Upacara, Terik Panas, dan Warisan Feodalisme

2 hours ago

Suasana pelaksananan upacara bendera. (gambar: Shutterstock)

Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya-tanya saat mengikuti upacara bendera: Mengapa kita harus berbaris rapi di tengah lapangan yang panas, merasakan kaus kaki yang mulai basah oleh keringat, dan mendengarkan amanat yang panjang, sementara para guru, kepala sekolah, atau pejabat lainnya nyaman berdiri di panggung yang teduh? Pertanyaan sederhana ini ternyata membuka sebuah kotak pandora sejarah.

Ini bukanlah praktik yang baru diciptakan, melainkan sebuah "naskah" yang sudah ditulis sejak zaman kerajaan, disempurnakan di era kolonial, dan sayangnya, masih terus kita pentaskan hingga hari ini, tanpa sering kita sadari makna yang ada di baliknya.

Jauh sebelum bendera Merah Putih berkibar, kerajaan-kerajaan di Nusantara sudah memiliki tatanan sosial yang sangat bertingkat atau hierarkis. Menurut analisis antropolog ternama, Clifford Geertz, masyarakat Jawa misalnya, sangat membedakan status antara kaum bangsawan (priyayi) dan rakyat biasa (wong cilik). Pembedaan ini bukan hanya soal gelar, melainkan peresapan dalam filosofi hidup.

Menjadi seorang priyayi berarti menjadi pribadi yang halus (beradab dan terkendali), kontras dengan rakyat biasa yang dianggap kasar. Salah satu penanda visual paling jelas dari status ini adalah perlindungan dari elemen alam. Terkena sengatan matahari langsung—yang membuat kulit menjadi gelap—dianggap sebagai ciri kaum pekerja kasar di sawah.

Momen Presiden Jokowi duduk berdampingan dengan Prabowo saat upacara kemerdekaan 17 Agustus di IKN, Sabtu (17/8). Foto: Dok. Istimewa

Oleh karena itu, seorang raja atau bangsawan dianggap tidak pantas terpapar sinar matahari. Mereka selalu dilindungi payung kebesaran (payung agung). Seperti yang dijelaskan sejarawan Denys Lombard, payung ini bukan sekadar peneduh, melainkan simbol status, kemuliaan, dan bahkan koneksi dengan dunia ilahi.

Selain payung, simbol lain seperti diusung di atas jempana (tandu) atau duduk di singgasana yang lebih tinggi (dampar) juga menegaskan prinsip yang sama: penguasa harus terpisah dan terangkat dari tanah tempat rakyat jelata berpijak. Singkatnya, berteduh dan berada di posisi lebih tinggi adalah hak istimewa visual bagi penguasa.

Ketika Belanda datang, mereka adalah pengamat yang cerdik. Alih-alih menghapus tradisi feodal yang sudah mengakar kuat, mereka justru mengadopsi dan memanfaatkannya untuk memperkuat kekuasaan mereka. Sejarawan Indonesia, Sartono Kartodirdjo, menjelaskan bahwa pemerintah kolonial menempatkan diri mereka di puncak piramida sosial yang baru; sering kali menjadikan para bangsawan lokal sebagai perantara kekuasaan.

Belanda melembagakan pemisahan ini dalam hukum dan tata ruang. Masyarakat dibagi menjadi tiga kelas: Eropa, Timur Asing (Tionghoa, Arab), dan pribumi (inlander). Pembedaan ini tecermin dalam arsitektur dan strata publik. Gedung-gedung pemerintahan kolonial selalu memiliki beranda yang tinggi dan sejuk di mana tempat para pejabat Eropa mengawasi aktivitas di bawah.

Dalam setiap upacara resmi, para pejabat Belanda akan berdiri di posisi terhormat ini. Sementara itu, pegawai pribumi dan rakyat jelata wajib berbaris di lapangan terbuka. Pola ini secara efektif menanamkan sebuah pesan tersirat yang sangat kuat: penguasa adalah mereka yang mengawasi dari tempat yang nyaman dan tinggi, sementara yang dikuasai adalah mereka yang diawasi di bawah panas dan di posisi rendah.

