14 hours ago
Pemilu dan Pilkada telah selesai, banyak masyarakat yang bertanya apa sebenarnya yang dikerjakan penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu mengingat Pemilu nasional masih dilaksanakan 2029 dan Pemilu daerah diproyeksikan tahun 2031? Keingintahuan itu wajar mengingat besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh negara untuk membayar mereka.
Pendapatan anggota KPU dan Bawaslu Provinsi misalnya berkisar antara 15 juta sampai dengan 20 juta rupiah perbulan, sementara anggota Kabupaten/Kota antara 10 juta sampai dengan 15 juta rupiah perbulan. Bagi masyarakat, jumlah itu tidak sebanding dengan agenda Pemilu yang masih lama jika penyelenggara Pemilu tidak mengerjakan apapun.
Tentu mengatakan KPU dan Bawaslu memiliki banyak waktu luang tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Sejauh pengamatan, mereka tetap melakukan rutinitas administratif biasa, rapat, sosialisasi, dan banyak lagi yang lainnya, termasuk bersinergi dengan instansi lain.
Mengenai apakah yang mereka kerjakan berkorelasi dengan peningkatan kualitas demokrasi secara signifikan, hal itu perlu didiskusikan lebih lanjut. Tetapi yang perlu diingat bahwa waktu non tahapan ini semestinya digunakan penyelenggara pemilu untuk bekerja reflektif, berbasis riset, dan berorientasi pada kebijakan.
Seperti diketahui Provinsi Lampung selalu masuk dalam 10 besar Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). Soal politik uang misalnya, menjelang Pilkada 2024 Disway Research and Development mengungkap bahwa 62,90 persen masyarakat Lampung permisif terhadap politik uang.
Fenomena ini masih menjadi persoalan serius karena mendegradasi kepercayaan publik terhadap hasil pemilu. Bayangkan saja, semua calon sudah mengetahui cara memenangkan Pilkada tanpa perlu bersusah payah meyakinkan pemilih tentang bagusnya visi, misi, dan program.
Bila digarap dengan serius di waktu non tahapan ini, maka politik uang diharapkan dapat ditanggulangi di masa mendatang. KPU dan Bawaslu perlu berkolaborasi untuk membuat kebijakan bermutu dan bukan saling melempar tanggungjawab.
Kerap terdengar misalnya pihak KPU menganggap politik uang merupakan urusan Bawaslu karena memiliki tugas eksplisit pencegahan dan penegakan hukum. Adapun Bawaslu selalu menyampaikan jika hanya Bawaslu yang bekerja tanpa partisipasi masyarakat tidak akan berarti apa-apa. Sudah saatnya kedua lembaga ini bergandengan tangan menyelesaikan masalah politik uang dengan berpijak pada riset yang kuat pada setiap langkah kebijakannya.
Penelitian tentang politik uang akan menjadi solusi atas berbagai masalah kepemiluan. Pertama, siapa yang disasar oleh pelaku politik uang, berdasarkan usia, jenis kelamin, atau pendidikan. Hasil penelitian itu akan menjadi peta untuk menunjukkan kelompok mana yang paling rentan menerima politik uang dan berimplikasi pada pendekatan metode yang akan digunakan untuk menyelesaikannya.
Sebelum Pemilu 2024 misalnya, pemilih muda (young voter) di Lampung pernah diteliti dan ditemukan bahwa mereka permisif terhadap politik uang karena menganggap tidak ada larangan dalam agama (Fatikhatul Khoiriyah dan Ahmad Syarifudin, 2023). Dengan kata lain, pendekatan agama dimungkinkan untuk mencegah segmen ini menerima politik uang. Kesimpulan itu juga menyingkap bahwa kerjasama dengan para pemuka agama belum menunjukkan hasil yang optimal.
Kedua aktor kunci. Politik uang selalu dikerjakan oleh mereka yang berjarak dengan partai, pasangan calon, atau tim kampanye. Modus ini dilakukan agar politik uang yang terjadi tidak dapat dialamatkan kepada calon yang berimbas pada sanksi diskualifikasi. Jawaban atas siapa yang menjadi aktor kunci akan membawa langkah Bawaslu dalam pencegahan dan penegakan hukum ke depan yang lebih terarah. Termasuk diketahui bagaimana tim-tim itu melakukan operasi serangan fajar.
Ketiga soal tingginya partisipasi yang selalu dirayakan oleh penyelenggara Pemilu dan dinilai sebagai hasil dari kerja keras membujuk pemilih datang ke TPS. Padahal di balik itu, terdapat ironi yang secara jujur tidak diakui yakni mengenai motivasi masyarakat datang ke TPS dan memilih. Jika tidak ada penelitian “tandingan” oleh penyelenggara Pemilu, maka argumentasi bahwa mayoritas pemilih yang datang ke TPS adalah bagian dari 62,90 persen tidak dapat dibantah.
Di lapangan, pengetahuan tentang kepemiluan spesifik soal politik uang tentu berbeda antara anggota KPU dan Bawaslu, baik tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, terlebih sampai keluarahan/desa. Dengan demikian tidak bisa terlalu berharap masyarakat menolak politik uang bila tidak mendapatkan input yang utuh mengenai apa itu politik uang, dari mana asalnya, bagaimana dampaknya terhadap hasil Pilkada, implikasinya bagi pembangunan, sanksinya dalam perundang-undangan, serta hukumnya dalam agama.
Dengan kata lain dibutuhkan kurikulum pendidikan politik dalam upaya membuat bare minimum pengetahuan penyelenggara Pemilu untuk melakukan berbagai sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat, tentunya dengan metode yang paling tepat sebagaimana hasil riset nantinya. Tetapi semua ini hanya dapat dilakukan jika KPU maupun Bawaslu menyadari kualitas demokrasi kita tidak terlalu membanggakan dan harapan kuat untuk menghadirkan kualitas pemilu ke depan yang lebih baik.