8 hours ago
Ketegasan tanpa kekerasan bukan hanya mungkin, tapi perlu. Wibawa guru dan sekolah tidak dibangun oleh amarah, melainkan oleh sistem yang adil dan dijalankan tanpa pandang bulu.
Belakangan ini, publik dihebohkan oleh berita seorang kepala sekolah yang menampar muridnya karena kedapatan merokok. Video itu viral, dan seperti biasa, perdebatan pun memanas: apakah tindakan itu bentuk pembinaan, ataukah kekerasan? Sebagian menilai kepala sekolah tersebut sedang menegakkan disiplin, sebagian lain menilai ia telah melampaui batas.
Peristiwa itu membuat saya teringat pada masa ketika saya memimpin sebuah sekolah swasta di Jakarta Pusat. Di sana, kami menerapkan kebijakan "Nol Toleransi terhadap Rokok", bukan sebagai jargon, tapi sebagai prinsip hidup seluruh warga sekolah. Bedanya, saya tidak pernah menampar siapa pun.
Bahkan ketika pelanggar adalah seorang pejabat dinas, yang merokok setelah rapat di aula sekolah kami, saya tetap menindak sesuai aturan: saya denda dua ratus lima puluh ribu rupiah.
Tidak ada amarah. Tidak ada bentakan. Tidak ada kekerasan. Hanya prosedur yang berjalan sebagaimana mestinya.
Saya percaya, sekolah bukan sekadar tempat belajar matematika atau bahasa, melainkan tempat menanamkan nilai dan integritas. Karena itu, sejak awal saya menetapkan satu prinsip tak tergoyahkan: Lingkungan Pendidikan Wajib Terbebas dari Rokok.
Kami membuat kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang disusun bersama guru, murid, dan orang tua. Semuanya ditandatangani dalam nota kesepahaman bermaterai, bukan hanya sebagai simbol administratif, tetapi sebagai janji moral bersama.
Aturannya sederhana dan adil untuk semua:
Saya tahu, aturan itu terdengar keras, apalagi bagi orang tua yang harus menanggung akibat dari perbuatannya sendiri. Tapi kami ingin semua pihak belajar bahwa tanggung jawab moral tidak bisa ditukar dengan permintaan maaf. Di sekolah, kejujuran dan konsistensi adalah pelajaran paling berharga.
Ketika ada pelanggaran, saya tidak marah, tidak menuduh, tidak berteriak. Saya hanya menunjukkan berkas kesepakatan yang sudah mereka tandatangani sendiri. Kami menegakkan aturan, bukan emosi.
Suatu hari, seorang pejabat dari dinas datang menghadiri rapat besar di aula sekolah kami. Seusai acara, ia terlihat merokok di taman dekat gerbang. Padahal di sana terpampang jelas rambu bertuliskan "Dilarang Merokok di Area Sekolah."
Saya mendekatinya dengan sopan, menjelaskan aturan, dan menyodorkan kotak denda. Ia menatap saya, terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Wow, sekolah ini benar-benar tegas," katanya sambil menyerahkan uang denda.
Itu momen sederhana, tapi sangat bermakna. Ia tidak marah, justru menghormati kami. Dan di situ saya belajar satu hal penting: integritas melahirkan wibawa, bukan sebaliknya.
Wibawa guru dan kepala sekolah tidak tumbuh dari suara keras atau tindakan kasar, melainkan dari konsistensi dan keadilan. Ketika aturan ditegakkan tanpa pandang bulu, rasa hormat datang dengan sendirinya, bahkan dari mereka yang berkedudukan lebih tinggi.
Kasus kepala sekolah yang menampar muridnya mencerminkan kegelisahan banyak pendidik hari ini. Banyak yang merasa kehilangan wibawa, seolah satu-satunya cara menegakkan disiplin adalah dengan kekerasan spontan. Padahal, mendidik tidak pernah identik dengan menyakiti.
Bagi saya, pendidikan sejati justru berdiri di atas tiga pilar sederhana:
1. Kesepakatan yang Jelas. Aturan dibuat dan disetujui bersama, agar setiap tindakan memiliki dasar moral dan hukum.
2. Konsistensi tanpa Kompromi. Tidak boleh ada perlakuan istimewa bagi siapa pun, bahkan pejabat sekalipun.
3. Konsekuensi yang Mendidik. Sanksi harus tegas, tetapi prosedural dan berorientasi pembelajaran, bukan pembalasan.
Dengan cara ini, kami berhasil menciptakan sekolah yang benar-benar terbebas dari rokok. Tidak ada guru, murid, orang tua, maupun tamu yang berani melanggar. Dan yang lebih penting, kami tidak pernah perlu mengangkat tangan kepada siapa pun.
Karena sesungguhnya, tamparan paling keras bukan berasal dari tangan, melainkan dari integritas yang dijalankan.
Menjadi kepala sekolah mengajarkan saya bahwa kasih dan ketegasan bukan dua hal yang berlawanan. Justru, ketegasan yang adil adalah bentuk kasih yang tertinggi; kasih yang tidak memanjakan, tetapi mendewasakan.
Kekerasan mungkin bisa menimbulkan ketakutan, tapi tidak pernah menumbuhkan kesadaran. Sedangkan ketegasan yang dijalankan dengan integritas akan menanamkan rasa hormat yang jauh lebih dalam.
Kini, ketika dunia pendidikan sering dirundung kasus kekerasan, kita perlu kembali ke akar: membangun sistem yang kuat, bukan sekadar reaksi emosional. Wibawa guru dan kepala sekolah tidak bisa dibeli dengan amarah. Ia tumbuh dari konsistensi, keadilan, dan keberanian untuk menegakkan prinsip.
Karena pada akhirnya, tugas kita bukan menampar murid agar patuh, tetapi menuntun mereka agar sadar.
Dan untuk itu, tangan kita tak perlu keras. Cukup hati dan integritas yang kuat.***