Ship Management Indonesia: Regulasi yang Masih Berlayar di Lautan Abu-Abu

4 hours ago

Ilustrasi kapal Foto: Andri Saputra/ANTARA FOTO

Indonesia dikenal sebagai negara maritim terbesar di dunia. Namun di tengah geliat globalisasi pelayaran, regulasi nasional tentang ship management — pengelolaan kapal secara profesional — masih berada di zona abu-abu.

Di banyak negara maritim seperti Singapura, Norwegia, atau Hong Kong, ship management company diakui secara hukum sebagai entitas tersendiri: perusahaan yang bertanggung jawab atas pengoperasian, perawatan, dan pengelolaan kapal, baik teknis maupun komersial. Di Indonesia, posisi ini masih kabur.

Kerangka Hukum yang Belum Tegas

Secara normatif, payung hukum utama pelayaran adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang menyebut kegiatan pengusahaan kapal mencakup kepemilikan, pengoperasian, dan pelayanan angkutan di perairan. Namun, UU ini tidak mengatur secara eksplisit tentang “ship management company” sebagai entitas tersendiri.

Peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 jo. PP Nomor 22 Tahun 2011 tentang Angkutan di Perairan, serta berbagai Peraturan Menteri Perhubungan, masih menempatkan pengelola kapal dalam kategori agen pelayaran atau operator kapal.

Akibatnya, banyak perusahaan ship management beroperasi tanpa status hukum yang spesifik, menimbulkan ketidakpastian dalam tanggung jawab hukum, audit keselamatan, dan kontrak komersial.

Tanggung Jawab yang Timpang

Ketika kapal mengalami kecelakaan atau pelanggaran lingkungan, pertanyaan hukum yang muncul selalu sama: siapa yang harus bertanggung jawab? Pemilik kapal (ship owner) atau pengelola (ship manager)?

Dalam praktik internasional, kontrak seperti BIMCO SHIPMAN 2009 mengatur pembagian tanggung jawab secara rinci. Namun di Indonesia, karena belum ada regulasi khusus, liabilitas hukum manajer kapal tidak diakui secara eksplisit. Akibatnya, sengketa hukum di sektor ini sering kali tidak memiliki dasar interpretasi yang kuat, baik di pengadilan nasional maupun arbitrase maritim.

Implementasi Standar Internasional yang Setengah Hati

Indonesia telah mengadopsi berbagai konvensi internasional di bawah International Maritime Organization (IMO), seperti International Safety Management (ISM) Code, International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code, Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW), serta Maritime Labour Convention (MLC) 2006.

Namun, implementasi di lapangan kerap bersifat administratif. Sertifikat Document of Compliance (DOC) dan Safety Management Certificate (SMC) sering diperoleh hanya untuk memenuhi syarat audit, bukan hasil penerapan sistem manajemen keselamatan yang sesungguhnya. Kondisi ini menyebabkan kapal berbendera Indonesia masih sering mendapat temuan dari Port State Control (PSC) di luar negeri — mulai dari ketidaksesuaian dokumen hingga kekurangan kru terlatih.

SDM dan Struktur Pengawasan

Permasalahan lain yang krusial adalah koordinasi antarlembaga. Kementerian Perhubungan, Badan Klasifikasi Indonesia (BKI), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), hingga Kementerian Ketenagakerjaan, memiliki peran masing-masing dalam sertifikasi, audit, dan pelatihan pelaut.

Namun tanpa kerangka koordinasi yang tunggal, pengawasan menjadi tumpang tindih. Perusahaan ship management sulit memenuhi seluruh persyaratan karena tidak ada lembaga regulator khusus yang menjadi pusat kendali seperti Maritime and Port Authority of Singapore (MPA) di Singapura.

Daya Saing yang Tergerus

Negara-negara tetangga telah lebih dulu melangkah. Singapura, Malaysia, dan Filipina memiliki regulasi ship management yang jelas dan insentif fiskal bagi perusahaan berbasis maritim. Indonesia, meskipun memiliki potensi pasar dan SDM besar, justru tertinggal karena ketidakpastian hukum dan administrasi yang rumit.

Kondisi ini membuat banyak pelaku usaha memilih mendaftarkan kapal atau mendirikan entitas di luar negeri, demi mendapatkan pengakuan dan kredibilitas internasional. Akibatnya, nilai tambah ekonomi justru mengalir ke yurisdiksi lain.

Reformasi yang Mendesak

Agar Indonesia dapat bersaing sebagai pusat maritim modern, setidaknya ada empat langkah reformasi yang perlu dilakukan:

  1. Membentuk regulasi khusus tentang ship management, termasuk pengaturan izin, tanggung jawab hukum, dan mekanisme audit berbasis risiko.
  2. Membedakan secara tegas antara ship owner, operator, dan manager dalam kerangka hukum nasional.
  3. Memperkuat implementasi ISM, ISPS, dan MLC melalui audit substansial, bukan administratif.
  4. Memberikan insentif fiskal dan reputasi hukum bagi perusahaan ship management yang berbasis di Indonesia agar dapat bersaing di pasar Asia.

Dengan langkah tersebut, Indonesia tidak hanya menjadi negara pelaut, tetapi juga negara pengelola kapal yang diakui secara global.

Dalam dunia pelayaran, reputasi tidak dibangun oleh jumlah kapal, tetapi oleh kualitas manajemennya. Tanpa regulasi yang kuat, sistem keselamatan yang transparan, dan koordinasi yang terintegrasi, Indonesia berisiko terus berlayar tanpa arah.

Saatnya pemerintah melihat ship management bukan sekadar kegiatan teknis, melainkan pilar utama kedaulatan dan daya saing maritim nasional.


Comments