22 May 2023
Manusia mendaratkan ciuman untuk menunjukkan kasih sayang pada orang tercinta. Bahkan ada makna khusus di setiap kecupan yang kamu berikan, tergantung momen dan siapa yang dicium. Bagi pasangan yang baru menikah, misalnya, ciuman pertama mengikat ikrar suci sehidup semati.
Kita semua sepakat ciuman adalah simbol cinta, suatu tindakan yang telah dilakukan nenek moyang kita sejak dahulu kala. Namun, kita tak pernah tahu bagaimana dan kapan tepatnya ciuman menjadi cara universal mengungkapkan perasaan.
Dua peneliti di Inggris tampaknya telah menemukan sedikit titik terang untuk memecahkan misteri ini. Dari pengamatan mereka, sudah ada bukti orang berciuman sekitar 4.500 tahun silam, atau 1.000 tahun lebih awal dari prakiraan sebelumnya.
Hasil studi terbaru menyanggah anggapan lama yang menyatakan tradisi ciuman pertama kali menyebar di India pada 1500 SM. Pada makalah yang diterbitkan dalam jurnal Science, kedua peneliti membeberkan bahwa kebanyakan studi yang mempelajari sejarah ciuman melewatkan bukti-bukti yang tersedia dari peradaban Mesir dan Mesopotamia kuno.
Untuk memperkuat pernyataan ini, mereka menyajikan foto lempengan tanah liat bergambar adegan orang ciuman yang ditemukan di wilayah Mesopotamia (sekarang dikenal sebagai Irak dan Suriah) sekitar 2500 SM.
“Sumber paling awal [yang menggambarkan adegan ciuman] ditulis dalam bahasa Sumeria (bahasa isolat) pada 2500 SM, sedangkan sumber lainnya merupakan dokumentasi pribadi yang ditulis dalam bahasa Akkadia (bahasa Semit),” jelas Troels Pank Arbøll, ilmuwan yang mendalami sejarah bangsa Asyur (Asiria) di Universitas Oxford, melalui email.
“Ciuman pertama kali dijadikan referensi dalam kisah mitologis. Kala itu untuk menceritakan kebiasaan dan perilaku para dewa,” imbuhnya. “Dokumen pribadi yang memberi gambaran jelas tentang ciuman bermunculan setelahnya (terutama di awal milenium ke-2 SM).”
Arbøll bersama rekan penelitinya, ahli biologi Sophie Lund Rasmussen, tertarik melacak asal-usul ciuman setelah membaca temuan yang mengaitkan penyebaran awal virus herpes simpleks 1 (HSV-1) dengan kontak mulut.
“Penelitian itu mengilhami kami untuk mencari bukti awal terjadinya ciuman bibir. Dan ternyata, sebagian besar penelitian sepakat ciuman romantis-seksual pertama kali digambarkan dalam teks [Sanskerta] India kuno bertanggal 1500 SM,” terangnya.
Saat sedang menelusuri akar sejarah ciuman, Arbøll dan Rasmussen mendapati fakta bahwa kumpulan besar bukti yang tersedia sejak era Mesopotamia kuno kerap diabaikan, terutama ketika menelusuri kapan pertama kalinya orang berciuman.
“Sejauh yang saya tahu, sudah ada materi awal dari peradaban Mesopotamia kuno. Tapi ternyata bukti-bukti yang tersedia jarang sekali dipakai di bidang lain, padahal sudah pernah dirangkum sekitar tahun 1980-an. Dan akibatnya, peradaban Mesopotamia kuno tidak dipertimbangkan dalam wacana ilmiah terkait ciuman,” ujar Arbøll.
“Itu sebabnya kami tergerak menulis dari perspektif lain, supaya orang mengetahui bukti-bukti ini sudah lama ada. Di samping itu, makalah kami juga menyoroti sejumlah perdebatan mengenai penularan penyakit akibat jenis ciuman ini.”
Ciuman tidak terbatas untuk pasangan romantis saja. Kamu juga bisa mencium ayah, ibu, anak atau saudara kandung karena sayang sama mereka. Belum lagi cipika-cipiki saat kamu bertemu sahabat, atau kiss jauh sebagai ucapan selamat tinggal. Tradisi dan kebiasaan ini telah tertanam dalam diri manusia, bahkan sejak kita lahir.
Hanya saja, ketika kita membicarakan tentang ciuman dalam konteks hubungan romantis, tidak mudah menentukan sejak kapan leluhur kita melakukan ini bersama pasangannya. Kalaupun ada patung zaman prasejarah yang tampak sedang berciuman, ilmuwan akan kesulitan memastikan ciumannya bersifat seksual atau bukan lantaran tidak ada konteks yang jelas.
Menurut Arbøll dan Rasmussen, adanya bukti ciuman pada peradaban Mesopotamia—baik dalam konteks hubungan romantis maupun platonik—menandakan tindakan ini dipraktikkan secara luas. Bukan tidak mungkin, ciuman telah menjadi kebiasaan turun-temurun di berbagai budaya. Di masa lalu, sejumlah penelitian berspekulasi cium bibir sudah ada sejak zaman Neanderthal ratusan ribu tahun silam.
“Kami berpendapat bentuk ciuman ini tersebar secara luas di zaman kuno, seperti yang terjadi di India dan Mesopotamia. Bukti yang ada tidak menunjuk pada satu titik asal saja, setidaknya setelah zaman prasejarah,” kata Arbøll.
Menariknya lagi, manusia bukan satu-satunya makhluk hidup yang mencurahkan perasaan lewat kecupan. Simpanse dan bonobo juga punya kebiasaan berciuman, meski cuma bonobo yang melakukannya untuk memuaskan hasrat seksual. Sama seperti manusia, bonobo juga suka french kissing, atau ciuman dengan menjulurkan lidah.
Bukti baru ini menunjukkan betapa kompleksnya sejarah ciuman, sehingga menurut Arbøll dan Rasmussen, akan semakin memperumit ilmuwan dalam memberikan hubungan jelas antara ciuman panas dan penularan penyakit.
“Menurut pendapat kami, penularan penyakit akibat ciuman seksual relatif konstan pada periode ini, bukan menyebar secara tiba-tiba,” Arbøll melanjutkan. Hal ini dikarenakan lazimnya praktik cium bibir di berbagai wilayah.
Walau begitu, sejarah ciuman bisa memberikan gambaran penting seperti apa reaksi orang di masa lalu saat ada yang tertular penyakit. Contohnya, menurut surat yang ditulis hampir 4.000 tahun silam, ada perempuan anggota harem yang menderita lesi. Untuk mencegah penularan, seisi istana dilarang memakai gelas perempuan itu, atau tidur di kasurnya.
Arbøll dan Rasmussen berharap penelitian selanjutnya, terutama yang melibatkan DNA kuno, bisa memperjelas betapa maraknya ciuman di masa lalu. Sementara untuk kedua peneliti ini sendiri, mereka berencana menggali alasan kenapa ciuman yang bersifat romantis-seksual lebih umum terjadi di masyarakat yang menetap dan hierarkis, seperti Mesopotamia.
“Studi antropologi menunjukkan ciuman seksual tidak dipraktikkan secara universal, tetapi tampaknya ada kecenderungan dipraktikkan oleh masyarakat yang memiliki stratifikasi sosial kompleks,” jelasnya. “Di zaman kuno, bukti adanya tindakan ciuman romantis-seksual tersebar di wilayah geografis dan budaya yang luas. Pada saat yang sama, dokumentasi tertulis menunjukkan kebiasaan ini lazim di masyarakat yang menerapkan stratifikasi sosial.”