4 days ago
Satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menempatkan Indonesia di titik krusial dalam kebijakan energi nasional. Pemerintah menggaungkan ambisi besar: kedaulatan energi, percepatan transisi menuju sumber terbarukan, dan janji listrik bersih 100% dalam satu dekade. Namun, dibalik retorika yang kuat, data dan fakta menunjukkan bahwa arah kebijakan masih berkisar antara modernisasi sistem energi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Kementerian ESDM melaporkan bahwa hingga semester pertama 2025, kapasitas pembangkit listrik nasional telah mencapai 105 gigawatt naik sekitar 4,4 GW dari tahun sebelumnya. Namun, peningkatan ini sebagian besar masih ditopang oleh PLTU batu bara dan PLTG berbasis gas. Dengan demikian, perluasan kapasitas yang belum otomatis menandakan percepatan dekarbonisasi, melainkan hanya memperkuat infrastruktur energi konvensional.
Antara Janji Terbarukan dan Kenyataan Politik
Salah satu janji utama Prabowo–Gibran adalah peralihan menuju energi terbarukan sepenuhnya dalam 10 tahun. Janji ini mendapat apresiasi dari masyarakat dan investor atas langkah progresifnya. Namun sejumlah revisi kebijakan menunjukkan arah yang kurang konsisten. Dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), pemerintah tetap membuka ruang bagi perpanjangan umur PLTU dan menempatkan gas serta energi nuklir sebagai bagian dari “transisi”.
Menurut analis energi dari IESR, hal ini menimbulkan keracuan antara transisi energi dan diversifikasi energi. Jika gas dan CCS (penangkapan dan penyimpanan karbon) terus diandalkan, maka Indonesia berisiko memperpanjang masa hidup industri fosil dengan wajah baru yang disebut “transisi semu”. Padahal, berdasarkan laporan Climate Transparency 2025 , emisi sektor energi Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Kebijakan Keuangan dan Dilema Investasi
Dari sisi pembiayaan, Kementerian Keuangan telah memperkenalkan skema jaminan negara untuk proyek energi terbarukan dan panas bumi. Kebijakan ini diharapkan menurunkan risiko investasi dan menarik modal swasta. Namun, sejumlah pengamat mengingatkan bahwa transparansi menjadi faktor penentu. Jika skema ini tidak disertai seleksi ketat, ia justru berpotensi menjadi subsidi terselubung bagi korporasi besar yang tetap beroperasi di sektor batubara atau gas.
Para ekonom energi menilai, instrumen fiskal semacam itu akan efektif hanya bila diarahkan untuk proyek yang memiliki dampak nyata terhadap pengurangan emisi dan membuka ruang bagi komunitas energi, seperti pembangkit listrik tenaga surya di desa-desa. Dengan kata lain, kebijakan keuangan publik harus berpihak pada energi rakyat, bukan energi korporasi.
Dinamika Politik, Tekanan Publik, dan Jalan ke Depan
Transisi energi di Indonesia tidak hanya soal teknologi, tetapi juga soal politik dan kepentingan ekonomi. Para ahli kebijakan menyatakan bahwa sistem energi Indonesia terjebak dalam “jalur ketergantungan” yakni kecenderungan mempertahankan struktur lama karena adanya jaringan kepentingan antara negara, BUMN, dan industri ekstraktif. Akibatnya, transformasi menuju energi bersih sering tertunda karena alasan keamanan pasokan dan stabilitas harga listrik.
Di sisi lain, tekanan masyarakat sipil semakin kuat. Berbagai organisasi lingkungan menuntut pembangunan PLTU baru dan percepatan investasi energi surya, angin, serta mikrohidro. Mereka menilai, solusi seperti CCS atau nuklir bukanlah jalan keluar cepat, melainkan strategi yang mahal dan berisiko. Transisi energi yang sejati, kata mereka, adalah yang berbasis keadilan sosial: menciptakan lapangan kerja hijau dan memperluas akses energi bersih di daerah terpencil.
Ke depan, empat langkah strategi yang mendesak untuk dilakukan: konsistensi kebijakan antara target dan pelaksanaan; penajaman arah pembiayaan masyarakat bagi energi bersih; jaminan transisi tenaga kerja di sektor PLTU agar tidak menimbulkan resistensi sosial; serta modernisasi jaringan listrik untuk menampung sumber energi terbarukan dalam skala besar.
Penutup: Antara Ambisi dan Realitas
Satu tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran menampilkan kontras antara ambisi besar dan kenyataan politik ekonomi. Ada kemajuan dalam kapasitas infrastruktur, tetapi belum terjadi perubahan besar dalam sumber energi. Jika tidak ada perubahan strategi yang tegas, Indonesia berisiko terjebak dalam “transisi setengah hati” di mana energi hijau dijadikan simbol, bukan solusi.
Lebih dari sekadar persoalan teknis, kebijakan energi adalah cermin dari arah ideologi pembangunan. Apakah negara hendak tetap menambatkan diri pada paradigma ekstraktif yang mengutamakan produksi dan ekspor bahan mentah atau berani membangun paradigma baru yang menempatkan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial sebagai fondasi? Pertanyaan ini menjadi krusial ketika dunia sedang bergerak menuju ekonomi hijau, dan ketika negara-negara tetangga mulai memperkuat posisi mereka dalam rantai pasok energi bersih.
Transisi energi seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai proyek teknologi, melainkan sebagai agenda moral dan politik. Ia menuntut keberanian pemerintah untuk menegosiasikan ulang hubungan antara negara, pasar, dan rakyat. Dalam konteks inilah, kepemimpinan Prabowo–Gibran diuji: apakah sanggup mengubah ambisi menjadi tindakan nyata, atau justru terjebak dalam retorika kemajuan yang hampa substansi.