Regenerasi Politik yang Terjebak Patronase

2 hours ago

Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, Tertangkap OTT KPK (Gambar ilustrasi AI)

Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, kembali mematahkan harapan publik bahwa regenerasi politik otomatis melahirkan kepemimpinan bersih. Di usia 32 tahun, Ade Kunang seharusnya menjadi simbol perubahan. Namun yang terjadi justru sebaliknya: korupsi kembali menemukan jalannya, bahkan melalui relasi paling intim, keluarga.

Keterlibatan sang ayah dalam pusaran kasus ini menegaskan satu persoalan mendasar dalam politik Indonesia: problem utama bukan kekurangan pemimpin muda, melainkan kuatnya patronase lama yang diwariskan lintas generasi. Pemimpin muda kerap hadir hanya sebagai wajah baru, sementara pola kekuasaan tetap sama.

Pemimpin Muda sebagai Produk Politik

Dalam banyak kontestasi elektoral, figur muda sering dijadikan “produk politik” yang dijual dengan kemasan perubahan. Usia, gaya berpakaian, dan cara berkomunikasi yang kekinian dipromosikan untuk menciptakan kesan pembaruan. Namun di balik itu, sering kali ada aktor lama, keluarga, pemodal, atau elite politik yang tetap memegang kendali.

Pemimpin muda akhirnya tampil berkuasa secara formal, tetapi tidak merdeka secara substantif. Jabatan publik bukan lagi amanat rakyat, melainkan bagian dari skema pengembalian modal dan balas jasa. Dalam kondisi seperti ini, keputusan politik cenderung ditentukan oleh loyalitas, bukan kepentingan publik.

Ketika Keluarga Menjadi Pusat Kekuasaan

Kasus Bekasi juga membuka praktik shadow government, pemerintahan bayangan yang bekerja di luar struktur formal negara. Jabatan resmi hanya berfungsi sebagai tameng legal, sementara pengaruh nyata dijalankan oleh orang-orang terdekat yang tidak memiliki mandat publik dan luput dari mekanisme akuntabilitas.

Lebih mengkhawatirkan lagi, korupsi dalam relasi ayah dan anak menunjukkan bahwa penyimpangan telah dinormalisasi. Keluarga, yang seharusnya menjadi ruang pertama pendidikan moral, justru berubah menjadi tempat legitimasi praktik korup. Korupsi tidak lagi dianggap sebagai aib, melainkan sebagai strategi bertahan dalam politik yang mahal dan transaksional.

Dilema Loyalitas yang Salah Arah

Ada dilema etis yang sering luput dibahas: jebakan loyalitas keluarga. Dalam budaya kita, berbakti kepada orang tua adalah nilai luhur. Namun bagi pejabat publik, kesetiaan kepada keluarga yang bertabrakan dengan kepentingan rakyat adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat demokrasi.

Seorang pemimpin publik dituntut berani mengambil jarak bahkan memutus ketergantungan politik dengan keluarganya sendiri. Tanpa keberanian ini, pemimpin muda hanya akan menjadi perpanjangan tangan patron lama, sekaligus medium regenerasi korupsi.

Regenerasi yang Gagal Berubah

Kasus ini mengajarkan bahwa regenerasi kepemimpinan tidak cukup diukur dari usia. Selama patronase keluarga, ketergantungan modal, dan loyalitas sempit masih menjadi fondasi kekuasaan, pemimpin muda akan terus bergerak dalam bayang-bayang masa lalu.

Korupsi tidak mengenal generasi. Ia hidup dari kompromi moral dan keberanian yang tidak pernah diambil. Pembaruan sejati hanya mungkin lahir dari pemimpin yang berani berdiri mandiri, meski harus berjarak dari keluarga dan jejaring terdekatnya sendiri.

Tanpa keberanian itu, politik hanya akan terus mengganti wajah, tanpa pernah mengganti watak.


Comments