting daripada kompetensi teknis dalam penyusunan kebijakan. Ketiga, gaya kepemimpinan yang sentralistik membuat proses konsultasi dan uji kebijakan menjadi lebih terbatas.
Padahal, teknokrat memiliki fungsi strategis sebagai “penjaga rasionalitas” negara—mereka yang memastikan bahwa setiap keputusan politik dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan administratif. Ketika suara mereka tidak lagi menjadi rujukan utama, kebijakan publik berisiko menjadi reaktif dan rentan gagal dalam implementasi.
Kritik terhadap post-teknokratik state bukan berarti menolak politik populis sepenuhnya. Sebaliknya, tantangan terbesar bagi pemerintahan Prabowo adalah menemukan sintesis baru antara legitimasi politik dan rasionalitas kebijakan—sebuah model populisme rasional.
Dalam model ini, kebijakan tetap berorientasi pada kebutuhan rakyat luas, tetapi dirumuskan berdasarkan perhitungan ilmiah dan data empiris.
Untuk itu, pemerintah perlu membuka kembali ruang bagi para teknokrat—ahli gizi, perencana logistik, ekonom, dan ilmuwan sosial—agar mereka terlibat bukan hanya sebagai pelaksana, melainkan juga sebagai perancang kebijakan.
Program sebesar MBG membutuhkan koordinasi lintas-disiplin, pengawasan berbasis data, serta keberanian untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan.
Era post-teknokratik state menandai babak baru politik Indonesia—di mana rasionalitas kebijakan diuji oleh dorongan populisme. Prabowo tampaknya memilih jalan cepat demi legitimasi, tetapi keberlanjutan keberhasilan pemerintahannya akan ditentukan oleh kemampuannya menyeimbangkan politik dan rasionalitas.
Teknokratisme, dalam arti idealnya, adalah praktik pengambilan kebijakan berbasis pada keahlian, bukti ilmiah, dan rasionalitas institusional. Akar pemikiran ini berasal sejak Plato, yang di The Republic memimpikan negara dipimpin para filsuf-raja, mereka dengan pengetahuan mendalam dan kebijaksanaan moral untuk memerintah secara adil (Nugroho, 2025).
Gagasan ini lalu dikembangkan Max Weber dalam rational-legal authority (1921) di mana birokrasi modern seharusnya dibangun atas dasar keahlian serta aturan impersonal dan hierarki profesional, bukan hanya warisan atau karisma.
Di abad ke-20, teknokratisme tampil menonjol dalam model pembangunan berbagai negara. Di AS, New Deal di bawah FD Roosevelt melibatkan para ahli untuk merancang kebijakan menghadapi Great Depression. Di Prancis pasca-Perang Dunia II, elite administratif—seperti lulusan École Nationale d'Administration, memimpin perencanaan ekonomi (Kompas, 2025).
Di era Reformasi pasca-1998, teknokratisme mulai diintegrasikan dalam kerangka demokrasi. Dari Boediono hingga Sri Mulyani, para teknokrat memimpin kebijakan fiskal dan perencanaan pembangunan dengan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan. K/L—seperti Bappenas, Kemenkeu, dan LIPI—memainkan peran penting menyusun berbagai rencana pembangunan dan menerjemahkan visi politik menjadi kerangka kebijakan dan prioritas nasional pemerintah.
Kini, pada pemerintahan Prabowo, kekhawatiran itu mencapai titik nadir. Gaya kepemimpinan Prabowo yang sentralistik dan militeristik membawa kecenderungan: konsentrasi kekuasaan pada figur Presiden dan melemahnya proses deliberatif dalam penyusunan kebijakan. Program populis—misalnya seperti MBG dan tiga juta rumah gratis—berjalan tanpa kajian teknokratis mendalam, lebih didorong logika elektoral ketimbang kerangka fiskal dan logistik yang solid.
Jelas, ini bukan sekadar pergeseran gaya kepemimpinan, melainkan indikasi melemahnya institusi teknokratis penopang kebijakan pembangunan selama ini. Ketika teknokrat hanya menjadi pelaksana teknis dan bukan perancang kebijakan strategis, yang hilang adalah visi jangka panjang dan kohesivitas sistemik dalam pembangunan nasional.
Jika kebijakan dibiarkan digerakkan intuisi politik semata tanpa koreksi dari pengetahuan, bukti, dan data, yang lahir bukan pemerintahan kuat, melainkan pemerintahan rapuh yang mudah digoyang krisis. Tanpa perencanaan jangka panjang, negara akan selalu reaktif; tanpa data dan evaluasi, kebijakan akan kehilangan arah; tanpa suara ahli, pembangunan akan kehilangan substansi.
Jika teknokrat kembali diberi ruang dan kebijakan publik diarahkan berdasarkan ilmu, populisme bisa berubah dari sekadar retorika menjadi kekuatan pembangunan yang nyata.
Sebaliknya, jika rasionalitas terus dikorbankan atas nama popularitas, negara berisiko kehilangan arah kebijakannya sendiri.