Anggota Paskibraka mengibarkan bendera merah putih saat Upacara Peringatan HUT Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia di Lapangan Plaza Seremoni, Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (17/8/2025). Foto: Aditya Nugroho/ANTARA FOTO

Setelah Indonesia merdeka, kita mewarisi banyak hal dari masa lalu, termasuk struktur birokrasi dan format seremonial. Alih-alih menciptakan ritual yang sepenuhnya baru, lebih mudah untuk mengisi peran-peran yang sudah ada. Posisi pejabat kolonial kini digantikan oleh pejabat pemerintahan, kepala daerah, atau kepala sekolah.

Praktik ini kemudian semakin dibakukan dan diperkuat pada masa Orde Baru. Rezim ini dikenal sangat menyukai ritual dan seremoni yang berbau militeristik untuk menanamkan disiplin, kepatuhan, dan hierarki. Sekolah pun menjadi "kawah candradimuka" untuk melatih warga negara yang patuh pada struktur dari atas ke bawah. Upacara bendera setiap hari Senin menjadi ritual wajib untuk menanamkan ideologi negara.

Panggung yang teduh dan lapangan yang panas tetap dipertahankan. Secara simbolis, panggung bukan lagi sekadar panggung. Ia adalah simbol kekuasaan, otoritas, dan jarak. Orang yang berdiri di atasnya berperan sebagai "inspektur" atau "pengawas", bukan bagian dari barisan. Posisinya yang lebih tinggi memberinya sudut pandang superior untuk mengamati, sementara jarak fisik menciptakan penghalang psikologis antara pemimpin dan yang dipimpin.

Tentu ada alasan praktis yang sering didengar untuk membenarkan praktik ini, seperti faktor usia, kesehatan, atau seragam formal yang tebal. Namun, alasan-alasan ini seolah mengabaikan sebuah ironi yang lebih besar dan mendasar. Justru karena alasan praktis itulah, kita seharusnya bertanya: Jika upacaranya begitu berat sampai para pemimpinnya sendiri tidak kuat mengikutinya, mengapa format seperti ini terus dipaksakan kepada anak-anak kita?

Paskibraka Papua Barat Daya saat Upacara Bendera HUT RI ke-80 di Kodaeral XVI Sorong, Minggu (17/8/2025). Foto: Dispen Kodaeral XIV Sorong

Di sinilah letak "kurikulum tersembunyi" dari upacara bendera. Di satu sisi, lewat amanat upacara, kita diajarkan nilai-nilai luhur tentang pengorbanan, kesetaraan, dan solidaritas. Namun, di sisi lain, mata kita melihat pemandangan yang justru berkebalikan. Kita secara tidak sadar mempelajari bahwa kekuasaan berarti hak istimewa, bukan tanggung jawab yang lebih besar. Aturan berlaku berbeda untuk mereka yang di "atas" dan di "bawah". Tujuan dari sebuah jabatan adalah untuk lolos dari kesulitan bersama.

Praktik ini, secara tidak langsung, mengajarkan bahwa jabatan dan kekuasaan adalah tiket untuk mendapatkan kenyamanan. Padahal, esensi kepemimpinan—seperti dalam falsafah Ing Ngarsa sung Tulada—adalah tentang memberi contoh baik di depan dan merasakan apa yang dirasakan oleh yang dipimpin.

Jadi, ketika kita melihat pemandangan kontras ini saat upacara, kita tahu bahwa yang sedang kita saksikan bukan sekadar orang yang berteduh, melainkannjejak sejarah panjang tentang bagaimana kekuasaan dan status sosial divisualisasikan.

Ini adalah sebuah warisan yang mungkin sudah saatnya kita pikirkan kembali. Bukan untuk menghapus upacara, tetapi untuk merevolusi maknanya: dari sebuah ritual penegasan hierarki menjadi sebuah perayaan kebersamaan yang tulus dan egaliter.


Comments